"Saya pernah beli saham, seingat saya saham Berau dan Krakatau Steel. Saya beli atas nama saya sendiri. Saya beli langsung ke Mandiri Sekuritas, nilainya lebih kurang Rp20 miliar untuk Berau sedangkan Kraktau Steel sekitar Rp3-4 miliar," kata Neneng saat menjadi saksi dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Terdakwa dalam kasus ini adalah M Nazaruddin yang didakwa menerima Rp40,37 miliar dari PT Duta Graha Indah dan PT Nindya Karya terkait proyek pemerintah tahun 2010, melakukan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp627,86 miliar pada periode 2010-2014 dan Rp83,6 miliar pada periode 2009-2010.
Padahal dalam dakwaan disebutkan bahwa Nazaruddin melakukan sejumlah cara untuk menyamarkan "fee" proyek pembangunan gedung Universitas Udayana, Universitas Mataran, Universitas Jambi, Badan Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Surabaya tahap 3, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sungai Dareh kabupaten Darmasraya, gedung Cardiac RS Adam Malik Medan, Paviliun RS Adam Malik Medan, RS Inspeksi Tropis Surabaya, RSUD Ponorogo serta dan telah mengupayakan PT Nindya Karya dalam mendapat proyek pembangunan rating school Aceh serta Universitas Brawijaya tahun 2010 dengan membeli saham dan produk keuangan yang diatasnamakan Neneng Sri Wahyuni dan anak-anak Nazar.
Contohnya Saham PT Krakatau Steel disebut dalam dakwaan dibeli pada 2 November 2010 oleh Nazar melalui Neneng sebesar Rp340 juta dan menggunakan PT Permai Raya Wisata pada 4 November 2010 sebesar Rp296,182 juta. Selanjutnya Nazar pada 11 Agustus 2010 juga membeli Rp20 miliar saham PT Berau Coal Energy menggunakan nama Neneng Sri Wahyuni.
"Saya juga beli asuransi Aksa Mandiri untuk anak-anak saya tiga-tiganya, saya mengasuransi anak saya untuk kepentingan pendidikannya," ungkap Neneng.
Padahal Neneng mengaku tidak punya pekerjaan tetap.
"Kerja tetap enggak, tapi suami minta agar saya membeli di properti lalu saya jual, itu atas koordinasi dengan suami. Sebelum jadi pejabat negara, saya bekerja menginvestasikan perbaiki rumah terus dijual atau disewakan kemudian restoran dan investasi pembelian saham, pernah beli saham kecil-kecilan sebelumnya," tambah Neneng.
Neneng pun mengaku bahwa Nazaruddin menjual aset-aset dan memberikan hasil penjualan tersebut ke rekeningnya.
"Dari 2005-2007 suami menjual aset-aset kebon sawit di Riau dan tambang di Kalimantan dan memberi uang ke saya baik secara tunai maupun transfer rekening dalam bentuk dolar," ungkap Neneng.
Neneng sendiri saat ini sedang menjalani masa hukuman dalam kasus korupsi pengadaan dan pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) tahun anggaran 2008.
Nazaruddin dalam perkara ini didakwa dengan tiga dakwaan yaitu pertama korupsi berdasarkan pasal 12 huruf b UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Nazaruddin juga masih didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp627,86 miliar pada periode 2010-2014 dan Rp83,6 miliar pada periode 2009-2010 sehingga didakwa pasal 3 ayat (1) huruf a, c dan e UU No 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No 25/2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP dan pasal 3 atau pasal 4 juncto Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian.
Terdakwa dalam kasus ini adalah M Nazaruddin yang didakwa menerima Rp40,37 miliar dari PT Duta Graha Indah dan PT Nindya Karya terkait proyek pemerintah tahun 2010, melakukan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp627,86 miliar pada periode 2010-2014 dan Rp83,6 miliar pada periode 2009-2010.
Padahal dalam dakwaan disebutkan bahwa Nazaruddin melakukan sejumlah cara untuk menyamarkan "fee" proyek pembangunan gedung Universitas Udayana, Universitas Mataran, Universitas Jambi, Badan Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Surabaya tahap 3, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sungai Dareh kabupaten Darmasraya, gedung Cardiac RS Adam Malik Medan, Paviliun RS Adam Malik Medan, RS Inspeksi Tropis Surabaya, RSUD Ponorogo serta dan telah mengupayakan PT Nindya Karya dalam mendapat proyek pembangunan rating school Aceh serta Universitas Brawijaya tahun 2010 dengan membeli saham dan produk keuangan yang diatasnamakan Neneng Sri Wahyuni dan anak-anak Nazar.
Contohnya Saham PT Krakatau Steel disebut dalam dakwaan dibeli pada 2 November 2010 oleh Nazar melalui Neneng sebesar Rp340 juta dan menggunakan PT Permai Raya Wisata pada 4 November 2010 sebesar Rp296,182 juta. Selanjutnya Nazar pada 11 Agustus 2010 juga membeli Rp20 miliar saham PT Berau Coal Energy menggunakan nama Neneng Sri Wahyuni.
"Saya juga beli asuransi Aksa Mandiri untuk anak-anak saya tiga-tiganya, saya mengasuransi anak saya untuk kepentingan pendidikannya," ungkap Neneng.
Padahal Neneng mengaku tidak punya pekerjaan tetap.
"Kerja tetap enggak, tapi suami minta agar saya membeli di properti lalu saya jual, itu atas koordinasi dengan suami. Sebelum jadi pejabat negara, saya bekerja menginvestasikan perbaiki rumah terus dijual atau disewakan kemudian restoran dan investasi pembelian saham, pernah beli saham kecil-kecilan sebelumnya," tambah Neneng.
Neneng pun mengaku bahwa Nazaruddin menjual aset-aset dan memberikan hasil penjualan tersebut ke rekeningnya.
"Dari 2005-2007 suami menjual aset-aset kebon sawit di Riau dan tambang di Kalimantan dan memberi uang ke saya baik secara tunai maupun transfer rekening dalam bentuk dolar," ungkap Neneng.
Neneng sendiri saat ini sedang menjalani masa hukuman dalam kasus korupsi pengadaan dan pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) tahun anggaran 2008.
Nazaruddin dalam perkara ini didakwa dengan tiga dakwaan yaitu pertama korupsi berdasarkan pasal 12 huruf b UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Nazaruddin juga masih didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp627,86 miliar pada periode 2010-2014 dan Rp83,6 miliar pada periode 2009-2010 sehingga didakwa pasal 3 ayat (1) huruf a, c dan e UU No 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No 25/2003 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP dan pasal 3 atau pasal 4 juncto Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian.