Magelang, Antara Jateng - Bulan tampak utuh menggantung di langit antara Gunung Merapi dan Merbabu Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, tatkala puluhan warga bersila di halaman panggung raksasa yang eksotik, untuk selamatan karena menjadi tuan rumah Festival Lima Gunung XV/2016.

Ketika mereka memulai berkenduri, jarum jam digital tepat menunjuk pukul 24.00 WIB pada Rabu (20/7) bergerak ke hari berikutnya. Malam terus berarak menuju dini, dibalut udara dingin. Mereka yang berkenduri, masing-masing mengenakan jaket dan bersarung.

Sekumpulan awan di langit, seakan berikhlas hati menyibakkan diri untuk memberi jalan bagi cahaya rembulan yang diinstalasi oleh alam menjadi wujud halo (Nimbus, Icebow, atau Gloriole), menembus Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaen Magelang yang berwarga 89 kepala keluarga atau sekitar 350 jiwa itu.

Fenomena optis berupa lingkaran cahaya yang malam itu terlihat tipis di sekitar bulan purnama, seolah-olah melingkari para warga di kawasan dekat aliran Sungai Pabelan, yang sedang memanjatkan doa dan memuji syukur kepada Tuhan melalui kenduri festival. Sungai Pabelan adalah sambungan Kali Tringsing yang aliran airnya berhulu di Gunung Merapi.

Warga meletakkan berbagai sarana kenduri di atas tikar di depan panggung utama Festival Lima Gunung dengan latar belakang instalasi gunungan raksasa dibuat dari bambu dan anyaman jerami dengan hiasan penjor jerami di kanan dan kirinya itu, yang mereka sebut "Panggung Kimpul".

Berbagai sarana kenduri, antara lain tumpeng dengan aneka sayuran, lauk-pauk, ingkung, urap, singkong, ubi, tales, gembili, dan kacang rebus. Di sekeliling tempat mereka bersila untuk kenduri, dipasangi sejumlah obor.

Saat kenduri yang dipimpin Kaum Dusun Keron yang juga anggota Satuan Perlindungan Masyarakat Desa Krogowanan Wahudi itu, hadir pula sejumlah anggota kelompok pengajian dan diskusi "Maneges Qudra" Kabupaten Magelang dipimpin Izamul Muluk dan Presiden Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Sutanto Mendut.

Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) adalah penyelenggara setiap tahun Festival Lima Gunung. Festival kali ini, 19 s.d. 24 Juli 2016, diselenggarakan di Dusun Keron karena seniman petani setempat yang tergabung dalam Sanggar Saujana Keron pimpinan Sujono, menjadi bagian dari Komunitas Lima Gunung yang dirintis dan dikembangkan oleh budayawan Sutanto Mendut.

Selama sekitar 3 bulan terakhir, warga Keron bekerja bersama dengan suasana batin yang riang bahagia dan penuh semangat untuk menyiapkan segala sesuatunya sebagai tuan rumah festival tahunan para seniman petani Komunitas Lima Gunung.

Mereka membuat instalasi dengan bahan utama bambu dan jerami untuk menghiasi berbagai tempat di dusunnya, mendirikan dua panggung pementasan yang mereka sebut sebagai "Panggung Kimpul" dan "Panggung Tela", memperbaiki sarana air bersih, membangun jalan lingkar dusun, menyiapkan rumah-rumah untuk transit dan menginap para tamu festival, serta membuka sejumlah warung makan dan kuliner desa.

Tema Festival Lima Gunung XV/2016 adalah "Pala Kependhem", menunjuk secara konkret tentang tanaman pertanian yang tumbuh dan berbuah di dalam tanah, seperti ketela, ubi, kimpul, tales, dan gembili.

Makna simbolik tema itu, mengarah pada nilai-nilai kehidupan nenek moyang bangsa yang antara lain taat aturan, patuh kepada pimpinan bermartabat, kerja keras membangun kemakmuran, sebagaimana tertera dalam Prasasti Canggal (732 Masehi) yang ditemukan di Candi Gunung Wukir, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang (1879).

Pembukaan festival berlangsung di reruntuhan candi itu pada Selasa (19/7), melalui prosesi ritual, doa, performa seni, pembacaan puisi, dan peluncuran buku Komunitas Lima Gunung berjudul "Jawadwipa Kependhem".

Sekitar 50 grup kesenian, antara lain dari Komunitas Lima Gunung, desa-desa di sekitar Keron, beberapa kelompok kesenian lainnya di Kabupaten dan Kota Magelang, serta sejumlah lainnya dari berbagai kota besar, bakal melakukan pementasan di festival tersebut.

Festival juga ditandai dengan pameran seni rupa oleh para seniman dari kawasan Candi Borobudur Kabupaten Magelang, kirab budaya, dan pidato kebudayaan oleh beberapa tokoh.

"Kajangka"
Hajatan kebudayaan tersebut tentu saja menjadi kebanggaan warga Dusun Keron karena pada tahun ini mereka berkesempatan menjadi tuan rumah. Kenduri festival yang mereka lakukan tengah malam itupun sebagai bagian dari penyambutan secara spiritual atas peran Keron sebagai tuan rumah festival.

"'Mugi-mugi anggenipun hangayahi pagelaran kajangka kadumugen' (Semoga festival ini terselenggara dengan baik sesuai rencana dan tujuan yang mulia, red.)," begitu ungkapan Kaum Wahudi saat memimpin kenduri festival.

Tema festival tentang "Pala Kependhem" disebutnya sebagai pertanda yang tepat bagi ungkapan syukur warga setempat yang sebagian besar bekerja sebagai petani sayuran dan padi.

Oleh karena itu, festival tersebut juga menjadi ungkapan harapan warga agar tanah pertanian selalu subur dan panenan selalu melimpah agar kehidupan mereka makin makmur.

"'Anggenipun wilujengan mendhet irah-irahan pala kependhem, ing pangajap mugi para tani tansah manggih kawilujengan, siti saya subur, taneman saya subur lan ngrembaka, waget ndadosaken makmuring keluwarga among tani ing Keron sakukuban tansah wilujeng tuwin ngrembaka, gemah ripah loh jinawi. Tebih saking rubeda'," demikian ungkapan doa itu disampaikan dengan menggunakan bahasa Jawa oleh Wahudi.

Kira-kira maksud ungkapan doa itu, harapan agar festival membawa petani beroleh keselamatan atau terbebas dari musibah, sedangkan melalui tanah yang selalu subur dan hasil panenan pertanian yang melimpah, membawa mereka kepada kesejahteraan keluarga dan masyarakat setempat.

Saat erupsi dahsyat Gunung Merapi pada tahun 2010 disusul dengan banjir lahar hujan secara intensif, warga Keron sebagai salah satu daerah yang terkena dampak bencana tersebut.

Sujono yang juga Ketua Panitia Lokal Festival Lima Gunung XV/2016 juga menjelaskan tentang tujuan kenduri festival yang sebagai komitmen bersama warga untuk terus berusaha dan bertekun dalam melestarikan lingkungan alam pertanian setempat.

Dunia pertanian dengan dinamika masyarakat petani setempat, selain sebagai sumber penghidupan sehari-hari mereka, juga memberikan inspirasi yang kaya bagi para seniman petani Sanggar Saujana yang dipimpinnya untuk mengembangkan keseniannya.

"Karena pertanian di kawasan kami ini, membuat kami bisa melahirkan sejumlah tarian kontemporer desa, seperti tarian 'Jingkrak Sundang' dan 'Topeng Saujana', serta 'Wayang Gunung'. Karya itu telah kami mainkan di berbagai tempat," ujarnya.

Tarian "Jingkrak Sundang" dan "Topeng Saujana" terinspirasi secara kental dari gerakan beragam binatang dan ternak, sedangkan "Wayang Gunung" berupa wayang kulit dengan tokoh-tokoh puluhan serangga.

Budayawan Sutanto Mendut menyebut alam pertanian dengan kearifan lokal masyarakatnya, dan lingkungan alam yang terus dijaga oleh warga agar lestari, sebagai "pala kependhem" bangsa.

Makna "pala kependhem" diletakkannya sebagai kekuatan ketahanan bangsa dalam menghadapi tantangan dan kerumitan zaman, serta modal mendasar bagi upaya pewarisan peradaban luhur kepada generasi yang akan datang.

"Festival dengan komunitas ini, sepertinya mendapat rida dari Gusti Allah. Selamatan malam ini 'gek-gek' (jangan-jangan) pekerjaan Tuhan, 'gek-gek' pelajaran untuk Indonesia. Ini semua saya agak percaya. Tuhan ada di banyak peristiwa," ujarnya saat memberikan renungan pada kenduri festival.

Ia menyatakan bersyukur karena segala sesuatu yang dikerjakan warga Komunitas Lima Gunung di dusun setempat untuk festivalnya, lahir dari pendaman ketulusan akal dan budi yang luhur.

Melalui Festival Lima Gunung, mereka rupanya hendak dibawa untuk memuliakan Gusti Allah dan memperkuat bangunan lingkungan hidup bersama yang tenteram secara jiwa serta raga.

Cahaya bulan purnama tengah malam yang memayungi warga petani saat kenduri festival, boleh jadi sebagai jawaban tentang "rahmatan lil alamin" (rahmat bagi alam semesta) dari Yang Di Atas.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025