Magelang, Antara Jateng - Pesan terpenting sepertinya diletakkan diplomat Nara Masista Rakhmatia di penghujung pidatonya dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menjawab tudingan terhadap Indonesia oleh enam negara kawasan Pasifik atas pelanggaran hak asasi manusia di Tanah Papua.

Kandungan nilai budaya kawasan Asia-Pasifik yang disampaikan menjadi pesan bermakna untuk dunia dari Indonesia oleh perempuan diplomat muda itu. Diperkuat ketika dia mengangkat tangan kanan untuk meragakan arah telunjuk sedang menunjuk suatu sasaran dan penjelasan lebih detail tentang posisi ibu jari.

"Ada pepatah di kawasan Asia Pasifik yang mengatakan, 'Ketika seseorang menunjukkan jari telunjuknya pada orang lain, jari jempolnya otomatis menunjuk pada wajahnya sendiri," begitu kalimat terakhir pidatonya sebelum dia mengujarkan rangkaian dua kata penutup, "Terima kasih".

Tidak cukup satu kali, bahkan hingga empat kali gestur tangan kanan sedang menunjuk itu diragakan Nara pada Sesi Ke-71 KTT PBB di New York, Amerika Serikat, 13 s.d. 26 September 2016.

Gerak mengangkat telunjuk yang pertama dan kedua belum setinggi ketiga, sedangkan gerakan keempatnya yang lebih tinggi dan menandakan ketegasan sikap Indonesia menjadi penguat dahsyat sanggahan yang mungkin menohok enam negara penuding Indonesia melanggar HAM di Papua dan Papua Barat.

Sebanyak enam negara itu adalah Kepulauan Solomon, Vanuatu, Nauru, Kepulauan Marshall, Tuvalu, dan Tonga.

Melalui peran penting perempuan diplomat itu, seakan Indonesia hendak menebarkan pesan untuk setiap negara tidak saling melempar konflik. Akan tetapi, lebih merefleksikan diri masing-masing dalam mengelola negeri.

Betapa strategisnya peran perempuan dalam menyemai perdamaian dunia, sebagaimana diungkapkan Direktur Wahid Institute Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid (Yenny Wahid) dalam praacara pertunjukan "Centhini Gunung" dan temu pers di panggung terbuka Studio Mendut Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat (30/9) sore.

"Perempuan mempunyai kemampuan luar biasa dalam menebarkan pesan perdamaian," ucapnya setelah menandatangani Monumen "Centhini Gunung" berupa patung lingga yoni.

Pertunjukan "Centhini Gunung" dengan pemain utama belasan perempuan seniman yang menjadi kelompok baru dalam seniman Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) akan berlangsung di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.

Sekitar 350 seniman petani dari sejumlah grup di Kabupaten Magelang juga terlibat dalam pertunjukan tersebut melalui pawai budaya "Pluralisme Kirab Gunung" di sepanjang 500 meter jalan beraspal di dusun kawasan Gunung Andong, Kamis (6/10).

Para perempuan seniman yang tergabung dalam kelompok "Centhini Gunung" itu berasal dari berbagai kota namun berbasis di Yogyakarta, antara lain, Fetri Ana Rachmawati yang menamakan karyanya sebagai "127 Centhini", Sekartaji Suminto (Centhini Bohemian), Annisa Hertami (Kembara Centhini), Ayu Permata Sari (Dentingan Centhini), dan Sekar Ayu Oktaviana Sari (Kini Centhini).

Selain itu, Setya Rahdiyatmi Kurnia Jatilinuar (Centhini Kanda), Galih Puspita (Jalan Centhini), Nia Agustina (Centhini Sianida), Nungky Nur Cahyani (Ni Centhini), Widya Ayu Kusumawardani (Asmara Turida Centhini), Dwi Windarti (Centhini Mendut), dan Wirastuti Susilaningtyas (Centhini Salju Gunung).

Karya kontemporer mereka berupa performa seni, tari, rupa, sastra, dan bunyi yang dikemas secara kolaborasi untuk memainkan ruang pementasan di alam terbuka di kawasan Gunung Andong.

Dalam praacara pertunjukan "Centhini Gunung" di Studio Mendut, Jumat (30/9) siang itu, mereka menjalani prosesi ritual khas Komunitas Lima Gunung berupa "Ondho Kencono".

Prosesi "Ondho Kencono" untuk mereka dipimpin oleh sesepuh warga kawasan Gunung Merbabu dari Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis, Mbah Jumo dan dalang Komunitas Lima Gunung dari kawasan Gunung Andong Dusun Sudimoro, Desa Baleagung, Kecamatan Grabag, Sih Agung Prasetyo.

"Ondho Kencono" berupa tangga terbuat dari bambu yang mereka naiki setapak demi setapak dengan diiringi penceritaan oleh sang dalang dan doa-doa permohonan serta harapan yang didaraskan oleh Mbah Jumo sambil duduk bersila di tanah dekat tangga tersebut diletakkan.

Pada kesempatan itu, Yenny yang putri Presiden K.H. Abddurahman Wahid juga menjalani prosesi "Ondho Kencono" didampingi para seniman perempuan "Centhini Gunung".

Dengan iringan tabuhan musik trunthung dan bende, para "Centhini Gunung" selama beberapa saat melakukan performa bersama yang oleh Annisa Hertami yang juga aktris itu, disebut sebagai gerakan secara bebas, mengeksplorasi ingatan yang membumi dalam tubuh masing-masing menjadi gerakan tarian kontemporer.

Presiden Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut menyebut pertunjukan "Centhini Gunung" tidak lepas dari rangkaian agenda rutin untuk tahun kelima, Borobudur Writers and Cultural Festival yang berlangsung pada tanggal 5 s.d. 8 Oktober 2016 di kawasan Candi Borobudur dengan tema "Setelah 200 Tahun Serat Centhini: Erotisme dan Religiusitas dalam Kitab-Kitab Nusantara".

"Pementasan di alam terbuka di dusun dekat Gunung Andong, mendekatkan setiap manusia dengan alam. Alam selalu plural. Pluralitas adalah 'rahmatan lil alamin' (Rahmat untuk semua isi alam, red.). Di situlah kita akan bertemu dengan spiritual dan makna perdamaian," katanya.

Keseharian hidup masyarakat desa yang berdamai dengan alam, kata Tanto Mendut yang juga pengajar Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, merembet kepada terbangunnya sikap hidup bersama yang kuat, upaya-upaya arif serta bijaksana untuk menghindari konflik, dan menghargai perbedaan antarmanusia.

Semangat perdamaian yang disebut Yenny, harus terus-menerus disemai agar menjadi ombak besar perdamaian dunia, sebagaimana tujuan peringatan Hari Perdamaian Dunia yang jatuh setiap 21 September.

Wahid Institute yang dipimpinnya, selama 3 tahun terakhir secara khusus memperingati Hari Perdamaian Dunia tersebut melalui berbagai kegiatan.

Perubahan kehidupan dari serbakonflik menjadi perdamaian, katanya, dimulai dari masyarakat akar rumput, komunitas-komunitas masyarakat, termasuk kalangan perempuan, meskipun mereka juga sering menjadi korban dalam konflik.

Pertunjukan "Centhini Gunung" dengan kehadiran para perempuan seniman menjadi terobosan dalam mendekonstruksi budaya pada zamannya untuk menggelorakan semangat perdamaian dunia.

Ihwal demikian setidaknya "dipentaskan" perempuan diplomat Indonesia Nara Masista Rakhmatia di "panggung" sidang PBB melalui gestur telunjuknya itu agar antarnegara tidak terjebak konflik dan saling menuding untuk menyalahkan.

"Melalui fasilitasi kepada mereka, kita berdayakan perempuan untuk menyemai benih-benih perdamaian," kata Yenny.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024