Magelang, Antara Jateng - Seniman petani dari kawasan Gunung Merapi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sepertinya memang titis membeberkan makna kemuliaan pertanian melalui suguhan karya kontemporer wayang waton berlakon "Lahirnya Boma" pada malam terakhir Festival Lima Gunung XV/2016.
Bagaikan penghormatan dari seluruh penonton atas kemegahan terhadap pementasan besar, mereka beroleh kemuliaan melalui "standing ovation" penonton, setelah memainkan lakon kelahiran anak Dewa Wisnu dan Dewi Pertiwi tersebut.
Pementasan seniman petani Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisir, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, itu mendedahkan pemaknaan atas tema festival tahunan yang diselenggarakan secara mandiri seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh), "Pala Kependhem", yakni berbagai tanaman yang buahnya tumbuh dalam tanah.
Festival Lima Gunung XV berlangsung selama 19-24 Juli 2016 dengan pembukaan di Candi Gunung Wukir Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, sedangkan berbagai pementasan kesenian dan agenda kebudayaan lainnya melibatkan 50 grup kesenian, menggunakan dua panggung, "Panggung Tela" dan "Panggung Kimpul", di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.
Dusun Keron yang menjadi lokasi festival dipasangi berbagai ragam instalasi seni berbahan baku alam, seperti bambu dan jerami oleh warga setempat yang tergabung dalam Sanggar Saujana Keron pimpinan Sujono.
Latar belakang panggung utama, "Panggung Kimpul", festival yang untuk memainkan wayang waton itu, juga berupa instalasi gunungan raksasa setinggi 15 meter terbuat dari bambu dan jerami, sedangkan di kiri dan kanannya, berupa hiasan penjor kontemporer dari bambu dan jerami pula dengan berbagai ragam bentuknya.
Lakon tentang kelahiran Boma Narakasura, salah satu tokoh dunia pewayangan yang dikenal pula dengan nama Setijo, digarap secara kontemporer menjangkau antara lain kesenian wayang orang, wayang kulit, performa gerak, teater, musik gamelan, oleh seniman yang sehari-hari hidup sebagai petani.
Sutradara yang juga dalang wayang waton, diampu langsung oleh pemimpin padepokan berbasis kesenian wayang orang yang didirikan sejak 1937, Sitras Anjilin, sedangkan penata tari Surawan, penata iringan musik Martejo, dan penata lampu Bagor serta Cathak.
Pementasan dalam durasi pendek, sekitar 30 menit, dengan semua penabuh gamelan (Markayun, Prayitno, Sarwoto, Teguh, Martejo, dan Darmawan) berposisi berdiri di depan panggung raksasa terbuat dari tatanan bambu pada Minggu (24/7) malam tersebut, dibuka dengan suluk Sang Dalang, yang menceritakan tentang adegan "goro-goro".
Sejumlah pemain memasuki panggung tanah yang dibaluri jerami, sambil masing-masing membawa obor untuk ditancapkan di beberapa tempat pementasan yang juga dihiasi dengan bentangan kain panjang warna putih membentuk tanda silang.
Dalam balutan minim cahaya, semua penonton terasa tak bersuara. Suasana terkesan sunyi. Hanya lantunan tembang bercerita "goro-goro" dikirim Sang Dalang sambil mengangkat wayang gunungan, memanfaatkan alur semilir angin gunung sebagai pembawa hawa dingin malam menuju pendengaran penonton, diiringi tabuhan gamelan berirama perlahan.
Semua penonton festival yang mengelilingi arena pementasan mungkin secara bersama-sama pula, mulai menganyamkan tancapan awal cerita di benaknya tentang lakon "Lahirnya Boma Narakasura".
Para wirasuara yang juga penari latar (Martejo, Suwanta, Haryadi, Sumarno, Ateng, dan Saparno) sambil memainkan gerak teatrikal bersama semua penabuh gamelan, melantunkan tembang rampak yang syairnya mencuplik dari suatu rapalan.
"'Maratiweka mabiyujita sabarating'," begitu berulang-ulang kalimat tembang itu terdengar mewarnai gerak performa tarian, saat Sang Dalang mengisahkan bencana menimpa bumi karena alamnya rusak oleh ulah Dewa Siwa (Untung Pribadi).
Dikisahkan dalam adegan wayang waton berikutnya, bahwa Dewa Wisnu (Surawan) turun ke bumi lalu bertemu dengan Dewi Pertiwi yang melalui performa gerak dimainkan tiga seniman, yakni Riya, Sinta, dan Nora. Mereka dikisahkan bercinta dan kemudian lahir Boma atau Setijo, sosok raksasa yang sakti.
Boma dalam pementasan wayang waton itu, digambarkan oleh seniman petani Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, sebagai "ogoh-ogoh" yang dimainkan secara performa gerak oleh Setiaka, Pujiyanto, Agus, Sabari, dan Sunantara.
Dalam cerita pewayangan, Boma berhasil mengalahkan Arjuna, akan tetapi Kresna atau titisan Dewa Wisnu yang juga ayahnya yang berpihak kepada Pandawa, tidak bisa mengalahkan Setijo. Ia hidup lagi, setiap kali jasadnya menyentuh tanah.
Oleh Dalang Sitras yang juga salah satu pemimpin Komunitas Lima Gunung itu, nama Boma diartikan sebagai "bumi" atau "ibu bumi", sedangkan nama aliasnya, yakni "Setijo", diejawantahkan dalam dua kata, "siti (tanah) dan ijo (hijau)", yang maksudnya tanah subur.
Adegan terakhir, sebelum Sang Dalang berbicara singkat menggunakan bahasa Indonesia, "Demikian pementasan kami", berupa gerakan teatrikal yang bercerita tentang kelahiran Boma Narakasura.
Gerakan performa seni itu menggambarkan seorang penari perempuan diangkat oleh beberapa pemain lainnya dari tengah arena panggung mendekati tempat Sang Dalang berdiri.
"Ketika tanah subur maka menjadi tumbuh 'pala kependhem', 'pala gumantung' (tanaman dengan buah yang tumbuh tergantung)," kata Sitras.
Saat memimpin kirab budaya puncak festival siang harinya, Sitras juga mengatakan tentang pentingnya terus menerus digelorakan semangat cinta terhadap alam dan peduli terhadap pertanian berkelanjutan.
Otokritik pun dilontarkannya, bahwa sebagian penggarap pertanian zaman sekarang tidak melakukan ulah krida alamnya itu dengan perasaan cinta terhadap tanah dan alam.
Padahal, katanya, penggarap tanah pertanian tanpa landasan cinta alam sebagai mengingkari kehidupannya sendiri. Ibarat ikan bunuh diri karena ulahnya yang membuat air kolam menjadi keruh.
"Tema festival tahun ini 'Pala Kependhem' mengingatkan bahwa kita tidak kekurangan, tetapi hanya kehilangan rasa cinta kepada alam, tanah, ibu pertiwi," katanya.
Budayawan dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Romo Budi Subanar yang hadir pada puncak Festival Lima Gunung XV/2016 mengemukakan agenda kebudayaan para seniman petani tersebut, sebagai upaya memuliakan jagat pertanian dengan para petani yang tangguh dan bijaksana.
"Melalui festival ini, pertanian dengan segala hasil pekerjaan petani, dimuliakan. Saya merasa keraton saja sebagai keratonnya para petani. Yang berkuasa juga jagat petani. Di keraton ada 'pare anom', itu warnanya kuning dan hijau, jagatnya petani," ucapnya.
Festival Lima Gunung disebutnya sebagai momentum "ngangsu kawruh" (menimba ilmu) tentang jagat pertanian melalui dunia kesenian yang kaya simbol.
Budayawan lainnya yang juga pemimpin spiritual Komunitas Lima Gunung K.H. Muhammad Yusuf Chudlori mengemukakan tentang festival yang menjadi ajang silaturahim antarmanusia secara manusiawi di tengah terpaan zaman dengan kemajuan dunia teknologi komunikasi dan informatika.
"Dengan festival ini, semua datang, bertemu untuk 'andum slamet' (berbagi keselamatan)," kata pemimpin Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo Kabupaten Magelang itu.
Ia mengajak masyarakat desa memperkuat kebanggaan menjadi petani dengan kekayaan nilai kearifan dan semangat kekeluargaan yang terus dihidupinya.
"Memang benar festival ini memuliakan tani, supaya tetap bangga menjadi petani dengan gotong royongnya. 'Mugi-mugi Festival Lima Gunung lestantun bekta manfangat lan berkah kita sedaya' (Semoga festival itu tetap lestari, membawa manfaat dan memberi berkah untuk semua orang, red.)," katanya.
Bagaikan penghormatan dari seluruh penonton atas kemegahan terhadap pementasan besar, mereka beroleh kemuliaan melalui "standing ovation" penonton, setelah memainkan lakon kelahiran anak Dewa Wisnu dan Dewi Pertiwi tersebut.
Pementasan seniman petani Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisir, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, itu mendedahkan pemaknaan atas tema festival tahunan yang diselenggarakan secara mandiri seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh), "Pala Kependhem", yakni berbagai tanaman yang buahnya tumbuh dalam tanah.
Festival Lima Gunung XV berlangsung selama 19-24 Juli 2016 dengan pembukaan di Candi Gunung Wukir Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, sedangkan berbagai pementasan kesenian dan agenda kebudayaan lainnya melibatkan 50 grup kesenian, menggunakan dua panggung, "Panggung Tela" dan "Panggung Kimpul", di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.
Dusun Keron yang menjadi lokasi festival dipasangi berbagai ragam instalasi seni berbahan baku alam, seperti bambu dan jerami oleh warga setempat yang tergabung dalam Sanggar Saujana Keron pimpinan Sujono.
Latar belakang panggung utama, "Panggung Kimpul", festival yang untuk memainkan wayang waton itu, juga berupa instalasi gunungan raksasa setinggi 15 meter terbuat dari bambu dan jerami, sedangkan di kiri dan kanannya, berupa hiasan penjor kontemporer dari bambu dan jerami pula dengan berbagai ragam bentuknya.
Lakon tentang kelahiran Boma Narakasura, salah satu tokoh dunia pewayangan yang dikenal pula dengan nama Setijo, digarap secara kontemporer menjangkau antara lain kesenian wayang orang, wayang kulit, performa gerak, teater, musik gamelan, oleh seniman yang sehari-hari hidup sebagai petani.
Sutradara yang juga dalang wayang waton, diampu langsung oleh pemimpin padepokan berbasis kesenian wayang orang yang didirikan sejak 1937, Sitras Anjilin, sedangkan penata tari Surawan, penata iringan musik Martejo, dan penata lampu Bagor serta Cathak.
Pementasan dalam durasi pendek, sekitar 30 menit, dengan semua penabuh gamelan (Markayun, Prayitno, Sarwoto, Teguh, Martejo, dan Darmawan) berposisi berdiri di depan panggung raksasa terbuat dari tatanan bambu pada Minggu (24/7) malam tersebut, dibuka dengan suluk Sang Dalang, yang menceritakan tentang adegan "goro-goro".
Sejumlah pemain memasuki panggung tanah yang dibaluri jerami, sambil masing-masing membawa obor untuk ditancapkan di beberapa tempat pementasan yang juga dihiasi dengan bentangan kain panjang warna putih membentuk tanda silang.
Dalam balutan minim cahaya, semua penonton terasa tak bersuara. Suasana terkesan sunyi. Hanya lantunan tembang bercerita "goro-goro" dikirim Sang Dalang sambil mengangkat wayang gunungan, memanfaatkan alur semilir angin gunung sebagai pembawa hawa dingin malam menuju pendengaran penonton, diiringi tabuhan gamelan berirama perlahan.
Semua penonton festival yang mengelilingi arena pementasan mungkin secara bersama-sama pula, mulai menganyamkan tancapan awal cerita di benaknya tentang lakon "Lahirnya Boma Narakasura".
Para wirasuara yang juga penari latar (Martejo, Suwanta, Haryadi, Sumarno, Ateng, dan Saparno) sambil memainkan gerak teatrikal bersama semua penabuh gamelan, melantunkan tembang rampak yang syairnya mencuplik dari suatu rapalan.
"'Maratiweka mabiyujita sabarating'," begitu berulang-ulang kalimat tembang itu terdengar mewarnai gerak performa tarian, saat Sang Dalang mengisahkan bencana menimpa bumi karena alamnya rusak oleh ulah Dewa Siwa (Untung Pribadi).
Dikisahkan dalam adegan wayang waton berikutnya, bahwa Dewa Wisnu (Surawan) turun ke bumi lalu bertemu dengan Dewi Pertiwi yang melalui performa gerak dimainkan tiga seniman, yakni Riya, Sinta, dan Nora. Mereka dikisahkan bercinta dan kemudian lahir Boma atau Setijo, sosok raksasa yang sakti.
Boma dalam pementasan wayang waton itu, digambarkan oleh seniman petani Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, sebagai "ogoh-ogoh" yang dimainkan secara performa gerak oleh Setiaka, Pujiyanto, Agus, Sabari, dan Sunantara.
Dalam cerita pewayangan, Boma berhasil mengalahkan Arjuna, akan tetapi Kresna atau titisan Dewa Wisnu yang juga ayahnya yang berpihak kepada Pandawa, tidak bisa mengalahkan Setijo. Ia hidup lagi, setiap kali jasadnya menyentuh tanah.
Oleh Dalang Sitras yang juga salah satu pemimpin Komunitas Lima Gunung itu, nama Boma diartikan sebagai "bumi" atau "ibu bumi", sedangkan nama aliasnya, yakni "Setijo", diejawantahkan dalam dua kata, "siti (tanah) dan ijo (hijau)", yang maksudnya tanah subur.
Adegan terakhir, sebelum Sang Dalang berbicara singkat menggunakan bahasa Indonesia, "Demikian pementasan kami", berupa gerakan teatrikal yang bercerita tentang kelahiran Boma Narakasura.
Gerakan performa seni itu menggambarkan seorang penari perempuan diangkat oleh beberapa pemain lainnya dari tengah arena panggung mendekati tempat Sang Dalang berdiri.
"Ketika tanah subur maka menjadi tumbuh 'pala kependhem', 'pala gumantung' (tanaman dengan buah yang tumbuh tergantung)," kata Sitras.
Saat memimpin kirab budaya puncak festival siang harinya, Sitras juga mengatakan tentang pentingnya terus menerus digelorakan semangat cinta terhadap alam dan peduli terhadap pertanian berkelanjutan.
Otokritik pun dilontarkannya, bahwa sebagian penggarap pertanian zaman sekarang tidak melakukan ulah krida alamnya itu dengan perasaan cinta terhadap tanah dan alam.
Padahal, katanya, penggarap tanah pertanian tanpa landasan cinta alam sebagai mengingkari kehidupannya sendiri. Ibarat ikan bunuh diri karena ulahnya yang membuat air kolam menjadi keruh.
"Tema festival tahun ini 'Pala Kependhem' mengingatkan bahwa kita tidak kekurangan, tetapi hanya kehilangan rasa cinta kepada alam, tanah, ibu pertiwi," katanya.
Budayawan dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Romo Budi Subanar yang hadir pada puncak Festival Lima Gunung XV/2016 mengemukakan agenda kebudayaan para seniman petani tersebut, sebagai upaya memuliakan jagat pertanian dengan para petani yang tangguh dan bijaksana.
"Melalui festival ini, pertanian dengan segala hasil pekerjaan petani, dimuliakan. Saya merasa keraton saja sebagai keratonnya para petani. Yang berkuasa juga jagat petani. Di keraton ada 'pare anom', itu warnanya kuning dan hijau, jagatnya petani," ucapnya.
Festival Lima Gunung disebutnya sebagai momentum "ngangsu kawruh" (menimba ilmu) tentang jagat pertanian melalui dunia kesenian yang kaya simbol.
Budayawan lainnya yang juga pemimpin spiritual Komunitas Lima Gunung K.H. Muhammad Yusuf Chudlori mengemukakan tentang festival yang menjadi ajang silaturahim antarmanusia secara manusiawi di tengah terpaan zaman dengan kemajuan dunia teknologi komunikasi dan informatika.
"Dengan festival ini, semua datang, bertemu untuk 'andum slamet' (berbagi keselamatan)," kata pemimpin Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo Kabupaten Magelang itu.
Ia mengajak masyarakat desa memperkuat kebanggaan menjadi petani dengan kekayaan nilai kearifan dan semangat kekeluargaan yang terus dihidupinya.
"Memang benar festival ini memuliakan tani, supaya tetap bangga menjadi petani dengan gotong royongnya. 'Mugi-mugi Festival Lima Gunung lestantun bekta manfangat lan berkah kita sedaya' (Semoga festival itu tetap lestari, membawa manfaat dan memberi berkah untuk semua orang, red.)," katanya.