Purwokerto, Antara Jateng - Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Warga Binaan Pemasyarakatan (RPP Warga Binaan) menguntungkan koruptor, kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Unsoed) Purwokerto Prof. Hibnu Nugroho.
"Secara substansi, kami menilai RPP Warga Binaan usulan pemerintah tersebut jelas menguntungkan koruptor berupaya memberikan banyak celah dan peluang agar koruptor lebih cepat keluar dari penjara," katanya di Purwokerto, Jawa Tengah, Senin.
Oleh karena itu, kata dia, pihaknya bersama empat guru besar dari sejumlah perguruan tinggi yang tergabung dalam "Guru Besar Antikorupsi" mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo yang berisi permintaan untuk menolak pengesahan regulasi yang mempermudah pemberian remisi bagi koruptor.
Menurut dia, empat guru besar lainnya terdiri atas Prof. Moh. Mahfud M.D. (Universitas Islam Indonesia), Prof. Rhenald Kasali dan Prof. Sulistyowati Irianto (Universitas Indonesia), serta Prof. Marwan Mas (Universitas Bosowa '45 Makassar).
"Hari ini, surat tersebut kami kirimkan kepada Presiden. Sebenarnya ini mengingatkan kembali kepada Presiden, bahwa korupsi adalah suatu 'extra ordinary crime' atau kejahatan luar biasa sehingga penindakannya harus secara khusus," jelasnya.
Lebih lanjut, Hibnu mengatakan penindakan secara khusus tersebut sebagai bentuk aspek penjeraan serta bagian dari pencegahan agar tidak terjadi tindak pidana korupsi pada generasi yang mendatang.
Menurut dia, regulasi dalam konteks RPP Warga Binaan menganggap tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana umum sehingga jika disahkan akan terjadi pengingkaran terhadap kejahatan luar biasa.
"Permasalahannya, apakah korupsi dijadikan tindak pidana biasa? Kan belum," katanya.
Ia mengatakan pemerintah tidak perlu sibuk mengurusi masalah
penegakan hukum terhadap koruptor yang sebenarnya sudah disepakati
dan diterima masyarakat.
Menurut dia, sebenarnya masih banyak pekerjaan yang sekiranya harus didahulukan seperti Rancangan Undang-Undangan (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
"Kita jangan sibuk dengan masalah yang sebenarnya sudah diterima masyarakat, dan sekarang menjadi malah polemik kembali," tegasnya.
Menurut dia, penegakan hukum terhadap koruptor dalam beberapa tahun terakhir terkesan sudah lentur yang diperparah dengan elit politik yang memberikan kelenturan seperti pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan yang meminta koruptor tidak dipenjara dengan alasan "over capacity".
"Secara substansi, kami menilai RPP Warga Binaan usulan pemerintah tersebut jelas menguntungkan koruptor berupaya memberikan banyak celah dan peluang agar koruptor lebih cepat keluar dari penjara," katanya di Purwokerto, Jawa Tengah, Senin.
Oleh karena itu, kata dia, pihaknya bersama empat guru besar dari sejumlah perguruan tinggi yang tergabung dalam "Guru Besar Antikorupsi" mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo yang berisi permintaan untuk menolak pengesahan regulasi yang mempermudah pemberian remisi bagi koruptor.
Menurut dia, empat guru besar lainnya terdiri atas Prof. Moh. Mahfud M.D. (Universitas Islam Indonesia), Prof. Rhenald Kasali dan Prof. Sulistyowati Irianto (Universitas Indonesia), serta Prof. Marwan Mas (Universitas Bosowa '45 Makassar).
"Hari ini, surat tersebut kami kirimkan kepada Presiden. Sebenarnya ini mengingatkan kembali kepada Presiden, bahwa korupsi adalah suatu 'extra ordinary crime' atau kejahatan luar biasa sehingga penindakannya harus secara khusus," jelasnya.
Lebih lanjut, Hibnu mengatakan penindakan secara khusus tersebut sebagai bentuk aspek penjeraan serta bagian dari pencegahan agar tidak terjadi tindak pidana korupsi pada generasi yang mendatang.
Menurut dia, regulasi dalam konteks RPP Warga Binaan menganggap tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana umum sehingga jika disahkan akan terjadi pengingkaran terhadap kejahatan luar biasa.
"Permasalahannya, apakah korupsi dijadikan tindak pidana biasa? Kan belum," katanya.
Ia mengatakan pemerintah tidak perlu sibuk mengurusi masalah
penegakan hukum terhadap koruptor yang sebenarnya sudah disepakati
dan diterima masyarakat.
Menurut dia, sebenarnya masih banyak pekerjaan yang sekiranya harus didahulukan seperti Rancangan Undang-Undangan (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
"Kita jangan sibuk dengan masalah yang sebenarnya sudah diterima masyarakat, dan sekarang menjadi malah polemik kembali," tegasnya.
Menurut dia, penegakan hukum terhadap koruptor dalam beberapa tahun terakhir terkesan sudah lentur yang diperparah dengan elit politik yang memberikan kelenturan seperti pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan yang meminta koruptor tidak dipenjara dengan alasan "over capacity".