Dari Pulau Bokori, awan tebal berwarna hitam pekat di kejauhan nampak menutup daratan Sulawesi Tenggara. Bibir pantai di Teluk Kendari pun menjadi tak lagi terlihat mata.
Namun, dari Pulau Bokori yang berpasir putih dengan luas sekitar 2,5 hektare saat bakda aszar itu, cahaya matahari masih menyengatkan sinarnya.
Awan tebal di Teluk Kendari dengan pandangan riak air laut yang memukau itu masih tampak bergerak lambat, begitu juga tiupan anginnya terasa belum begitu kencang.
Puluhan pengunjung Pulau Bokori, antara lain rombongan wartawan berbagai media massa dan jajaran Pemerintah Kota Magelang, Jawa Tengah, dipimpin Sekretaris Daerah Sugiharto yang sedang melaksanakan program peningkatan kemitraan ke Kota Kendari, baru saja menyentuh pasir pulau tersebut dengan diantar mengunakan sejumlah perahu bermesin.
Sebagian dari anggota rombongan wisatawan dari daerah lain, seperti Makassar, Sulawesi Selatan, sudah menempati sejumlah vila berupa rumah panggung dari kayu terkesan antik.
Mereka yang baru saja tiba di Pulau Bokori setelah perjalanan 20-an menit dari salah satu Dermada UD Maju di kawasan Teluk Kendari, Desa Surwejaya, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Sultra itu, seperti bergegas berswafoto.
Secara bergantian dan berkelompok, rombongan dari Kota Magelang, juga berswafoto, memanfaatkan berbagai latar belakang alam dan terutama tulisan besar dibuat dari bahan semen sebagai penanda utama objek wisata itu, "Bokori Island", serta dermaga dari papan kayu di Pulau Bokori.
Sejumlah lainnya, setelah menampaki jalan paving di tepi pasir putih, memanfaatkan fenomena alam berupa awan gelap di saujana lautan setempat, sebagai latar belakang mereka berfoto.
Begitu juga Sekda Sugiharto dan sejumlah pejabat pemkot lainnya. Antara wartawan, pejabat, dan staf pemkot itu tampak berbaur berfoto di pantai pasir putih Pulau Bokori, sambil terkesan memandang pukauan awan tebal.
Waspada tentu saja tak mereka lepaskan atas kejadian alam, meskipun suka ria berwisata di tempat itu terkesan tidak surut.
Hujan yang menerpa dari tengah teluk itu, merembet menjadi hujan deras di Pulau Bokori. Situasi angin juga makin terasa kecang menerpa pengunjung. Begitu pula dedaunan pepohonan kelapa makin kuat terayun-ayun, diterpa angin kencang.
Para wisatawan Pulau Bokori berteduh di bawah sejumlah vila berbentuk rumah panggung, sambil terus menikmati suasana hujan deras berpadu dengan angin kecang.
Para awak perahu yang mengantar mereka ke Pulau Bokori bergegas menambatkan alat transportasi utama ke pulau itu, di tempat aman, di dermaga. Mereka juga berteduh.
Sejumlah perempuan dari Desa Surwejaya yang menjajakan dengan santun dagangan mereka berupa es cendol, es kelapa muda, es buah, dan nasi bungkus, kepada pengunjung Pulau Bokori, juga berteduh.
Sebelum bersama lainnya berteduh, dua pengunjung Pulau Bokori, Hartono dan Efizudin, memainkan performa yang menceritakan sedang berpegangan pada satu pohon tertiup angin kencang.
Mereka dengan gembira berperforma sejenak, menjadi dua sosok berpegangan pada sebatang pohon, seakan sedang bertahan dari tiupan angin kencang.
Ihwal itu mereka lakukan sebelum hujan deras benar-benar menerpa Pulau Bokori. Begitu hujan sungguh-sungguh deras, mereka pun menghentikan tingkah gembiranya, lalu bergegas berteduh di salah satu rumah panggung. Dua kawan lainnya, Munasir dan Tabah, sudah lebih dulu merapat untuk menghindari terpaan air hujan.
Hujan deras bersama angin kencang, hanya sejenak waktu melewati Pulau Bokori, kira-kira 15 menit. Akan tetapi, peristiwa alam itu telah mengakibatkan atap salah satu perahu yang diawaki Masjuki, penduduk setempat, terlempar.
Begitu juga sandal Sekda Sugiharto yang diletakkan di lantai rumah panggung dibawa terbang angin hingga beberapa meter dari tempatnya berteduh.
Seorang pengemudi perahu pengantar wisatawan ke Pulau Bokori dari Dermaga UD Maju, Syamsuddin (39), mengakui jarang terjadi hujan deras dan angin kencang di pulau itu, sebagaimana terjadi pada Kamis (30/3).
"Tadi itu memang hujan cukup deras dan anginnya kencang, itu kap perahu milik Masjuki sempat terlempar. Kami juga berteduh. Kalau keadaan sudah seperti itu, semua harus berteduh, tidak ada yang melaut," katanya.
Pengemudi perahu lainnya, Muhtar, menyebut saat ini sedang "musim baratan" (November-Mei) dengan angin yang terkadang kencang di Teluk Kendari. Akan tetapi, saat "musim timur" (Juni-Oktober), angin biasanya lebih kencang lagi.
"Kami memang berhati-hati kalau ada angin kencang, tidak memaksakan diri mengantar pengunjung ke Pulau Bokori," katanya.
Syamsuddin, Muhtar, dan Masjuki, sebagian di antara para awak sekitar 10 perahu, baik ukuran besar maupun kecil, pengantar wisatawan Pulau Bokori.
Tarif perahu per orang berkisar Rp20 ribu s.d. Rp25 ribu, sedangkan rombongan besar mencarter Rp300 ribu untuk setiap perahu. Kapasitas setiap perahu bermesin mereka sekitar 15 orang.
Pada hari biasa atau bukan hari libur, disebut oleh Syamsuddin, pengunjung Pulau Bokori sekitar 700 orang, sedangkan saat hari libur atau Sabtu dan Minggu bisa mencapai 300 wisatawan.
"Sering ada juga turis dari luar negeri, seperti yang pernah saya antar dari Prancis, Austalia, dan Kanada," katanya.
Pulau Bokori memang terus dibenahi oleh Pemerintah Provinsi Sultra menjadi objek wisata andalan daerah setempat, setelah sebelumnya menjadi tempat tinggal selama turun-temurun Suku Bajo.
Pemprov Sultra mulai akhir era 1970-an merintis pemindahan warga Suku Bajo dari Pulau Bokori ke daratan, dengan pertimbangan positif antara lain karena jumlah mereka semakin bertambah.
Pada pertengahan era 1980-an mereka pindah tempat tinggal dengan membangun sejumlah desa di daratan di Kabupaten Konawe, antara lain Desa Lepe, Baji Indah, Mekar, Bajoe, Samajaya, dan Bokori.
"Jumlah mereka mungkin sekarang sudah mencapai 2.000 jiwa. Mereka hidup lebih baik, ada yang sudah punya mobil dan sepeda motor, hidupnya lebih baik," kata Syamsuddin.
Beberapa vila kemudian dibangun oleh pemerintah setempat di Pulau Bokori, demikian juga sarana air bersih dan jaringan listrik, serta fasilitas lainnya, juga disediakan guna memperkuat kenyaman wisatawan.
Pada tahun 2015, Pemprov Sultra menggelar Festival Pulau Bukori dengan dihadiri antara lain para pihak dari 152 kerajaan dan kesultanan di Indonesia.
Saat yang sama juga berlangsung kejuaraan voli pantai tingkat nasional dengan 75 peserta yang berbagai tim berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Perayaan pergantian tahun dari 2016 ke 2017 juga diselenggarakan di tempat itu, antara lain ditandai dengan pesta kembang api secara meriah.
"Tentu kami mendapat keuntungan kalau Pulau Bokori ramai wisatawan, karena makanan dan minuman yang kami jual menjadi cepat laku," kata Mirna, perempuan setempat yang bersama lainnya menggunakan perahu, baru saja merapat di Dermaga UD Maju Desa Surwejaya, setelah seharian berjualan di pulau tersebut.
Beberapa menu es dijual dengan harga Rp10 ribu. Ada dua kelompok perempuan setempat yang berjualan di Pulau Bokori. Setiap kelompok terdiri atas empat orang.
Datang ke Pulau Bokori, bagaikan memasuki dunia takjub karena alam lautan elok yang mungkin tak bisa terkatakan secara sempurna, dengan lautan yang bersih, dan pelaku wisata yang ramah serta santun kepada pengunjung.
Bahkan, saat hujan disertai angin kencang menerpa pulau itupun, seakan pengunjung yang harus waspada berbagai kemungkinan atas peristiwa alam lautan, tetap diajak untuk tidak lupa gembira.
Namun, dari Pulau Bokori yang berpasir putih dengan luas sekitar 2,5 hektare saat bakda aszar itu, cahaya matahari masih menyengatkan sinarnya.
Awan tebal di Teluk Kendari dengan pandangan riak air laut yang memukau itu masih tampak bergerak lambat, begitu juga tiupan anginnya terasa belum begitu kencang.
Puluhan pengunjung Pulau Bokori, antara lain rombongan wartawan berbagai media massa dan jajaran Pemerintah Kota Magelang, Jawa Tengah, dipimpin Sekretaris Daerah Sugiharto yang sedang melaksanakan program peningkatan kemitraan ke Kota Kendari, baru saja menyentuh pasir pulau tersebut dengan diantar mengunakan sejumlah perahu bermesin.
Sebagian dari anggota rombongan wisatawan dari daerah lain, seperti Makassar, Sulawesi Selatan, sudah menempati sejumlah vila berupa rumah panggung dari kayu terkesan antik.
Mereka yang baru saja tiba di Pulau Bokori setelah perjalanan 20-an menit dari salah satu Dermada UD Maju di kawasan Teluk Kendari, Desa Surwejaya, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Sultra itu, seperti bergegas berswafoto.
Secara bergantian dan berkelompok, rombongan dari Kota Magelang, juga berswafoto, memanfaatkan berbagai latar belakang alam dan terutama tulisan besar dibuat dari bahan semen sebagai penanda utama objek wisata itu, "Bokori Island", serta dermaga dari papan kayu di Pulau Bokori.
Sejumlah lainnya, setelah menampaki jalan paving di tepi pasir putih, memanfaatkan fenomena alam berupa awan gelap di saujana lautan setempat, sebagai latar belakang mereka berfoto.
Begitu juga Sekda Sugiharto dan sejumlah pejabat pemkot lainnya. Antara wartawan, pejabat, dan staf pemkot itu tampak berbaur berfoto di pantai pasir putih Pulau Bokori, sambil terkesan memandang pukauan awan tebal.
Waspada tentu saja tak mereka lepaskan atas kejadian alam, meskipun suka ria berwisata di tempat itu terkesan tidak surut.
Hujan yang menerpa dari tengah teluk itu, merembet menjadi hujan deras di Pulau Bokori. Situasi angin juga makin terasa kecang menerpa pengunjung. Begitu pula dedaunan pepohonan kelapa makin kuat terayun-ayun, diterpa angin kencang.
Para wisatawan Pulau Bokori berteduh di bawah sejumlah vila berbentuk rumah panggung, sambil terus menikmati suasana hujan deras berpadu dengan angin kecang.
Para awak perahu yang mengantar mereka ke Pulau Bokori bergegas menambatkan alat transportasi utama ke pulau itu, di tempat aman, di dermaga. Mereka juga berteduh.
Sejumlah perempuan dari Desa Surwejaya yang menjajakan dengan santun dagangan mereka berupa es cendol, es kelapa muda, es buah, dan nasi bungkus, kepada pengunjung Pulau Bokori, juga berteduh.
Sebelum bersama lainnya berteduh, dua pengunjung Pulau Bokori, Hartono dan Efizudin, memainkan performa yang menceritakan sedang berpegangan pada satu pohon tertiup angin kencang.
Mereka dengan gembira berperforma sejenak, menjadi dua sosok berpegangan pada sebatang pohon, seakan sedang bertahan dari tiupan angin kencang.
Ihwal itu mereka lakukan sebelum hujan deras benar-benar menerpa Pulau Bokori. Begitu hujan sungguh-sungguh deras, mereka pun menghentikan tingkah gembiranya, lalu bergegas berteduh di salah satu rumah panggung. Dua kawan lainnya, Munasir dan Tabah, sudah lebih dulu merapat untuk menghindari terpaan air hujan.
Hujan deras bersama angin kencang, hanya sejenak waktu melewati Pulau Bokori, kira-kira 15 menit. Akan tetapi, peristiwa alam itu telah mengakibatkan atap salah satu perahu yang diawaki Masjuki, penduduk setempat, terlempar.
Begitu juga sandal Sekda Sugiharto yang diletakkan di lantai rumah panggung dibawa terbang angin hingga beberapa meter dari tempatnya berteduh.
Seorang pengemudi perahu pengantar wisatawan ke Pulau Bokori dari Dermaga UD Maju, Syamsuddin (39), mengakui jarang terjadi hujan deras dan angin kencang di pulau itu, sebagaimana terjadi pada Kamis (30/3).
"Tadi itu memang hujan cukup deras dan anginnya kencang, itu kap perahu milik Masjuki sempat terlempar. Kami juga berteduh. Kalau keadaan sudah seperti itu, semua harus berteduh, tidak ada yang melaut," katanya.
Pengemudi perahu lainnya, Muhtar, menyebut saat ini sedang "musim baratan" (November-Mei) dengan angin yang terkadang kencang di Teluk Kendari. Akan tetapi, saat "musim timur" (Juni-Oktober), angin biasanya lebih kencang lagi.
"Kami memang berhati-hati kalau ada angin kencang, tidak memaksakan diri mengantar pengunjung ke Pulau Bokori," katanya.
Syamsuddin, Muhtar, dan Masjuki, sebagian di antara para awak sekitar 10 perahu, baik ukuran besar maupun kecil, pengantar wisatawan Pulau Bokori.
Tarif perahu per orang berkisar Rp20 ribu s.d. Rp25 ribu, sedangkan rombongan besar mencarter Rp300 ribu untuk setiap perahu. Kapasitas setiap perahu bermesin mereka sekitar 15 orang.
Pada hari biasa atau bukan hari libur, disebut oleh Syamsuddin, pengunjung Pulau Bokori sekitar 700 orang, sedangkan saat hari libur atau Sabtu dan Minggu bisa mencapai 300 wisatawan.
"Sering ada juga turis dari luar negeri, seperti yang pernah saya antar dari Prancis, Austalia, dan Kanada," katanya.
Pulau Bokori memang terus dibenahi oleh Pemerintah Provinsi Sultra menjadi objek wisata andalan daerah setempat, setelah sebelumnya menjadi tempat tinggal selama turun-temurun Suku Bajo.
Pemprov Sultra mulai akhir era 1970-an merintis pemindahan warga Suku Bajo dari Pulau Bokori ke daratan, dengan pertimbangan positif antara lain karena jumlah mereka semakin bertambah.
Pada pertengahan era 1980-an mereka pindah tempat tinggal dengan membangun sejumlah desa di daratan di Kabupaten Konawe, antara lain Desa Lepe, Baji Indah, Mekar, Bajoe, Samajaya, dan Bokori.
"Jumlah mereka mungkin sekarang sudah mencapai 2.000 jiwa. Mereka hidup lebih baik, ada yang sudah punya mobil dan sepeda motor, hidupnya lebih baik," kata Syamsuddin.
Beberapa vila kemudian dibangun oleh pemerintah setempat di Pulau Bokori, demikian juga sarana air bersih dan jaringan listrik, serta fasilitas lainnya, juga disediakan guna memperkuat kenyaman wisatawan.
Pada tahun 2015, Pemprov Sultra menggelar Festival Pulau Bukori dengan dihadiri antara lain para pihak dari 152 kerajaan dan kesultanan di Indonesia.
Saat yang sama juga berlangsung kejuaraan voli pantai tingkat nasional dengan 75 peserta yang berbagai tim berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Perayaan pergantian tahun dari 2016 ke 2017 juga diselenggarakan di tempat itu, antara lain ditandai dengan pesta kembang api secara meriah.
"Tentu kami mendapat keuntungan kalau Pulau Bokori ramai wisatawan, karena makanan dan minuman yang kami jual menjadi cepat laku," kata Mirna, perempuan setempat yang bersama lainnya menggunakan perahu, baru saja merapat di Dermaga UD Maju Desa Surwejaya, setelah seharian berjualan di pulau tersebut.
Beberapa menu es dijual dengan harga Rp10 ribu. Ada dua kelompok perempuan setempat yang berjualan di Pulau Bokori. Setiap kelompok terdiri atas empat orang.
Datang ke Pulau Bokori, bagaikan memasuki dunia takjub karena alam lautan elok yang mungkin tak bisa terkatakan secara sempurna, dengan lautan yang bersih, dan pelaku wisata yang ramah serta santun kepada pengunjung.
Bahkan, saat hujan disertai angin kencang menerpa pulau itupun, seakan pengunjung yang harus waspada berbagai kemungkinan atas peristiwa alam lautan, tetap diajak untuk tidak lupa gembira.