Oleh Dr. dr. Dody Novrial, MSi.Med,Sp.PA

Pro kontra tentang manfaat dan mudarat rokok dan produk tembakau lainnya boleh jadi merupakan kontroversi terlama dalam sejarah peradaban manusia. Sejarah mencatat, sebelum abad XV tembakau telah digunakan oleh suku Indian kuno di benua Amerika sebagai obat.

Tertarik akan khasiatnya, pada tahun 1560, Jean Nicot, seorang diplomat berkebangsaan Prancis memperkenalkan tembakau di negaranya. Pada akhir abad XVI penggunaan tembakau dan kebiasaan merokok telah menjadi budaya di Eropa dan diekspor ke negara-negara Asia seperti India, Cina, dan Jepang.

Nama latin tembakau, Nicotiana tabacum diadopsi dari nama Jean Nicot atas jasanya memperkenalkan dan membudidayakan tanaman tersebut. Pada masa itu tembakau dianggap sebagai panacea yaitu obat segala penyakit dan dijuluki ‘the holy herb’ atau ‘God’s remedy’.

Kajian dan penelitian tentang manfaat tembakau oleh para peneliti, dokter dan ahli botani kala itu berhasil mengidentifikasi penyakit-penyakit yang dapat disembuhkan oleh tembakau. Keberhasilan itu mengantarkan tembakau masuk dalam herbal-pharmacopoeias sebagai agen kuratif pada tahun 1952.

Pemanfaatan tembakau untuk pengobatan juga dibukukan oleh para praktisi kesehatan saat itu seperti Edmund Gardener pada tahun 1960 dengan bukunya The Triall of Tobacco. Pada tahun 1614, William Barcley juga menerbitkan buku Nepenthes or the Vertues of Tobacco yang isinya memuji manfaat tembakau bagi kesehatan.

Reputasi terhormat tembakau sebagai tumbuhan berkhasiat obat ternoda ketika pada tahun 1828 ahli-ahli botani menemukan kandungan alkaloid – yang kemudian disebut nikotin – pada daun tanaman ini. Nikotin dianggap sebagai alkaloid berbahaya, dan puncaknya pada akhir abad XVIII tembakaupun dikeluarkan dari pharmacopoeias dan praktik kedokteran. Pada era setelahnya hingga hari ini, hasil-hasil penelitian tentang manfaat tembakau bagi kesehatan selalu penuh dengan kontroversi.

Pertanyaan besarnya, mengapa tanaman yang dulu sangat bermanfaat ini berubah menjadi berbahaya bagi kesehatan? Kuat dugaan hal itu berkaitan erat dengan revolusi industri yang berkembang di Eropa pada periode tahun 1750-1850. Peralihan ekonomi berbasis pertanian menjadi berbasis manufaktur menyebabkan terjadinya mekanisasi industri.

Peningkatan pemanfaatan industri tambang dan batu bara sebagai bahan bakar ditambah dengan asap-asap pabrik menyebabkan pencemaran pada sistem biologi di permukaan bumi, termasuk tembakau. Pencemaran yang memiliki dampak besar bagi sistem biologi adalah pencemaran logam berat diantaranya adalah merkuri (Hg).

Dr. Gretha Zahar dibantu sejumlah ahli biologi, fisika, kimia dan kedokteran Indonesia mencoba mengembalikan tembakau pada tempatnya semula sebagai agen kuratif. Melalui serangkaian riset ilmiah berbasis nanosains, nanoteknologi dan nanobiologi sejak satu dasawarsa terakhir, telah tercipta formula yang mampu mentransformasi asap rokok yang mengandung materi berbahaya menjadi tidak berbahaya bagi kesehatan.

Dasar hipotesis dari inovasi ini adalah bahwa toksisitas rokok berasal dari adanya kandungan merkuri (Hg) radikal pada tembakau yang berasal dari lingkungan, bukan karena kandungan nikotin di dalamnya.

Tembakau termasuk salah satu jenis tanaman dengan kandungan Hg yang tinggi. Hg pada daun tembakau didapatkan terutama dari serapan langsung uap merkuri yang ada di atmosfir. Akumulasi Hg terjadi karena adanya partikel Au pada daun tembakau berupa nikotin-gold cair dan sejumlah senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon yang bersifat sensitizer.

Keberadaan merkuri dan sensitizer pada tembakau dapat memicu reaksi fotodinamik yang akan menghasilkan banyak radikal bebas. Radikal bebas memiliki sifat sangat reaktif dan tidak stabil.

Keberadaannya di dalam tubuh cenderung memecah jaringan tubuh dari waktu ke waktu yang memicu terjadinya proses degeneratif. Kondisi inilah yang menyebabkan tembakau dan rokok menjadi toksik, sehingga upaya mengurangi toksisitas rokok dapat dilakukan dengan mengendalikan radikal merkuri (Hg*) dan menciptakan kompleksitas baru yang lebih stabil.

Transformasi tembakau yang toksik dilakukan dengan menggunakan larutan scavenger, yaitu larutan nano-water yang mengandung senyawa berupa gugus aromatis seperti asam amino aromatis, mannitol, asetosal dan EDTA. Larutan tersebut berfungsi sebagai chelator logam yang berperan membentuk senyawa low molecular weight complexes dengan atom logam sebagai pusat koordinatornya.

Senyawa ini sangat mungkin bertindak sebagai scavenger (pemulung) radikal dengan menempatkan logam termasuk Hg selaku atom koordinatornya. Prinsip inovasi ini adalah berupaya mengkonstruksi blok besar nanostruktur yang memiliki karaktek sensitizer yang secara termodinamika berpotensi mengembangkan atau membentuk keteraturan energi biologis. Low molecular weight complexes yang terbentuk memiliki kepadatan elektron yang lebih tinggi dan memiliki kapasitas untuk mendonasikan elektron yang berarti pula memiliki potensi sebagai radical scavenger.

Kretek Divine pada akhirnya menarik tokoh-tokoh kedokteran di Indonesia. Sekitar tahun 2011 almarhum Prof. Dr. dr. Sarjadi. Sp.PA(K) dan tim dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, mulai tekun mempelajari kontribusi dan manfaat yang bisa diberikan Kretek Divine dibidang kedokteran. Riset pada binatang percobaan terus dilakukan. Hasil dari analisis dengan parameter medis menyimpulkan Kretek Divine memiliki potensi sebagai agen kuratif. Potensinya sebagai radical scavenger akan sangat bermanfaat bagi terapi hampir semua penyakit dikarenakan sebagian besar keadaan patologis tubuh bersumber dari radikal bebas.

Ide penerapan inovasi Kretek Divine sebagai upaya untuk meminimalisasi atau bahkan menghilangkan sama sekali efek toksik rokok bukan saja dilematis akan tetapi juga kontroversial. Di satu sisi inovasi ini bisa jadi akan membuat orang tak lagi takut menghisap asap tembakau, sehingga bukan mustahil bakal membuat populasi perokok semakin bertambah besar. Sementara pada sisi yang lain upaya menekan populasi perokok dengan berbagai cara persuasif dan kampanye anti rokok belum banyak membuahkan hasil.

Dalam kurun waktu antara tahun 1980-2013 prevalensi perokok di Indonesia tak pernah berada dibawah angka 50%. Data terakhir yang dirilis American Cancer Society, pada tahun 2013 tercatat 57% pria dewasa dan 45% anak-anak di Indonesia merupakan perokok aktif. Dengan mengasumsikan para pria perokok tersebut sudah berkeluarga, maka populasi perokok pasif juga pasti sangat tinggi.

Keadaan ini seperti kata pepatah ‘bagai makan buah simalakama’. Bila tidak dilakukan upaya menghilangkan toksisitas rokok, maka efek buruk asap rokok akan terus berdampak pada jutaan jiwa manusia. Namun bila kita berpegang pada filosofi bahwa obat adalah racun, maka tembakau yang saat ini dianggap racun tentunya juga memiliki efek obat, tinggal bagaimana kita mengolah potensi positif yang dimilikinya, sebagaimana yang telah berhasil dilakukan oleh anak bangsa sendiri.

Pada akhirnya dalam upaya pengendalian efek toksik tembakau, inovasi untuk membuat rokok sehat tampaknya lebih mudah dan lebih realistis diterapkan dibanding kampanye anti rokok dan mengobati penyakit akibat rokok itu sendiri. ***


Dr. dr. Dody Novrial, MSi.Med, Sp.PA

Dosen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Lulusan Program Doktor Ilmu Kedokteran – Kesehatan Universitas Diponegoro, Semarang. Judul Disertasi; Pengaruh Asap Kretek dan Asap Kretek Divine Terhadap Perubahan Morfologi Epitel Kolorektal Melalui Perubahan Ekspresi APC, K-RAS, MSH2, MLH1 dan p53. (Studi Eksperimental Pada Tikus Wistar)







Pewarta : -
Editor : Zaenal A.
Copyright © ANTARA 2024