Jakarta Antara Jateng - Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Triwisaksana, mengingatkan pemerintah daerah DKI Jakarta harus lebih hati-hati dan menghormati hak warga dalam menggusur rumah, meski atas nama penataan permukiman.
Dalam pernyataan dia di Jakarta, Selasa, dia mengingatkan juga pemberlakuan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang mengabulkan gugutan warga Bukit Duri atas Surat Peringatan Satu (SP 1) penggusuran pemukiman warga di Bukit Duri, Jakarta Selatan, pada 2016 lalu.
Politisi PKS itu menyatakan putusan PTUN yang menyatakan warga Bukit Duri secara sah mendiami tanah yang ditinggali mereka secara turun-temurun memberi dua pelajaran penting dalam proses penataan pemukiman.
Pelajaran pertama, ujar dia, adalah Kantor Satpol PP yang menerbitkan SP1 yang meminta warga untuk membongkar rumahnya, hendaknya menghormati argumen warga tentang kepemilikan atas tanah yang dimiliki mereka.
Kantor Satuan Polisi Pamong Praja juga tidak begitu saja memaksa menerbitkan SP1 dan menunggu sampai putusan hukum keluar sebelum melakukan pembongkaran paksa.
"Apalagi warga juga sudah melakukan class action," kata Triwisaksana.
Sedangkan pelajaran kedua, ujar Triwisaksana, kalau pemerintah Provinsi DKI memang ingin menata pemukiman di kawasan pinggir Ciliwung, maka harus melakukan proses dialog dengan warga dan menghormati bukti kepemilikan warga atas tanah dan tempat tinggal yang akan dilakukan penataan tersebut.
Dialog, lanjutnya, dilakukan hingga mencapai titik temu yang bisa diterima kedua pihak. "Warga yang memiliki bukti kepemilikan yang sah harus diganti dengan harga yang layak dan juga penataan pemukikan dilakukan dengan memperhatikan aspirasi warga," ujarnya.
Triwisaksana menambahkan penggusuran harus menjadi pilihan paling akhir, dan kalaupun ada pemindahan warga, sedapat mungkin yang membuat warga tetap memiliki akses yang baik terhadap pendidikan dan bekerja atau mencari nafkah sebagaimana sebelum direlokasi.
Untuk itu, ujar dia, harus dikaji betul-betul terhadap proses prarelokasi dan pascarelokasi.
Sebelumnya, PTUN DKI Jakarta, Kamis (5/1), memutuskan mengabulkan gugatan warga Bukit Duri. Dengan putusan tersebut, pemerintah Provinsi DKI Jakarta diminta memberikan ganti rugi kepada warga yang telah digusur.
Majelis hakim PTUN menilai objek sengketa yang digugat warga telah melanggar hukum, terutama UU Nomor 2/2012 tentang Pengadaan Tanah.
Majelis hakim memutuskan agar pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan ganti rugi kepada warga Bukit Duri sebagai akibat dari penerbitan surat peringatan pertama hingga ketiga, penghancuran rumah-rumah warga dan perampasan tanah-tanah warga tanpa kompensasi yang layak.
Penggusuran terhadap warga Bukit Duri dilakukan saat gugatan ini masih berjalan PTUN DKI Jakarta. Sebelum penggusuran pada September 2016, warga mengajukan gugatan ke PTUN terhadap surat peringatan yang diterbitkan Kepala Satpol PP Jakarta Selatan tertanggal 30 Agustus 2016.
Surat tersebut dianggap maladministrasi karena dasar penggusuran adalah Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8/2007 tentang Ketertiban Umum. Padahal, penggusuran dilakukan demi proyek normalisasi Kali Ciliwung.
Dalam pernyataan dia di Jakarta, Selasa, dia mengingatkan juga pemberlakuan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang mengabulkan gugutan warga Bukit Duri atas Surat Peringatan Satu (SP 1) penggusuran pemukiman warga di Bukit Duri, Jakarta Selatan, pada 2016 lalu.
Politisi PKS itu menyatakan putusan PTUN yang menyatakan warga Bukit Duri secara sah mendiami tanah yang ditinggali mereka secara turun-temurun memberi dua pelajaran penting dalam proses penataan pemukiman.
Pelajaran pertama, ujar dia, adalah Kantor Satpol PP yang menerbitkan SP1 yang meminta warga untuk membongkar rumahnya, hendaknya menghormati argumen warga tentang kepemilikan atas tanah yang dimiliki mereka.
Kantor Satuan Polisi Pamong Praja juga tidak begitu saja memaksa menerbitkan SP1 dan menunggu sampai putusan hukum keluar sebelum melakukan pembongkaran paksa.
"Apalagi warga juga sudah melakukan class action," kata Triwisaksana.
Sedangkan pelajaran kedua, ujar Triwisaksana, kalau pemerintah Provinsi DKI memang ingin menata pemukiman di kawasan pinggir Ciliwung, maka harus melakukan proses dialog dengan warga dan menghormati bukti kepemilikan warga atas tanah dan tempat tinggal yang akan dilakukan penataan tersebut.
Dialog, lanjutnya, dilakukan hingga mencapai titik temu yang bisa diterima kedua pihak. "Warga yang memiliki bukti kepemilikan yang sah harus diganti dengan harga yang layak dan juga penataan pemukikan dilakukan dengan memperhatikan aspirasi warga," ujarnya.
Triwisaksana menambahkan penggusuran harus menjadi pilihan paling akhir, dan kalaupun ada pemindahan warga, sedapat mungkin yang membuat warga tetap memiliki akses yang baik terhadap pendidikan dan bekerja atau mencari nafkah sebagaimana sebelum direlokasi.
Untuk itu, ujar dia, harus dikaji betul-betul terhadap proses prarelokasi dan pascarelokasi.
Sebelumnya, PTUN DKI Jakarta, Kamis (5/1), memutuskan mengabulkan gugatan warga Bukit Duri. Dengan putusan tersebut, pemerintah Provinsi DKI Jakarta diminta memberikan ganti rugi kepada warga yang telah digusur.
Majelis hakim PTUN menilai objek sengketa yang digugat warga telah melanggar hukum, terutama UU Nomor 2/2012 tentang Pengadaan Tanah.
Majelis hakim memutuskan agar pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan ganti rugi kepada warga Bukit Duri sebagai akibat dari penerbitan surat peringatan pertama hingga ketiga, penghancuran rumah-rumah warga dan perampasan tanah-tanah warga tanpa kompensasi yang layak.
Penggusuran terhadap warga Bukit Duri dilakukan saat gugatan ini masih berjalan PTUN DKI Jakarta. Sebelum penggusuran pada September 2016, warga mengajukan gugatan ke PTUN terhadap surat peringatan yang diterbitkan Kepala Satpol PP Jakarta Selatan tertanggal 30 Agustus 2016.
Surat tersebut dianggap maladministrasi karena dasar penggusuran adalah Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8/2007 tentang Ketertiban Umum. Padahal, penggusuran dilakukan demi proyek normalisasi Kali Ciliwung.