Candi Gunung Wukir di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, memukau alam pikiran para pegiat utama kelompok seniman petani Komunitas Lima Gunung sehingga mereka beberapa kali mengunjungi tempat di kawasan berbatasan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta itu.

Kisah yang menjadi bumbu analisis tentang peninggalan Dinasti Sanjaya di Dusun Carikan, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang tersebut diutarakan secara mendalam oleh inspirator penting komunitas, Sutanto Mendut, kepada para petinggi kelompok tersebut.

Mereka menularkan kisah dan hasil lawatan ke candi tempat ditemukan Prasasti Canggal itu kepada anggota kelompok di dusun masing-masing di kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh yang kemudian melahirkan karya performa seni "Banjaran Taman Jawadwipa".

Prasasti Canggal ditemukan pada tahun 1879 di ketinggian sekitar 335 meter dari permukaan air laut, di bukit tempat Candi Gunung Wukir, dengan candra sengkala menunjuk angka 654 Saka atau 732 Masehi.

Kini, prasasti itu menjadi salah satu koleksi Museum Nasional di Jakarta, sedangkan Candi Gunung Wukir tinggal reruntuhan berupa candi utama dengan yoni di tengahnya dan tiga candi perwara dengan patung nandi di perwara tengah.

Angka 732 Masehi mengarah kepada bagian dari era Raja Sanjaya yang berkuasa atas Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah. Dia adalah keturunan Ratu Shima (674 sampai dengan 695 Masehi), penguasa Kerajaan Kalingga di Jepara sekarang atau di kawasan pantai utara Jateng.

Kekuasaan Dinasti Sanjaya yang era Hindu dilanjutkan oleh Wangsa Syailendra, era Buddha, yang melahirkan jejak peradaban tinggi nenek moyang bangsa Indonesia dalam wujud Candi Borobudur, letaknya tak terlalu jauh dari Candi Gunung Wukir.

"Tidak mungkin tidak, Candi Borobudur tentu bisa dibangun karena nenek moyang kita cerdas dan peradabannya tinggi. Peradaban tinggi lahir karena masyarakat hidup makmur. Tentu orang hidup makmur dan sejahtera dulu baru melahirkan Borobudur yang megah itu," kata Sutanto dalam berbagai pertemuan dengan para petinggi Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang.

Selalu saja dia melontarkan pertanyaan reflektif kultural kepada komunitas yang dikelolanya selama lebih dari 15 tahun terakhir tentang generasi bangsa saat ini apakah masih cerdas dan berperadaban tinggi atau melempem.

"Bangga terhadap kehebatan nenek moyang itu tidak salah, melestarikan tradisi budaya itu baik. Akan tetapi, sekarang kita bisa melahirkan apa? Bangsa ini seolah tidak berhenti menghadapi kubangan persoalan dan konflik. Hal yang menyedihkan terus-menerus ini harus kita ubah menjadi optimistis," ujarnya.

Sutanto yang penerima Gus Dur Award 2016 itu pun merujuk pada Candi Gunung Wukir dengan temuan Prasasti Canggal yang antara lain menunjukkan bukti kemakmuran masyarakat kala itu sebelum Candi Borobudur dibangun. Tentu saja bukti kemakmuran bangsa pada masa lalu juga bisa ditemukan dalam cagar budaya atau bukti sejarah lainnya.

Dalam terjemahan bebas atas aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta, beberapa di antara 12 bait Prasasti Canggal menunjuk betapa masyarakat Jawa hidup sejahtera dengan pulau yang kaya akan emas dan panenan hasil bumi yang melimpah. Masyarakat hidup aman, tenteram, tanpa takut kejahatan, serta serbabahagia.

"Sekarang hidup kita bagaimana? Pertanian diserang hama dan penyakit, korupsi dan kejahatan merajalela, darurat narkoba, radikalisme dan intoleransi mengganggu hidup kita. Padahal, kita punya kekayaan alam yang terpendam, aneka satwa, dan ragam hayati yang menghiasi. Sebenarnya itu menjadi kekuatan kita membangun hidup makmur dan mewariskan kepada anak cucu. Juga menjadi bekal membangun peradaban baru yang tinggi," katanya.

Gagasan tentang kekayaan yang terpedam itu pun telah melahirkan rencana komunitas menggelar agenda tahunan berupa Festival Lima Gunung XV pada tanggal 21 s.d. 24 Juli 2016 di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, kawasan antara Gunung Merapi dan Merbabu, dengan mengangkat tema "Palakependem".

Maksud tema tersebut kira-kira mengeksplorasi inspirasi beragam hasil bumi yang terpendam di tanah sebagai simpanan atas ketahanan pangan, seperti ketela pohon, kimpul, tales, dan kacang. Sutanto menyebut ungkapan lain untuk kekayaan pertanian guna mempertegas istilah "palakependem", yakni adanya sebutan "palakesimpar", misalnya semangka, mentimun, waluh, dan "palawija", seperti jagung dan padi.

"Bisa saja yang dimaksud dengan emas dalam Prasasti Canggal untuk mengungkapkan bahwa Jawa yang makmur karena tanah subur dan pertaniannya selalu menghasilkan panenan melimpah," ucapnya.

Dua Sore
Pada dua sore dalam kurun waktu sekitar 1,5 bulan terakhir (April s.d. Mei 2016), para petinggi komunitas mendaki bukit, tempat reruntuhan Candi Gunung Wukir.

Hingga magrib berkumandang, mereka berada di tempat itu untuk menginternalisasi pemikiran bersama yang telah tertaut tentang cerita kekayaan dan kemakmuran masyarakat Jawa masa lampau.

Dalam benak masing-masing, kiranya boleh diandaikan Jawa masa lampau sebagai suatu taman kemakmuran. Oleh karena itu, mereka tinggal di dusun-dusun dan gunung-gunung yang mengelilingi Kabupaten Magelang dengan tanah subur untuk berolah pertanian. Maka, benak masing-masing tentang kemakmuran identik dengan pertanian sebagai sumbernya.

Kalau mereka hendak menyebut tambang emas sebagai kekayaan saat ini, barangkali dengan mudah mereka akan merujuk pada areal penambangan emas oleh PT Freeport di Papua.

Dalam kunjungan ke Candi Wukir yang kedua pada hari Rabu (4/5), mereka masih menjumpai seseorang berasal dari Lumajang, Jawa Timur, bernama Wijiyanto, yang selama 2 bulan terakhir menjalani tirakat di reruntuhan candi.

Berbagai sesaji sebagai sarana tirakatnya masih terlihat di yoni yang berada di reruntuhan candi utama dengan penampakannya bagaikan panggung terbuka relatif cukup luas untuk pementasan kesenian.

Sebanyak dua penjaga Candi Gunung Wukir yang berstatus pegawai Balai Pelestarian Cagar Budaya Jateng yang juga warga setempat, masing-masing bernama Pitono dan Sunarto, bertekun melakukan tugasnya di tempat itu. Dengan akrab dan ramah, mereka berbincang-bincang dengan sejumlah pegiat utama Komunitas Lima Gunung.

Kompleks candi terlihat selalu bersih dari sampah dedaunan yang jatuh dari pepohonan rindang di luar pagar kawat yang mengelilingi reruntuhan bangunan. Dua petugas kiranya rajin menyapu dedaunan yang jatuh di dalam pagar candi.

Kisah bernuansa mistis dari Wijiyanto tentang Candi Gunung Wukir dengan para pepunden disimak secara baik oleh para pegiat komunitas, seperti Riyadi, Supadi Haryanto, Choirul Mutaqin, Pangadi, dan Sih Agung Prasetyo.

Sutanto Mendut yang selalu menyertai kunjungan mereka ke Candi Gunung Wukir menyebut pertemuan dengan Wijiyanto sebagai hal tidak sengaja.

Pertemuan yang seakan disadari sebagai digariskan oleh batara waktu itu memperkuat pengaliran inspirasi dan imajinasi atas taman kemakmuran Pulau Jawa yang kemudian menjadi karya performa "Banjaran Taman Jawadwipa".

Bahkan, Sih Agung yang seorang dalang muda, mendapatkan gambar bendera Candi Gunung Wukir bernama "Cokro Manggilingan Sri Purbo Waseso" berwujud sketsa naga yang dibuat Wijiyanto di atas kertas sebagai salah satu hasil tirakatnya selama ini. Wijiyanto juga membuat denah tentang kompleks candi tersebut dengan beberapa sketsa bangunan dalam beberapa lembar lainnya.

Sambil bergojek, Wijiyanto yang sosoknya sederhana mengaku diri sebagai "sarjana kuburan". Hal itu barangkali karena pengalamannya menjalani tirakat di berbagai tempat atau pemakaman, atau jejak peninggalan para tokoh pemimpin Jawa pada masa lampau, termasuk di Kalimantan dan Serawak, Malaysia.

Dengan lancar, dia juga bercerita tentang beberapa kerajaan Nusantara, seperti Majapahit, Sriwijaya, Demak, Singasari, Kediri, dan Mataram Kuno.

Sejumlah pertanyaan kritis sesekali dilontarkan para pegiat komunitas kepada Wijiyanto sebagai penguji atas fakta dan kronologi sejarah Candi Gunung Wukir serta menaruh pilahan secara tepat antara ihwal rasional dan irasional, serta antara inspirasi dan keterangan tentang spiritual.

"Untuk gambar bendera dan nama-nama yang 'menghuni' ada 13 sosok, dan kronologis dari 'numbali' (untuk memperkuat kemakmuran, red.) Tanah Jawa, diberikan ke saya," kata Sih Agung.

Mereka masih berkesempatan berkumpul lagi di pusat pertemuan Komunitas Lima Gunung di Studio Mendut yang dikelola Sutanto sekitar 100 meter timur Candi Mendut.

Dalam pertemuan, mereka mematangkan pengemasan ide performa "Banjaran Taman Jawadwipa" yang mengusung pesan tentang pentingnya membangun ketahanan pangan dan penghargaan terhadap keragaman hayati untuk kemakmuran masyarakat pada masa mendatang.

Alhasil, mereka setidaknya telah dua kali mementaskan performa itu, yakni pada tanggal 17 April 2016 di tempat pengajian "Maiyahan" Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) di Bantul, Yogyakarta. Cak Nun juga menawari performa itu diusung dalam suatu kegiatan di kampung halamannya di Jombang, Jawa Timur, akhir Mei mendatang.

Pementasan kedua yang seakan menjadi salah satu momentum pesta pemikiran inspirasi kemakmuran masyarakat di Taman Jawadwipa itu pada tanggal 7 s.d. 8 Mei 2016 dalam Festival Gunungan dan Topeng Internasional di Bale Pare, Kota Baru Parahyangan, Bandung, Jawa Barat.

Bukan hanya Komunitas Lima Gunung yang terlibat dalam pentas "Banjaran Taman Jawadwipa" di dua tempat itu, melainkan jejaringnya, antara lain, seniman musik dari Bandung dan Malang (Jawa Timur) serta sejumlah penari dari Yogyakarta juga tidak ingin melewatkan kesempatan tersebut.

Bentuk pementasan, antara lain, tarian geculan bocah, kuda lumping, soreng, performa gerak kontemporer, dan musik etnik, juga kirab ritus gunung dipimpin petinggi komunitas, Sitras Anjilin, sedangkan Sih Agung memainkan "wayang gunung" secara kontemporer berisi pesan tentang pentingnya menjaga keragaman hayati dan memperkuat ketahanan pangan.

Berbagai properti pementasan yang serba putih, seperti pakaian tarian, kain selempang, ikat kepala, pengecatan wajah dan tubuh dengan dominasi warna putih, topeng kayu bercat putih, serta asap dupa yang secara alami mengepul berwarna putih diberinya label "white noise" (bunyi putih).

Mereka menampilkan karya performa tersebut sebagai orkestra gerak tarian, sajian tembang-tembang Jawa, seni rupa, prosesi kirab dan pentas ritual dengan iringan tetabuhan alat musik serta berpadu dalam kisah pewayangan kontemporer.

Performa "Banjaran Taman Jawadwipa" oleh komunitas tersebut bersumber inspirasi dari sejarah kebudayaan yang diraciknya melalui proses diam-diam, kemudian menjadi sajian pementasan tentang pesta kemakmuran masyarakat gunung.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025