Yang dimaksudkan oleh kepala daerah setempat tentang program itu tentunya bukan dalam artian pemerintah kota gencar melakukan penanaman bunga hingga kasat mata berjumlah satu juta tanaman di kota seluas 18,12 kilometer persegi itu.
Tanaman bunga memang tampak menyeruak, menghiasi berbagai tempat di kota kategori kecil meliputi tiga kecamatan dan 17 kelurahan dengan penduduk sekitar 121 ribu jiwa yang pada Senin (11/4) memasuki usia 1110 tahun tersebut.
Penentuan hari jadi Kota Magelang berdasarkan penelitian para ahli atas tiga prasasti dari zaman Mataram Hindu, yakni Prasasti Poh, Mantyasih, dan Gilikan. Pemkot kemudian menetapkan Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 6 Tahun 1989 tentang tanggal 11 April 907 sebagai hari jadi daerah yang dikelilingi gunung-gunung itu.
"Lihat saja sekarang di tepi jalan-jalan tumbuh tanaman bunga dengan pot-potnya," ujarnya dalam pertemuan dengan beberapa pemimpin media massa, setelah meresmikan Ruang Media di Kompleks Kantor Sekretariat Daerah Pemkot Magelang, belum lama ini.
Di beberapa sudut kawasan juga dibangun taman-taman bunga, seperti di bagian timur kaki Gunung Tidar, Alun-Alun Kota Magelang, tepi Jalan Jenderal Sudirman di kawasan Trunan, Kecamatan Magelang Selatan, dan depan SMA Negeri 1 Kota Magelang atau dekat dengan rumah dinas Wali Kota Magelang.
Program pembangunan untuk mewujudkan Magelang sebagai "Kota Sejuta Bunga" telah dimulai pada periode pertama (2010-2015) kepemimpinan Sigit Widyonindito sebagai wali kota setempat. Program tersebut dilanjutkan untuk periode kedua (2015-2020) kepemimpinannya.
Kemenangan Sigit yang berpasangan dengan Windarti Agustina dalam pilkada tahun lalu, terkesan juga mendapatkan dukungan alam karena pelaksanaan program "Kota Sejuta Bunga" selama lima tahun terakhir, menunjukkan hasilnya bertepatan proses pilkada.
Saat berlangsung tahapan pilkada tersebut, berbagai tanaman bunga tampak sedang berada di puncak mekar di kota kecil itu. Kota Magelang menjadi terlihat bersih, rapi, dan indah oleh taman-taman bunga.
Bahkan, pada 30 Maret lalu atau sekitar sebulan setelah dilantik oleh Gubernur Jateng Ganjar Pranowo sebagai wali kota untuk periode kedua, Sigit dengan didampingi Windarti, meresmikan kebun bibit tanaman bunga di Jalan Panembangan Senopati, Kelurahan Jurangombo yang antara lain sebagai rintisan pembangunan salah objek wisata edukasi.
Kepada para tamunya dari kalangan pers siang itu, Wali Kota Sigit menyebut Magelang pada masa lampau juga disebut sebagai "Tuin Van Java" (Tamannya Pulau Jawa).
Namun, ia tidak menjelaskan secara panjang lebar dan detail tentang julukan "Tuin Van Java" pada masa penjajahan Belanda di Kota Magelang.
Kini, sebutan "Tuin Van Java" ditempelkan Pemkot Magelang sebagai nama pusat kuliner di pusat kota setempat, di Alun-Alun Kota Magelang, yang menjadi tempat bagi sekitar 100 pedagang kaki lima berjualan aneka makanan.
Ketua Komunitas Kota Toea Magelang Bagus Priyana dalam perbincangan dengan Antara di bawah salah satu tenda pedagang kaki lima di pusat kuliner "Tuin Van Java" membenarkan tentang sebutan Magelang sebagai "Tuin Van Java" pada masa penjajahan Belanda, meskipun tidak menunjuk secara semata-mata tentang banyaknya kebun bunga di kota itu.
Mengacu kepada literatur terbitan pemerintahan penjajahan Belanda di Magelang pada 1936 yang dimilikinya, Magelang disebut oleh seorang misionaris Belanda bernama Van den Heuvel sebagai "Middelpunt van den Tuin van Java". Heuvel datang ke Magelang pada 1901.
Dalam terjemahan bebas, Bagus mengartikan kalimat tersebut bahwa Magelang suatu kota di daerah Pegunungan di Jawa bagian tengah sebagai kota sedang bagikan tamannya Pulau Jawa.
Di atas kertas kecil, ia kemudian membuat grafis sederhana tentang landskap Kota Magelang yang dikelilingi gunung-gunung dengan pepohonan hijau, yakni Sumbing, Sindoro, Prau, Ungaran, Telomoyo, Andong, Merbabu, Merapi, dan Menoreh, dengan Gunung Tidar di tengah Kota Magelang. Dua aliran sungai besar, yakni Progo dan Elo semacam sebagai pembatas barat dan timur kota itu.
Ia menyebut banyak bangunan zaman Belanda yang menghadap ke barat (Sumbing) dan timur (Merbabu dan Merapi) karena orang Belanda menyukai pemandangan yang indah atas landskap gunung-gunung itu.
"Itulah mengapa Gedung Keresidenan Kedu menghadap ke Gunung Sumbing, karena memang hamparan pemandangannya menakjubkan. Begitu juga di salah satu lokasi di kompleks Rindam IV/Diponegoro sekarang, pada zaman Belanda terdapat taman menghadap ke timur, ke arah Gunung Merapi dan Merbabu," ucapnya.
Pada masa lalu, daerah setempat menjadi pusat pemerintahan tingkat Keresidenan Kedu yang meliputi Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Temanggung, Wonosobo, Purworejo, dan Kebumen.
Selain itu, di Magelang banyak ditemukan situs peninggalan Hindu dan Buddha yang oleh Heuvel digambarkan bagaikan menjadi bagian dari taman Pulau Jawa atas kota itu.
Belum lagi, katanya, orang Belanda senang menanam bunga, antara lain sebagai simbol prestise atau gaya hidup dan cara mereka menanamkan diri untuk betah tinggal di Magelang. Ketika itu, bunga yang populer di kalangan orang Belanda adalah lili dan gladiol.
Namun, ujarnya, sebelum 1800 di mana Magelang menjadi bagian dari wilayah Kesunanan Surakarta dengan status sebagai "Kebondalem" atau tanah milik raja, daerah itu telah menunjukkan tempat-tempat yang banyak pepohonan atau kebun, meskipun hal tersebut tidak untuk menunjuk kebun bunga.
Sebutan untuk nama tempat yang hingga saat ini sebagai Kebonpolo misalnya, tidak lepas dari lokasi yang pada zaman tersebut banyak tanaman pala, Jambon sebagai kebun jambu, Banyeman karena banyak tanaman bayem, dan Kemirirejo sebagai tempat yang tumbuh banyak pohon kemiri.
Selain itu, katanya, di Kampung Boton hingga saat ini masih terdapat kebun kopi meskipun dalam areal yang relatif kecil dan kurang terawat secara intensif.
Kalau sekarang Pemkot Magelang membangun daerah setempat melalui program Kota Sejuta Bunga, hal itu setidaknya membuktikan bahwa inspirasinya melalui proses panjang menembus batas kesadaran maupun bawah sadar kemanusiaan tentang kehendak menciptakan suasana alamiah, rapi, bersih, dan keindahan.
Tanaman bunga memang tampak menyeruak, menghiasi berbagai tempat di kota kategori kecil meliputi tiga kecamatan dan 17 kelurahan dengan penduduk sekitar 121 ribu jiwa yang pada Senin (11/4) memasuki usia 1110 tahun tersebut.
Penentuan hari jadi Kota Magelang berdasarkan penelitian para ahli atas tiga prasasti dari zaman Mataram Hindu, yakni Prasasti Poh, Mantyasih, dan Gilikan. Pemkot kemudian menetapkan Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 6 Tahun 1989 tentang tanggal 11 April 907 sebagai hari jadi daerah yang dikelilingi gunung-gunung itu.
"Lihat saja sekarang di tepi jalan-jalan tumbuh tanaman bunga dengan pot-potnya," ujarnya dalam pertemuan dengan beberapa pemimpin media massa, setelah meresmikan Ruang Media di Kompleks Kantor Sekretariat Daerah Pemkot Magelang, belum lama ini.
Di beberapa sudut kawasan juga dibangun taman-taman bunga, seperti di bagian timur kaki Gunung Tidar, Alun-Alun Kota Magelang, tepi Jalan Jenderal Sudirman di kawasan Trunan, Kecamatan Magelang Selatan, dan depan SMA Negeri 1 Kota Magelang atau dekat dengan rumah dinas Wali Kota Magelang.
Program pembangunan untuk mewujudkan Magelang sebagai "Kota Sejuta Bunga" telah dimulai pada periode pertama (2010-2015) kepemimpinan Sigit Widyonindito sebagai wali kota setempat. Program tersebut dilanjutkan untuk periode kedua (2015-2020) kepemimpinannya.
Kemenangan Sigit yang berpasangan dengan Windarti Agustina dalam pilkada tahun lalu, terkesan juga mendapatkan dukungan alam karena pelaksanaan program "Kota Sejuta Bunga" selama lima tahun terakhir, menunjukkan hasilnya bertepatan proses pilkada.
Saat berlangsung tahapan pilkada tersebut, berbagai tanaman bunga tampak sedang berada di puncak mekar di kota kecil itu. Kota Magelang menjadi terlihat bersih, rapi, dan indah oleh taman-taman bunga.
Bahkan, pada 30 Maret lalu atau sekitar sebulan setelah dilantik oleh Gubernur Jateng Ganjar Pranowo sebagai wali kota untuk periode kedua, Sigit dengan didampingi Windarti, meresmikan kebun bibit tanaman bunga di Jalan Panembangan Senopati, Kelurahan Jurangombo yang antara lain sebagai rintisan pembangunan salah objek wisata edukasi.
Kepada para tamunya dari kalangan pers siang itu, Wali Kota Sigit menyebut Magelang pada masa lampau juga disebut sebagai "Tuin Van Java" (Tamannya Pulau Jawa).
Namun, ia tidak menjelaskan secara panjang lebar dan detail tentang julukan "Tuin Van Java" pada masa penjajahan Belanda di Kota Magelang.
Kini, sebutan "Tuin Van Java" ditempelkan Pemkot Magelang sebagai nama pusat kuliner di pusat kota setempat, di Alun-Alun Kota Magelang, yang menjadi tempat bagi sekitar 100 pedagang kaki lima berjualan aneka makanan.
Ketua Komunitas Kota Toea Magelang Bagus Priyana dalam perbincangan dengan Antara di bawah salah satu tenda pedagang kaki lima di pusat kuliner "Tuin Van Java" membenarkan tentang sebutan Magelang sebagai "Tuin Van Java" pada masa penjajahan Belanda, meskipun tidak menunjuk secara semata-mata tentang banyaknya kebun bunga di kota itu.
Mengacu kepada literatur terbitan pemerintahan penjajahan Belanda di Magelang pada 1936 yang dimilikinya, Magelang disebut oleh seorang misionaris Belanda bernama Van den Heuvel sebagai "Middelpunt van den Tuin van Java". Heuvel datang ke Magelang pada 1901.
Dalam terjemahan bebas, Bagus mengartikan kalimat tersebut bahwa Magelang suatu kota di daerah Pegunungan di Jawa bagian tengah sebagai kota sedang bagikan tamannya Pulau Jawa.
Di atas kertas kecil, ia kemudian membuat grafis sederhana tentang landskap Kota Magelang yang dikelilingi gunung-gunung dengan pepohonan hijau, yakni Sumbing, Sindoro, Prau, Ungaran, Telomoyo, Andong, Merbabu, Merapi, dan Menoreh, dengan Gunung Tidar di tengah Kota Magelang. Dua aliran sungai besar, yakni Progo dan Elo semacam sebagai pembatas barat dan timur kota itu.
Ia menyebut banyak bangunan zaman Belanda yang menghadap ke barat (Sumbing) dan timur (Merbabu dan Merapi) karena orang Belanda menyukai pemandangan yang indah atas landskap gunung-gunung itu.
"Itulah mengapa Gedung Keresidenan Kedu menghadap ke Gunung Sumbing, karena memang hamparan pemandangannya menakjubkan. Begitu juga di salah satu lokasi di kompleks Rindam IV/Diponegoro sekarang, pada zaman Belanda terdapat taman menghadap ke timur, ke arah Gunung Merapi dan Merbabu," ucapnya.
Pada masa lalu, daerah setempat menjadi pusat pemerintahan tingkat Keresidenan Kedu yang meliputi Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Temanggung, Wonosobo, Purworejo, dan Kebumen.
Selain itu, di Magelang banyak ditemukan situs peninggalan Hindu dan Buddha yang oleh Heuvel digambarkan bagaikan menjadi bagian dari taman Pulau Jawa atas kota itu.
Belum lagi, katanya, orang Belanda senang menanam bunga, antara lain sebagai simbol prestise atau gaya hidup dan cara mereka menanamkan diri untuk betah tinggal di Magelang. Ketika itu, bunga yang populer di kalangan orang Belanda adalah lili dan gladiol.
Namun, ujarnya, sebelum 1800 di mana Magelang menjadi bagian dari wilayah Kesunanan Surakarta dengan status sebagai "Kebondalem" atau tanah milik raja, daerah itu telah menunjukkan tempat-tempat yang banyak pepohonan atau kebun, meskipun hal tersebut tidak untuk menunjuk kebun bunga.
Sebutan untuk nama tempat yang hingga saat ini sebagai Kebonpolo misalnya, tidak lepas dari lokasi yang pada zaman tersebut banyak tanaman pala, Jambon sebagai kebun jambu, Banyeman karena banyak tanaman bayem, dan Kemirirejo sebagai tempat yang tumbuh banyak pohon kemiri.
Selain itu, katanya, di Kampung Boton hingga saat ini masih terdapat kebun kopi meskipun dalam areal yang relatif kecil dan kurang terawat secara intensif.
Kalau sekarang Pemkot Magelang membangun daerah setempat melalui program Kota Sejuta Bunga, hal itu setidaknya membuktikan bahwa inspirasinya melalui proses panjang menembus batas kesadaran maupun bawah sadar kemanusiaan tentang kehendak menciptakan suasana alamiah, rapi, bersih, dan keindahan.