Magelang, ANTARA JATENG - Tentang cikal bakal dusun bernama Mbah Cebong yang makamnya bersanding dengan Nyai Cebong di pinggir jalan di kawasan timur Gunung Sumbing, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, rupanya sampai sekarang belum diketahui detail warga, termasuk kepala dusunnya.
Akan tetapi, temuan tentang siapa cikal bakal Dusun Cebongan, Desa Mangunsari, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang itu, disyukuri masyarakat setempat sejak 1982, terkait dengan perubahan pemanfaatan sumber air bersih untuk kebutuhan sehari-hari rumah tangga mereka.
Sebelum tahun itu, mereka setiap hari harus berjalan kaki sejauh sekitar 1,5 kilometer dengan menggunakan ember atau wadah lainnya ke tempat yang lebih bawah dari dusun setempat, di sumber air Bulon Desa Mangunsari.
Justru sesepuh warga dari luar desa yang kala itu berusia sekitar 90 tahun, Purwadi (almarhum), yang pada 1982 menemukan sumber air di wilayah Desa Wonoroto, Kecamatan Windusari. Purwadi berasal dari Desa Tanggul Anom, Kecamatan Selopampang, Kabupaten Temanggung, berbatasan dengan Windusari.
Lokasi sumber air Wonoroto lebih tinggi dan berjarak sekitar lima kilometer dari Dusun Cebongan yang saat ini berpenghuni 110 kepala keluarga atau 475 jiwa.
"Mbah Purwadi yang membawa air dari Wonoroto ke sini," kata Kepala Dusun Cebongan, Epen Widodo (40), Sabtu (22/4), sebelum bersama masyarakat setempat dan pelaku kesenian tradisional dusun itu, menjalani prosesi Sedekah Makam Mbah Cebong dalam rangkaian agenda seni budaya Ruwat-Rawat Borobudur, 18 April-21 Mei 2017.
Masyarakat setempat yang hampir semuanya bekerja sehari-hari sebagai petani sayuran dan palawija itu, kemudian bergotong-royong dan secara swadaya membangun saluran air bersih menggunakan paralon dari sumber air di Wonoroto hingga Dusun Cebongan.
Mereka juga membangun bak penampungan air dan tempat mandi serta mencuci di tengah dusun. Kini saluran air bersih menggunakan paralon telah dikembangkan hingga rumah-rumah warga.
Di tengah gereget warga membangun sarana air bersih yang lebih memudahkan kehidupan mereka sehari-hari, sebagaimana diceritakan Epen, para sesepuh warga ketika itu, seperti Suyoto, Maryoto, Notosuwito, dan Miharjo (mereka sudah meninggal dunia), bersama Mbah Purwadi, berembuk untuk memberi tanda secara kultural atas peristiwa tersebut agar bisa diwariskan secara turun-temurun.
Para sesepuh mengajak warga untuk menyelenggarakan sedekah sebagai penanda perubahan atas pemanfaatan sumber air bersih.
"Simbah-simbah butuh mencari siapa cikal bakal dusun ini, dan entah bagaimana ceritanya, lalu ketemu sosok Mbah Cebong, yang ternyata makamnya di pinggir jalan dusun," ujarnya.
Sejumlah warga, termasuk Epen yang juga Ketua Peguyuban Kesenian Margoutama Dusun Cebongan sampai sekarang belum mampu bercerita panjang lebar tentang sosok Mbah Cebong, kecuali tentang kehidupan sebelumnya tinggal di Desa Genito (lokasinya beberapa kilometer lebih rendah ketimbang Mangunsari).
"Katanya dulu-dulunya bekerja sebagai buruh di Genito," ujarnya.
Mbah Cebong membuka daerah itu yang kemudian berkembang sebagai dusun baru. Saat meninggal dunia, ia dimakamkan di Dusun Cebongan.
Warga mempercayai bahwa Mbah Cebong cikal bakal dusun berhawa sejuk tersebut. Makamnya berdekatan dengan bak penampungan air dan sarana mandi serta mencuci menggunakan air dari sumber di Wonoroto.
Sedekah sebagai ungkapan syukur mereka pun bertempat di makam tersebut, secara rutin diselenggarakan setiap Rejeb (kalender Jawa) pada Kamis Paing atau Kamis Wage atau Selasa Legi.
Dalam rangkaian Ruwat-Rawat Borobudur yang salah satu lokasinya di Dusun Cebongan tersebut (22-25 April 2017), mereka juga melakukan sedekah di makam itu.
Kegiatan seni budaya di dusun itu, berupa Festival Kesenian Rakyat melibatkan 17 kelompok, antara lain beberapa grup di Kecamatan Windusari, Kaliangkrik, dan Secang (Kabupaten Magelang), Selopampang serta Tlogomulyo (Kabupaten Temanggung).
Prosesi ritual budaya Sedekah Makam Mbah Cebong dipimpin oleh seorang tokoh seniman petani dari Dusun Tanggul Angin, Desa Tanggul Anom, Kecamatan Selopampang, Suwandi (43), diikuti warga Cebongan, khususnya pegiat kesenian tradisional setempat.
Selain agar agenda tersebut berjalan lancar dan menggembirakan masyarakat, prosesi sedekah dipandang perlu dilakukan agar warga beroleh keselamatan dan pencarian penghidupan sehari-hari melalui pengolahan pertanian selalu lancar.
"Supaya lancar, juga untuk meminta rejeki yang cukup, lancar dalam bekerja, mendapat berkah dan manfaat," ujar Suwandi dalam bahasa Jawa.
Prosesi dimulai dari depan rumah Kadus Epen yang telah didirikan panggung pementasan kesenian, dilepas oleh Camat Windusari Sihabidin melalui pemukulan bende didampingi Kepala Desa Mangunsari Sumaryati dan Anggota DPRD Kabupaten Magelang Sholeh Nurcholis.
Mereka yang umumnya berpakaian kesenian tradisional dengan diiringi tabuhan bende dan kenong, berjalan melewati jalan dusun hingga makam Mbah Cebong.
Selain aneka sesaji yang komplit, gunungan berupa aneka sayuran, seperti cabai, terung, mentimun, sawi, kacang panjang, jagung, dan loncang, turut diusung warga dalam prosesi tersebut.
Di dalam cungkup makam Mbah dan Nyai Cebong seluas enam meter persegi, Suwandi duduk bersila dan membakar kemenyan. Asap dupa dengan baunya yang khas mengepul di cungkup tersebut.
Hanya sejenak saja ia memimpin doa di tempat itu dikelilingi mereka yang ikut prosesi, untuk kemudian kembali ke tempat pementasan dengan langit di atas kawasan Gunung Sumbing yang cerah.
Reyot
Kesulitan yang dihadapi masyarakat setempat ketika harus mengambil air bersih setiap hari di sumber air dengan berjalan kaki, diakui Epen membuat kehidupan di dusun itu terasa "muram".
Ia mencontohkan tentang realitas ketertinggalan kehidupan masyarakat kala itu, berupa dinding rumah-rumah mereka dari gedek yang buruk, dan bahkan sebagian besar hampir rubuh.
"Wah, kalau waktu itu, hampir semua rumah `meleyot` (reyot), masyarakat hidup susah," kata Epen yang juga pegiat Yayasan Brayat Panangkaran Borobudur, penyelenggara Ruwat-Rawat Borobudur yang kali ini sebagai kegiatan rutin tahun ke-14.
Segala upaya masyarakat mengolah lahan pertanian juga tidak mudah untuk menghasilkan panenan yang melimpah. Rejeki warga sebelum lahirnya tradisi sedekah itu, terasa seret.
"`Tanem tuwuh nopo mawon, angel ndilalahe` (Usaha pertanian apa saja, kok kebetulan sulit, red.)," katanya.
Kelancaran dan kemudahan mendapatkan air bersih dari sumber di Wonoroto dengan tradisi Sedekah Makam Mbah Cebong yang rutin mereka selenggarakan, disadari masyarakat sebagai kearifan lokal dan salah satu kunci penting mengantarkan kehidupan semakin membaik.
Rumah-rumah warga setempat saat ini sebagian besar telah berdinding batu dan bersemen, serta berlantai keramik, dengan jalan dusun sudah dicor menggunakan semen pula.
Masyarakat hidup rukun dengan terus-menerus mendasarkan kepada kekuatan nilai-nilai kekeluargaan dan gotong-royong.
Masyarakat juga bergiat menghidupi kesenian tradisionalnya, seperti kuda lumping, rampak buta, topeng ireng, selawatan, ondek-ondel, dan jatilan, bukan hanya untuk pementasan di dusunnya, tetapi juga di desa-desa tetangga.
Bahkan, sejak beberapa waktu lalu, grup Margoutomo Cebongan, telah melahirkan karya kreasi baru, berupa sendratari Kidung Karmawibangga. Karya tersebut bersumber dari relief paling bawah Candi Borobudur.
Mereka juga telah mementaskan karya sendratari itu dalam beberapa kesempatan di sejumlah tempat, termasuk di dekat Candi Borobudur.
"Karena `dinalurikan` menjadi tradisi sedekah, kehidupan kami menjadi lebih baik," kata Epen Widodo.
Akan tetapi, temuan tentang siapa cikal bakal Dusun Cebongan, Desa Mangunsari, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang itu, disyukuri masyarakat setempat sejak 1982, terkait dengan perubahan pemanfaatan sumber air bersih untuk kebutuhan sehari-hari rumah tangga mereka.
Sebelum tahun itu, mereka setiap hari harus berjalan kaki sejauh sekitar 1,5 kilometer dengan menggunakan ember atau wadah lainnya ke tempat yang lebih bawah dari dusun setempat, di sumber air Bulon Desa Mangunsari.
Justru sesepuh warga dari luar desa yang kala itu berusia sekitar 90 tahun, Purwadi (almarhum), yang pada 1982 menemukan sumber air di wilayah Desa Wonoroto, Kecamatan Windusari. Purwadi berasal dari Desa Tanggul Anom, Kecamatan Selopampang, Kabupaten Temanggung, berbatasan dengan Windusari.
Lokasi sumber air Wonoroto lebih tinggi dan berjarak sekitar lima kilometer dari Dusun Cebongan yang saat ini berpenghuni 110 kepala keluarga atau 475 jiwa.
"Mbah Purwadi yang membawa air dari Wonoroto ke sini," kata Kepala Dusun Cebongan, Epen Widodo (40), Sabtu (22/4), sebelum bersama masyarakat setempat dan pelaku kesenian tradisional dusun itu, menjalani prosesi Sedekah Makam Mbah Cebong dalam rangkaian agenda seni budaya Ruwat-Rawat Borobudur, 18 April-21 Mei 2017.
Masyarakat setempat yang hampir semuanya bekerja sehari-hari sebagai petani sayuran dan palawija itu, kemudian bergotong-royong dan secara swadaya membangun saluran air bersih menggunakan paralon dari sumber air di Wonoroto hingga Dusun Cebongan.
Mereka juga membangun bak penampungan air dan tempat mandi serta mencuci di tengah dusun. Kini saluran air bersih menggunakan paralon telah dikembangkan hingga rumah-rumah warga.
Di tengah gereget warga membangun sarana air bersih yang lebih memudahkan kehidupan mereka sehari-hari, sebagaimana diceritakan Epen, para sesepuh warga ketika itu, seperti Suyoto, Maryoto, Notosuwito, dan Miharjo (mereka sudah meninggal dunia), bersama Mbah Purwadi, berembuk untuk memberi tanda secara kultural atas peristiwa tersebut agar bisa diwariskan secara turun-temurun.
Para sesepuh mengajak warga untuk menyelenggarakan sedekah sebagai penanda perubahan atas pemanfaatan sumber air bersih.
"Simbah-simbah butuh mencari siapa cikal bakal dusun ini, dan entah bagaimana ceritanya, lalu ketemu sosok Mbah Cebong, yang ternyata makamnya di pinggir jalan dusun," ujarnya.
Sejumlah warga, termasuk Epen yang juga Ketua Peguyuban Kesenian Margoutama Dusun Cebongan sampai sekarang belum mampu bercerita panjang lebar tentang sosok Mbah Cebong, kecuali tentang kehidupan sebelumnya tinggal di Desa Genito (lokasinya beberapa kilometer lebih rendah ketimbang Mangunsari).
"Katanya dulu-dulunya bekerja sebagai buruh di Genito," ujarnya.
Mbah Cebong membuka daerah itu yang kemudian berkembang sebagai dusun baru. Saat meninggal dunia, ia dimakamkan di Dusun Cebongan.
Warga mempercayai bahwa Mbah Cebong cikal bakal dusun berhawa sejuk tersebut. Makamnya berdekatan dengan bak penampungan air dan sarana mandi serta mencuci menggunakan air dari sumber di Wonoroto.
Sedekah sebagai ungkapan syukur mereka pun bertempat di makam tersebut, secara rutin diselenggarakan setiap Rejeb (kalender Jawa) pada Kamis Paing atau Kamis Wage atau Selasa Legi.
Dalam rangkaian Ruwat-Rawat Borobudur yang salah satu lokasinya di Dusun Cebongan tersebut (22-25 April 2017), mereka juga melakukan sedekah di makam itu.
Kegiatan seni budaya di dusun itu, berupa Festival Kesenian Rakyat melibatkan 17 kelompok, antara lain beberapa grup di Kecamatan Windusari, Kaliangkrik, dan Secang (Kabupaten Magelang), Selopampang serta Tlogomulyo (Kabupaten Temanggung).
Prosesi ritual budaya Sedekah Makam Mbah Cebong dipimpin oleh seorang tokoh seniman petani dari Dusun Tanggul Angin, Desa Tanggul Anom, Kecamatan Selopampang, Suwandi (43), diikuti warga Cebongan, khususnya pegiat kesenian tradisional setempat.
Selain agar agenda tersebut berjalan lancar dan menggembirakan masyarakat, prosesi sedekah dipandang perlu dilakukan agar warga beroleh keselamatan dan pencarian penghidupan sehari-hari melalui pengolahan pertanian selalu lancar.
"Supaya lancar, juga untuk meminta rejeki yang cukup, lancar dalam bekerja, mendapat berkah dan manfaat," ujar Suwandi dalam bahasa Jawa.
Prosesi dimulai dari depan rumah Kadus Epen yang telah didirikan panggung pementasan kesenian, dilepas oleh Camat Windusari Sihabidin melalui pemukulan bende didampingi Kepala Desa Mangunsari Sumaryati dan Anggota DPRD Kabupaten Magelang Sholeh Nurcholis.
Mereka yang umumnya berpakaian kesenian tradisional dengan diiringi tabuhan bende dan kenong, berjalan melewati jalan dusun hingga makam Mbah Cebong.
Selain aneka sesaji yang komplit, gunungan berupa aneka sayuran, seperti cabai, terung, mentimun, sawi, kacang panjang, jagung, dan loncang, turut diusung warga dalam prosesi tersebut.
Di dalam cungkup makam Mbah dan Nyai Cebong seluas enam meter persegi, Suwandi duduk bersila dan membakar kemenyan. Asap dupa dengan baunya yang khas mengepul di cungkup tersebut.
Hanya sejenak saja ia memimpin doa di tempat itu dikelilingi mereka yang ikut prosesi, untuk kemudian kembali ke tempat pementasan dengan langit di atas kawasan Gunung Sumbing yang cerah.
Reyot
Kesulitan yang dihadapi masyarakat setempat ketika harus mengambil air bersih setiap hari di sumber air dengan berjalan kaki, diakui Epen membuat kehidupan di dusun itu terasa "muram".
Ia mencontohkan tentang realitas ketertinggalan kehidupan masyarakat kala itu, berupa dinding rumah-rumah mereka dari gedek yang buruk, dan bahkan sebagian besar hampir rubuh.
"Wah, kalau waktu itu, hampir semua rumah `meleyot` (reyot), masyarakat hidup susah," kata Epen yang juga pegiat Yayasan Brayat Panangkaran Borobudur, penyelenggara Ruwat-Rawat Borobudur yang kali ini sebagai kegiatan rutin tahun ke-14.
Segala upaya masyarakat mengolah lahan pertanian juga tidak mudah untuk menghasilkan panenan yang melimpah. Rejeki warga sebelum lahirnya tradisi sedekah itu, terasa seret.
"`Tanem tuwuh nopo mawon, angel ndilalahe` (Usaha pertanian apa saja, kok kebetulan sulit, red.)," katanya.
Kelancaran dan kemudahan mendapatkan air bersih dari sumber di Wonoroto dengan tradisi Sedekah Makam Mbah Cebong yang rutin mereka selenggarakan, disadari masyarakat sebagai kearifan lokal dan salah satu kunci penting mengantarkan kehidupan semakin membaik.
Rumah-rumah warga setempat saat ini sebagian besar telah berdinding batu dan bersemen, serta berlantai keramik, dengan jalan dusun sudah dicor menggunakan semen pula.
Masyarakat hidup rukun dengan terus-menerus mendasarkan kepada kekuatan nilai-nilai kekeluargaan dan gotong-royong.
Masyarakat juga bergiat menghidupi kesenian tradisionalnya, seperti kuda lumping, rampak buta, topeng ireng, selawatan, ondek-ondel, dan jatilan, bukan hanya untuk pementasan di dusunnya, tetapi juga di desa-desa tetangga.
Bahkan, sejak beberapa waktu lalu, grup Margoutomo Cebongan, telah melahirkan karya kreasi baru, berupa sendratari Kidung Karmawibangga. Karya tersebut bersumber dari relief paling bawah Candi Borobudur.
Mereka juga telah mementaskan karya sendratari itu dalam beberapa kesempatan di sejumlah tempat, termasuk di dekat Candi Borobudur.
"Karena `dinalurikan` menjadi tradisi sedekah, kehidupan kami menjadi lebih baik," kata Epen Widodo.