Semarang, ANTARA JATENG - Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015 belum mengatur kampanye kotak kosong dan keberadaan saksi di setiap tempat pemungutan suara (TPS) pada pemilihan kepala daerah serentak, 15 Februari 2017.

Karena adanya kekosongan hukum, sejumlah pendukung kotak kosong, misalnya pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Pati 2017, harus mematuhi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum ketika mereka akan berkampanye.

Mereka tidak mendapat fasilitas berupa spanduk, baliho, dan/atau alat peraga kampanye lainnya. Beda dengan pasangan calon tunggal, Haryanto dan Syaiful Arifin, yang mendapat fasilitasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Pati ketika melakukan kegiatan kampanye.

Mulai debat publik/debat terbuka atau "talkshow", penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga kampanye, hingga iklan di media massa cetak dan/atau media massa elektronik difasilitasi oleh KPU yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setempat yang notabene uang rakyat.

Tidak hanya soal kampanye, ketiadaan saksi dari pendukung kotak kosong di 2.295 TPS yang tersebar di 406 desa di 21 kecamatan pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Pati, menimbulkan syak wasangka dari Gerakan Masyarakat Pati (Geram Pati) dan Aliansi Kawal Demokrasi Pilkada Pati (AKDPP) atau Aliansi Kotak Kosong untuk Pati yang Bermartabat.

Bahkan, mereka menduga ada pengurangan suara kotak kosong di sejumlah TPS karena ketiadaan saksi untuk mengawasi pemilihan. Hal ini termaktub dalam permohonan pembatalan Keputusan KPU Kabupaten Pati Nomor 16/Kpts/KPU Kab.012.329311/2017 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2017 yang mereka ajukan ke Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara: 41/PHP.BUP-XV/2017 (vide www.mahkamahkonstitusi.go.id).

Dalam keputusan KPU Kabupaten Pati itu pasangan calon nomor urut 1 H. Haryanto, S.H., M.M.,M.Si. dan H. Saiful Arifin meraih 519.675 suara, sedangkan kolom kosong sebanyak 177.762 suara.

Menurut pemohon (Geram Pati dan AKDPP), selisih perolehan suara tersebut disebabkan kecurangan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan meluas. Apakah tudingan pemohon mampu meyakinkan majelis hakim konstitusi untuk mengabulkan permohonannya atau malah sebaliknya? Semuanya itu bergantung pada hakim konstitusi.



Kekosongan Hukum

Keberadaan kotak kosong di sembilan kabupaten/kota di antara 101 daerah yang menggelar pilkada serentak tahap kedua, 15 Februari 2017, memunculkan wacana perlu-tidaknya mengisi kekosongan hukum.

Selain di Kabupaten Pati (Jawa Tengah), pilkada yang hanya diikuti satu pasangan calon, yakni di Kota Tebing Tinggi (Sumatera Utara), Kabupaten Tulang Bawang Barat (Provinsi Lampung), Kabupaten Landak (Kalimantan Barat), Kabupaten Buton (Sulawesi Tenggara), Kabupaten Maluku Tengah (Maluku), Kabupaten Tambrauw (Papua Barat), Kota Sorong (Papua), dan di Kota Jayapura (Papua).

Menyinggung soal regulasi kotak kosong, Haryanto (calon tunggal pada Pemilihan Bupati Pati 2017) menyatakan setuju ada aturan mengenai hal itu agar tidak menimbulkan tuduhan. Misalnya, menghalang-halangi sekelompok orang yang akan berkampanye kotak kosong.

Di lain pihak, anggota Panitia Pengawas Kabupaten Pati Ahmad malah menganjurkan agar masyarakat yang tidak setuju dengan calon kepala daerah dari partai politik mengajukan "judicial review" ke Mahkamah Konstitusi.

"Sepanjang aturan main terkait dengan `kotak kosong` belum ada di dalam peraturan perundang-undangan tentang pemilihan kepala daerah, kami tidak melarang maupun membolehkan mereka berkampanye," kata Ahmad.

Ketika akan turun ke jalan, lanjut Ahmad, para pendukung "kotak kosong" yang akan berkampanye harus mematuhi UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Ahmad yang menangani Divisi Penindakan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Pati mengatakan bahwa pihaknya tidak bisa menindak mereka yang memasang alat peraga kampanye (APK).

"Penertiban terhadap APK yang dipasang oleh para pendukung kotak kosong di sejumlah titik adalah kewenangan Satpol PP Kabupaten Pati," katanya.

Menyinggung kembali soal pasangan calon tunggal pada pilkada, anggota Panwas Kabupaten Pati Ahmad mengemukakan bahwa landasan hukumnya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015.

"Pasangan calon tunggal boleh asal harus ada kolom kosong di dalam surat suara atau lebih populer dengan istilah `kotak kosong`," ucapnya.

Terkait dengan surat suara itu, KPU RI telah mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016. Di dalam Pasal 11A, disebutkan bahwa surat suara pada pemilihan satu pasangan calon memuat dua kolom yang terdiri atas satu kolom yang memuat foto dan nama pasangan calon dan kolom kosong yang tidak bergambar.

Menurut Ahmad, keberadaan kolom kosong itu tidak hanya pada pilkada yang pesertanya satu pasangan calon, tetapi juga lebih dari satu pasang calon ada "kotak kosong"-nya.

"Dengan demikian, ada alternatif lain bagi masyarakat yang tidak setuju dengan pasangan calon yang berasal dari parpol. Saya yakin dengan adanya `kolom kosong` itu akan meminimalkan jumlah golput pada pilkada," katanya.



Tidak Perlu Regulasi

Sementara itu, Ketua Program Magister Ilmu Politik (MIP) Universitas Diponegoro Semarang Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. menyatakan tidak perlu memberi fasilitasi regulasi terhadap kotak kosong agar tak selalu hadir di dalam sistem politik di Tanah Air.

Sebetulnya, menurut Teguh Yuwono, kalau bicara mengenai teori demokrasi dan teori kompetisi, tidak dikenal kotak kosong di dalam ilmu demokrasi atau ilmu politik.

Kotak kosong itu, lanjut Teguh yang juga dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Undip Semarang, bukan kandidat yang bisa dipertandingkan di dalam sebuah program kompetisi politik sehingga tidak perlu diberi ruang.

Oleh karena itu, dia memandang perlu ada aturan guna mencegah keberadaan kotak kosong dalam pilkada. Misalnya, partai politik (parpol) yang punya kewenangan mengusung pasangan calon tidak boleh ada borong dukungan sehingga 90 persen semua mendukung satu pasangan calon.

"Harusnya dibatasi. Tidak boleh ada borongan dukungan, maksimal dukungan, misalnya 50 persen atau 60 persen, sehingga menimal ada dua pasangan calon," katanya.

Ia menekankan, "demokrasi `choices`, pilihan, demokrasi itu pilih a atau b, bukan pilih a atau kotak kosong."

Teguh juga memandang perlu pemberian sanksi terhadap parpol yang sebenarnya memenuhi syarat mengusung pasangan calon tetapi tidak memiliki kemampuan mencalonkan pasangan calon pada pilkda.

Sanksi bagi parpol yang punya kesempatan mengusung pasangan calon tetapi tidak mencalonkan, kata Teguh, adalah larangan untuk ikut dalam pilkada berikutnya.

"Kalau parpol tidak mampu mengusung pasangan calon, ya, diberi sanksi. Jangan lantas berpikir karena ada kekosongan hukum dalam pilkada menyangkut kotak kosong kemudian dicari isi hukumnya. Itu pradigma yang keliru," katanya.

Ia mencontohkan pilkada di Kabupaten Pati yang pesertanya hanya satu pasangan calon, yakni Haryanto dan Saiful Arifin. Pasangan ini didukung delapan dari sembilan partai politik yang ada di daerah itu.

Kedelapan parpol tersebut, yakni PDI Perjuangan, Partai Gerindra, PKB, Demokrat, Golkar, Hanura, PKS dan PPP dengan total dukungan 46 kursi DPRD setempat. Padahal, syarat untuk mengusung pasangan calon sebanyak 20 persen dari 50 kursi (10 kursi) DPRD Kabupaten Pati.

Setidaknya ada tiga opsi: revisi UU Pilkada, "judicial review" ke MK, atau ada aturan tentang pembatasan dukungan parpol terhadap pasangan calon agar setiap pilkada diikuti lebih dari satu peserta.

Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor :
Copyright © ANTARA 2024