Magelang, Antara Jateng - Novel sejarah berjudul "Amangkurat Agung: Prahara Takhta Mataram", menceritakan perahu yang ditumpangi juragan Asep Sunandar dengan putrinya, Safitri, serta dua pembantu setia, Mang Mi'ing dan Bi Walijem, dari Pangandaran terombang-ambing hingga mendarat di Pantai Cilacap.

Dalam perjalanan eksodus untuk menghindari amuk massa di desanya, di lautan selatan mereka disuguhi makan siang dengan menu ikan hasil pancingan pemilik perahu, Pak Tua, menggunakan empat kail.

Penulis novel setebal 472 halaman itu, Wahyu H.R., mengisahkan betapa nikmatnya mereka menyantap sup ikan dengan nasi pulen, lengkap dengan irisan tomat, bawang merah dan putih, cabai rawit, seledri, garam, serta perasan jeruk nipis.

Suasana batin sebelumnya yang getir diceritakan malam itu menjadi sirna oleh karena Safitri, gadis berumur lima tahun tersebut, mendendangkan tembang "Bubuy Bulan".

Ihlwal itu terjadi, setelah mereka yang dalam laju perahu selesai menyantap makan malam berupa ikan laut bakar masakan Pak Tua, dengan sentuhan sambal kecap, irisan bawang merah, sedikit cabai, dan kerupuk satu kaleng.

Tidak disebut secara detail oleh sang penulis, nama-nama ikan yang dimasak Pak Tua untuk disantap bersama penumpangnya yang pelarian dari kampung halaman mereka untuk memulai hidup baru di Cilacap, ketika tahta Kesultanan Mataram diampu Sri Susuhunan Amangkurat Agung (1646-1677).

Begitu pula dengan pelukis di kawasan Candi Borobudur Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Suitbertus Sarwoko. Ia tidak menyebut nama-nama objek lukisan tentang ragam ikan yang menjadi fokus karyanya pada masa lalu.

Belum lama ini, tiga tamu yang bertandang ke galerinya, "Banyu Bening The House of Painting", di depan Pintu VII Taman Wisata Candi Borobudur, tidak memperoleh jawaban atas nama ikan-ikan purba yang menjadi koleksi karya Woko pada era 2000-2002.

Sebanyak 11 lukisan kanvas dengan objek ikan purba atau fosil ikan disuguhkan kepada tamunya. Satu per satu Woko mengeluarkan karya-karya lamanya itu dari ruang penyimpanan lukisan ke galerinya untuk dinikmati para tamunya siang tersebut.

Selama era tiga tahun itu, ia membuat 12 lukisan yang secara khusus dengan objek ikan purba. Semua lukisannya diberi nama berseri, yakni Fragmen#1 sampai dengan Fragmen#12.

Dalam setiap karyanya, dilukiskan beberapa wujud ikan purba yang oleh sang pelukis tidak disebut nama ikan, meskipun referensinya cukup kuat dari berbagai buku dan majalah, termasuk National Geographic.

Keberadaan Fragmen#11 tidak terlacak lagi setelah pada 2004 dipajang di salah satu galeri di Cibubur, Jawa Barat, sedangkan Fragmen#12 dibuat di Museum Haji Widayat Kota Mungkid, Ibu Kota Kabupaten Magelang, tak jauh dari Candi Borobudur, beberapa waktu sebelum Maestro Widayat wafat.

Pelukis Widayat wafat dalam usia 83 tahun pada 20 Juni 2002. Ia dikebumikan di Makam Seniman Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

"Pak Widayat menunggui, memberikan masukan waktu saya membuat 'Fragmen#12', dan memang hasilnya jelas sekali berbeda dengan 11 lukisan ikan lainnya," kata Woko yang berzodiak Pises (ikan) itu.

Selama era tersebut, tidak ada karya Woko yang berobjek ragam ikan populer zaman ini, seperti tawes, wader, mujahir, melem, deleg, kutuk sebagaimana yang sering dijumpai di Sungai Progo, Sileng, atau Elo, dekat rumahnya.

Apalagi ikan beong yang sedang tren di kawasan Candi Borobudur saat ini karena mendorong pengusaha-pengusaha warung makan di kawasan itu menyajikan menu mangut beong kepada masyarakat di daerah setempat dan wisatawan.

Perbincangan asyik para tamunya di galeri itu, setelah jalan santai di sekitar Candi Borobudur, sambil menikmati lukisan Woko tentang ikan purba, sampai juga pada materi tentang maraknya warung-warung makan di kawasan Borobudur yang menyajikan nikmatnya mangut beong.

"Waktu itu saya sudah sering dengar beong, tetapi belum populer seperti sekarang. Apalagi belum 'nyantel' (melekat, red.) dalam benak saya untuk melukisnya," kata Woko.

Akan tetapi, bagi seorang pelukis generasi baru di kawasan Candi Borobudur, Arif Sulaeman, popularitas ikan yang konon hanya ada di Kali Progo itu, telah memantik inspirasinya untuk membuat karya yang secara khusus mengeksplorasi beong.

"Saya memang ingin membuat lukisan tentang apa saja menyangkut beong dan Kali Progo. Saya kan juga sering mancing di Kali Progo," ujarnya.

Arif yang juga pegiat kelompok seniman Forum Kilometer Nol Borobudur itu, mengaku hingga saat ini masih mengumpulkan gagasan dan memperkaya referensi untuk memperkuat inspirasi atas karyanya tentang beong.

Ia juga merasa optimistis kalau lukisan-lukisan tentang beong dipajang di berbagai warung makan di kawasan Borobudur yang menyediakan mangut beong, karya itu menambah nikmat sajian wisata kuliner Candi Borobudur.

"Saya yakin menarik nikmat mereka saat menyantap mangut beong," ucapnya.

Ketika matahari makin kukuh di atas kepala, ketiga tamu "Banyu Bening The House of Painting" dengan ramah pamitan kepada Woko. Barangkali di benak mereka penuh cerita tentang ragam ikan yang diperbincangkan di galeri itu.

Dengan mobil pribadi bercat warna hitam, mereka meluncur ke salah satu warung makan tak jauh dari bangunan warisan budaya dunia tersebut.

Di warung "Sehati Borobudur" Dusun Bumen, Desa Kembanglimus, sekitar tiga kilometer barat laut Candi Borobudur, mereka asyik menikmati popularitas kuliner mangut beong.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024