Magelang, Antara Jateng - Kalau pemilik akun media sosial menjaga eksistensinya melalui "update" status, baik berupa unggahan tulisan, visual, maupun "mem-forward" kiriman dari yang lain, warga Wates, Kota Magelang, Jateng, kiranya juga menyematkan status terkini atas pelaksanaan Tradisi Saparannya.
Sebagaimana demam "update" pengguna media sosial di dunia maya, warga Kelurahan Wates dalam jagat sosial budayanya yang riil menginikan eksistensi tradisi menghormati leluhur dan memperkuat semangat kebersamaan, melalui rangkaian empat hari Tradisi Saparan yang puncaknya pada Sabtu (26/11).
Makna inti atas Saparan mereka, yakni menghormati cikal bakal pemerintahan wilayah itu, Kiai Sanggrah, tentunya tidak disisihkan. Mereka tetap menjadikan penghormatan terhadap leluhur sebagai ihwal utama, sedangkan kemasan terkini yang pertama kali mereka unggah pada 2016, dipastikan bakal berlanjut dijalani pada tahun-tahun mendatang.
Tentang kisah singkat Kiai Sanggrah, disimpan dalam catatan ingatan warga Kelurahan Wates. Setelah perang Mataram melawan Pajang pada 1582, seorang pemimpin kelompok prajurit Mataram yang belum diketahui nama asli, pangkat,dan jabatan, bersama pasukannya bermukim di wilayah yang kini bernama Kelurahan Wates.
Raja Mataram Panembahan Senopati menetapkan daerah itu berstatus kedemangan. Tapal batas (wates, red.) berupa pos penjagaan didirikan untuk penanda peresmian wilayah. Setiap tiga tahun sekali Sang Raja mengunjungi kedemangan itu disambut meriah oleh warga dengan dipimpin Kiai Sanggrah.
Tradisi Saparan setiap Sapar--kalender Jawa--biasanya dijalani warga Wates, Kecamatan Magelang Utara dengan acara tunggal, berupa doa bersama dan tabur bunga di makam Kiai Sanggrah dan Nyai Sanggrah di tepi Jalan Urip Sumaharjo Kota Magelang serta lima pemakaman umum setempat lainnya yang tersebar di kelurahan itu.
Mulai Saparan 2016, mereka memperkuat keberadaan tradisi tersebut melalui tambahan kemasan jamasan seperangkat gamelan bantuan Pemerintah Kota Magelang yang turun pada akhir tahun lalu.
Pemkot Magelang memberikan bantuan seperangkat gamelan slendro dan pelog kepada masyarakat Kelurahan Wates karena sejak tiga tahun terakhir mereka menghidupkan kembali kelompok keseniannya, bernama "Peguyuban Ketoprak Krida Budaya" pimpinan Sugeng Riwaluyo.
Simbol dari jamasan itu berupa pembersihan dengan air kembang mawar atas Gong Gede dan Gong Suwuk yang mereka beri nama gong pusaka "Kiai Podang Mas dan Nyai Podang Kencana". Jamasan itu berlangsung di pemakaman Kiai dan Nyai Sanggrah.
Dalang yang juga anggota Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Kota Magelang Ki Hadi Sukirno memimpin jamasan dengan pertama kali mengguyurkan air kembang mawar di kedua gong.
Wakil Wali Kota Magelang Windarti Agustina, Camat Magelang Utara Hadi Sutopo, Lurah Wates Ismu Raharja, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Wates Sugiyanto, bersama 13 sesepuh yang juga ketua rukun warga di kelurahan setempat melanjutkan hal serupa secara bergantian.
Mereka yang hadir, baik lelaki maupun perempuan, mengenakan pakaian adat Jawa, juga melakukan doa bersama secara Islami dipimpin Kaum Kampung Sanggrahan Sardi Utomo.
"Ini memperkuat motivasi warga melestarikan tradisi budaya dan berkesenian. Warga makin kuat rasa memiliki kelurahan dengan berbagai kekuatan potensi kami," kata Sugeng yang siang itu menjadi pembawa acara jamasan gong pusaka Kelurahan Wates.
Selama ini, pementasan ketoprak mereka tiga kali setiap tahun, yakni saat Saparan, Peringatan Bulan Bakti Gotong Royong, dan "Agustusan" atau peringatan Hari Kemerdekaan RI tingkat kelurahan itu.
Mereka harus meminjam gamelan lengkap dengan penabuhnya dari grup karawitan lain di kota setempat, jika hendak menggelar pementasan kesenian. Akan tetapi, sekarang mereka tidak perlu menyewa lagi karena telah disokong pemkot melalui bantuan seperangkat gamelan yang disemayamkan di aula Kantor Kelurahan Wates.
Setelah jamasan gong pusaka dan doa bersama, ratusan warga kemudian kirab melewati jalan-jalan kampung hingga berakhir di tanah lapang milik warga sebagai tempat "kembul bujana" (makan bersama) dan pementasan wayang kulit dengan lakon "Wahyu Podang Mas Podang Kencana" dengan dalang Ki Hadi Sukirman.
Wakil Wali Kota Magelang Windarti Agustina ikut dalam kirab dengan menunggang kuda dan berpakaian pemimpin prajurit perempuan Kerajaan Mataram bernama Senopati Semangkin. Sebanyak empat pejabat dan pemuka warga lainnya masing-masing juga menunggang kuda, sedangkan para tokoh masyarakat lainnya menunggang 10 dokar.
Sedikitnya 300 warga, baik laki-laki maupun perempuan, termasuk anggota sejumlah grup kesenian rakyat ikut dalam kirab yang terkesan semarak itu dengan berjalan kaki. Aparat kepolisian dan satuan perlindungan masyarakat mengatur kelancaran jalannya kirab. Jumlah warga Kelurahan Wates saat ini sekitar 220 kepala keluarga atau 8.500 jiwa, tersebar di 84 rukun tetangga dan 13 RW.
Kemasan terkini atas prosesi Saparan mereka, tidak lepas dari peranan dua pegiat seni dan budaya kelurahan setempat, masing-masing Condro Bawono dan Muhammad Nafi.
Dalam acara itu, kedua penggagas "update" Saparan yang pernah berkiprah dalam Dewan Kesenian Kota Magelang dan saat ini pegiat Forum Komunikasi Media Tradisional Kota Magelang tersebut, masing-masing menjadi koordinator lapangan untuk jamasan gong pusaka dan kirab budaya.
"Kalau untuk inti Saparan memang tidak lepas dari sejarah lokal Kiai Sanggrah. Kami menelusuri berbagai sumber. Untuk jamasan dan kirab sebagai acara baru karena akhir tahun lalu Wates mendapat bantuan gamelan. Lalu kami menyusun pengisahan baru, kami sematkan dalam Saparan supaya meriah dan masyarakat bersemangat menjalani radisinya," kata Condro Bawono yang akrab disapa "Mbilung Sarawita".
Penentuan puncak rangkaian Saparan, ujar Nafi, tidak baku harus mendasarkan penghitungan dalam kalender Jawa, akan tetapi sesuai dengan kesepakatan masyarakat, asalkan masih dalam Sapar.
"Ini pula yang menjadi tantangan menarik warga setiap tahun untuk menghidupi semangat musyawarah dalam penentuan hari puncak Saparan," ujarnya.
Pada ibu yang tergabung dalam Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga di setiap RW nimbrung dengan membuka 13 gerai yang menyediakan berbagai makanan tradisional untuk dijual kepada pengunjung dengan harga murah.
Penyematan "kembul bujana" berupa tumpeng dan urap oleh masyarakat dan para petinggi pemerintahan, termasuk Wakil Wali Kota Windarti, dengan menggunakan pincuk (daun pisang) usai kirab, menjadi tanda komitmen mereka untuk menjaga semangat kebersamaan.
"Melalui 'kembul bujana' menunjukkan tidak ada jarak antara masyarakat, pejabat, dan pemuka warga. Semua berbaur memajukan pembangunan. Melalui acara itu kami memperteguh kebersamaan dan kekeluargaan," kata Nafi yang juga pengajar salah satu sekolah menengah kejuruan swasta di kota kecil dengan tiga kecamatan dan 17 kelurahan tersebut.
Windarti menyebut Saparan Kelurahan Wates dalam kemasan kekinian itu menjadi aset budaya dengan tetap menjaga kedalaman makna atas kearifan lokal masyarakat.
Rangkaian pelaksanaan tradisi itu, juga menunjukkan sentuhan karya kreatif para pemuka di kelurahan setempat yang disambut positif oleh masyarakatnya.
Saparan telah menjadi agenda tahunan masyarakat lokal untuk momentum penghormatan kepada leluhur.
Namun, tahun ini mereka "meng-update" status tradisi itu sehingga eksistensinya makin berdaya pikat dan bakal menjadi karya kemasan budaya secara berkelanjutan.
Sebagaimana demam "update" pengguna media sosial di dunia maya, warga Kelurahan Wates dalam jagat sosial budayanya yang riil menginikan eksistensi tradisi menghormati leluhur dan memperkuat semangat kebersamaan, melalui rangkaian empat hari Tradisi Saparan yang puncaknya pada Sabtu (26/11).
Makna inti atas Saparan mereka, yakni menghormati cikal bakal pemerintahan wilayah itu, Kiai Sanggrah, tentunya tidak disisihkan. Mereka tetap menjadikan penghormatan terhadap leluhur sebagai ihwal utama, sedangkan kemasan terkini yang pertama kali mereka unggah pada 2016, dipastikan bakal berlanjut dijalani pada tahun-tahun mendatang.
Tentang kisah singkat Kiai Sanggrah, disimpan dalam catatan ingatan warga Kelurahan Wates. Setelah perang Mataram melawan Pajang pada 1582, seorang pemimpin kelompok prajurit Mataram yang belum diketahui nama asli, pangkat,dan jabatan, bersama pasukannya bermukim di wilayah yang kini bernama Kelurahan Wates.
Raja Mataram Panembahan Senopati menetapkan daerah itu berstatus kedemangan. Tapal batas (wates, red.) berupa pos penjagaan didirikan untuk penanda peresmian wilayah. Setiap tiga tahun sekali Sang Raja mengunjungi kedemangan itu disambut meriah oleh warga dengan dipimpin Kiai Sanggrah.
Tradisi Saparan setiap Sapar--kalender Jawa--biasanya dijalani warga Wates, Kecamatan Magelang Utara dengan acara tunggal, berupa doa bersama dan tabur bunga di makam Kiai Sanggrah dan Nyai Sanggrah di tepi Jalan Urip Sumaharjo Kota Magelang serta lima pemakaman umum setempat lainnya yang tersebar di kelurahan itu.
Mulai Saparan 2016, mereka memperkuat keberadaan tradisi tersebut melalui tambahan kemasan jamasan seperangkat gamelan bantuan Pemerintah Kota Magelang yang turun pada akhir tahun lalu.
Pemkot Magelang memberikan bantuan seperangkat gamelan slendro dan pelog kepada masyarakat Kelurahan Wates karena sejak tiga tahun terakhir mereka menghidupkan kembali kelompok keseniannya, bernama "Peguyuban Ketoprak Krida Budaya" pimpinan Sugeng Riwaluyo.
Simbol dari jamasan itu berupa pembersihan dengan air kembang mawar atas Gong Gede dan Gong Suwuk yang mereka beri nama gong pusaka "Kiai Podang Mas dan Nyai Podang Kencana". Jamasan itu berlangsung di pemakaman Kiai dan Nyai Sanggrah.
Dalang yang juga anggota Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Kota Magelang Ki Hadi Sukirno memimpin jamasan dengan pertama kali mengguyurkan air kembang mawar di kedua gong.
Wakil Wali Kota Magelang Windarti Agustina, Camat Magelang Utara Hadi Sutopo, Lurah Wates Ismu Raharja, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Wates Sugiyanto, bersama 13 sesepuh yang juga ketua rukun warga di kelurahan setempat melanjutkan hal serupa secara bergantian.
Mereka yang hadir, baik lelaki maupun perempuan, mengenakan pakaian adat Jawa, juga melakukan doa bersama secara Islami dipimpin Kaum Kampung Sanggrahan Sardi Utomo.
"Ini memperkuat motivasi warga melestarikan tradisi budaya dan berkesenian. Warga makin kuat rasa memiliki kelurahan dengan berbagai kekuatan potensi kami," kata Sugeng yang siang itu menjadi pembawa acara jamasan gong pusaka Kelurahan Wates.
Selama ini, pementasan ketoprak mereka tiga kali setiap tahun, yakni saat Saparan, Peringatan Bulan Bakti Gotong Royong, dan "Agustusan" atau peringatan Hari Kemerdekaan RI tingkat kelurahan itu.
Mereka harus meminjam gamelan lengkap dengan penabuhnya dari grup karawitan lain di kota setempat, jika hendak menggelar pementasan kesenian. Akan tetapi, sekarang mereka tidak perlu menyewa lagi karena telah disokong pemkot melalui bantuan seperangkat gamelan yang disemayamkan di aula Kantor Kelurahan Wates.
Setelah jamasan gong pusaka dan doa bersama, ratusan warga kemudian kirab melewati jalan-jalan kampung hingga berakhir di tanah lapang milik warga sebagai tempat "kembul bujana" (makan bersama) dan pementasan wayang kulit dengan lakon "Wahyu Podang Mas Podang Kencana" dengan dalang Ki Hadi Sukirman.
Wakil Wali Kota Magelang Windarti Agustina ikut dalam kirab dengan menunggang kuda dan berpakaian pemimpin prajurit perempuan Kerajaan Mataram bernama Senopati Semangkin. Sebanyak empat pejabat dan pemuka warga lainnya masing-masing juga menunggang kuda, sedangkan para tokoh masyarakat lainnya menunggang 10 dokar.
Sedikitnya 300 warga, baik laki-laki maupun perempuan, termasuk anggota sejumlah grup kesenian rakyat ikut dalam kirab yang terkesan semarak itu dengan berjalan kaki. Aparat kepolisian dan satuan perlindungan masyarakat mengatur kelancaran jalannya kirab. Jumlah warga Kelurahan Wates saat ini sekitar 220 kepala keluarga atau 8.500 jiwa, tersebar di 84 rukun tetangga dan 13 RW.
Kemasan terkini atas prosesi Saparan mereka, tidak lepas dari peranan dua pegiat seni dan budaya kelurahan setempat, masing-masing Condro Bawono dan Muhammad Nafi.
Dalam acara itu, kedua penggagas "update" Saparan yang pernah berkiprah dalam Dewan Kesenian Kota Magelang dan saat ini pegiat Forum Komunikasi Media Tradisional Kota Magelang tersebut, masing-masing menjadi koordinator lapangan untuk jamasan gong pusaka dan kirab budaya.
"Kalau untuk inti Saparan memang tidak lepas dari sejarah lokal Kiai Sanggrah. Kami menelusuri berbagai sumber. Untuk jamasan dan kirab sebagai acara baru karena akhir tahun lalu Wates mendapat bantuan gamelan. Lalu kami menyusun pengisahan baru, kami sematkan dalam Saparan supaya meriah dan masyarakat bersemangat menjalani radisinya," kata Condro Bawono yang akrab disapa "Mbilung Sarawita".
Penentuan puncak rangkaian Saparan, ujar Nafi, tidak baku harus mendasarkan penghitungan dalam kalender Jawa, akan tetapi sesuai dengan kesepakatan masyarakat, asalkan masih dalam Sapar.
"Ini pula yang menjadi tantangan menarik warga setiap tahun untuk menghidupi semangat musyawarah dalam penentuan hari puncak Saparan," ujarnya.
Pada ibu yang tergabung dalam Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga di setiap RW nimbrung dengan membuka 13 gerai yang menyediakan berbagai makanan tradisional untuk dijual kepada pengunjung dengan harga murah.
Penyematan "kembul bujana" berupa tumpeng dan urap oleh masyarakat dan para petinggi pemerintahan, termasuk Wakil Wali Kota Windarti, dengan menggunakan pincuk (daun pisang) usai kirab, menjadi tanda komitmen mereka untuk menjaga semangat kebersamaan.
"Melalui 'kembul bujana' menunjukkan tidak ada jarak antara masyarakat, pejabat, dan pemuka warga. Semua berbaur memajukan pembangunan. Melalui acara itu kami memperteguh kebersamaan dan kekeluargaan," kata Nafi yang juga pengajar salah satu sekolah menengah kejuruan swasta di kota kecil dengan tiga kecamatan dan 17 kelurahan tersebut.
Windarti menyebut Saparan Kelurahan Wates dalam kemasan kekinian itu menjadi aset budaya dengan tetap menjaga kedalaman makna atas kearifan lokal masyarakat.
Rangkaian pelaksanaan tradisi itu, juga menunjukkan sentuhan karya kreatif para pemuka di kelurahan setempat yang disambut positif oleh masyarakatnya.
Saparan telah menjadi agenda tahunan masyarakat lokal untuk momentum penghormatan kepada leluhur.
Namun, tahun ini mereka "meng-update" status tradisi itu sehingga eksistensinya makin berdaya pikat dan bakal menjadi karya kemasan budaya secara berkelanjutan.