Apalagi, pasar yang selesai dibangun pada 1939 oleh arsitek Belanda Thomas Karsten itu pernah menjadi pasar tradisional terbesar di Asia Tenggara dan termasuk bangunan cagar budaya.

Di pasar dengan luasan sekitar 15 ribu meter persegi itu, ribuan pedagang menggantungkan hidupnya dengan berjualan beraneka komoditas, mulai kebutuhan pokok hingga aksesoris.

Tak heran, kebakaran yang melalap habis sebagian bangunan Pasar Johar pada 9 Mei 2015 menjadi sorotan dan perhatian luas dari berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat.

Memang, Pasar Johar bukan sekali itu terbakar, tetapi kebakaran yang terjadi pertengahan tahun lalu tergolong besar sampai menghanguskan ribuan kios pedagang di pasar tersebut.

Berbagai spekulasi pun bermunculan dengan terbakarnya Pasar Johar, namun penanganan pascakebakaran yang harus lebih dipentingkan sekarang karena menyangkut hajat hidup banyak orang.

Pemerintah Kota Semarang langsung menyiapkan lapak darurat untuk menampung sementara para pedagang yang tersebar di berbagai titik, seperti Jalan Agus Salim dan Pasar Kanjengan.

Tak cukup itu, lahan di kawasan Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) Semarang pun disiapkan untuk pembangunan Lapak Sementara Pasar Johar yang akan menampung para pedagang korban kebakaran.

Pasar pedagang memang harus ditampung secara layak karena revitalisasi Pasar Johar pascakebakaran membutuhkan waktu cukup lama dengan dana yang tidak sedikit, akan tetapi sampai ratusan miliar rupiah.

Menangani pasar ternyata bukan persoalan yang mudah, terbukti dalam perkembangannya ternyata muncul beberapa persoalan dalam penanganan pedagang Pasar Johar yang menyita perhatian.

Mulai janji pemberian bantuan modal bagi pedagang korban kebakaran, sampai rencana relokasi pedagang Pasar Johar ke Lapak Sementara di kawasan MAJT Semarang yang tak kunjung rampung.

Dinas Pasar Kota Semarang sebelumnya menargetkan pedagang sudah bisa direlokasi ke Lapak Sementara Pasar Johar pada minggu ketiga Januari 2016, tetapi yang ditargetkan ternyata meleset.

Bangunan Lapak Sementara Pasar Johar yang menelan anggaran sekitar Rp30 miliar ternyata banyak menuai keluhan, mulai ukuran lapak yang kecil, hingga ketersediaan sarana dan prasarananya.

"Masa ukuran lapak kecil begini. Saya kan jualan konveksi, ya, cuma bisa untuk menaruh dagangan," kata Zainal Arifin, Koordinator Pedagang Pasar Johar Utara, mengeluhkan ukuran lapak 1x2 meter.

Belum lagi persoalan infrastruktur, seperti belum adanya talang air, penangkal petir, pavingisasi yang kurang bagus, sampai cat di beberapa titik yang mengelupas meski belum ditempati.


Harus Konsisten
Ternyata, persoalan juga terjadi pada proses pengundian lapak karena banyak pedagang yang mengeluhkan adanya ketidakadilan dan kurang transparannya dalam pembagian los di Lapak Sementara.

Pengundian lapak yang semula dijadwalkan hanya lima hari, yakni 11-15 Januari 2016 untuk mengundi lapak bagi 4.000-an pedagang, ternyata molor, bahkan sampai sekarang ada yang belum diundi.

Muncul isu "jual-beli" dan permainan dalam pengundian lapak yang sebenarnya dirasakan sejumlah pedagang meski mereka sendiri mengakui susah untuk membuktikan tindakan curang tersebut.

"Misalnya begini, kelompok Pasar Johar Utara kan kebanyakan pedagang konveksi. Namun, justru pedagang suvenir yang mendapatkan tempat paling depan di Lapak Sementara," kata Arifin.

Akhirnya, Arifin memberikan solusi agar tempat paling depan yang dianggap strategis di Lapak Sementara Pasar Johar itu, tidak hanya diisi pedagang suvenir, namun juga konveksi agar adil.

Dinas Pasar pun segera menegaskan akan menindak tegas jika ada oknum pegawainya melakukan kecurangan atau permainan dalam proses pengundian lapak pedagang di Lapak Sementara Pasar Johar.

"Kalau ada pedagang luar yang mendapatkan lapak bisa dilaporkan ke kami. Jika terbukti ada oknum Dinas Pasar 'bermain' akan ditindak," kata Kepala Dinas Pasar Kota Semarang Trijoto Sardjoko.

Berbagai persoalan yang muncul dalam penanganan pedagang Pasar Johar pascakebakaran juga mendapatkan sorotan dari kalangan legislatif, terutama Ketua DPRD Kota Semarang Supriyadi.

Politikus PDI Perjuangan itu sudah mengingatkan Dinas Pasar untuk terbuka dan transparan dalam pengundian lapak, salah satunya menampilkan nama pedagang, bukan hanya nomor registernya.

"Dengan nama pedagang ditampilkan, mereka bisa saling 'kroscek'. Kalau ada nama yang tidak mereka kenal, kan bisa diketahui. Ini untuk antisipasi masuknya pedagang 'siluman'," katanya.

Mengenai relokasi pedagang ke Lapak Sementara Pasar Johar, ia meminta Pemkot Semarang, khususnya Dinas Pasar, untuk konsisten, sebab persoalan pasar menyangkut hajat hidup banyak orang.

Setidaknya ada beberapa indikator ketidakkonsistenan, yakni ukuran lapak yang semula 2x2 meter menjadi 1x2 meter dan pengundian lapak yang semula dijadwalkan lima hari ternyata molor.

Dikhawatirkan, proses relokasi pedagang yang ditargetkan rampung pertengahan Februari 2015 akan ikut molor jika tidak ada perhatian dan upaya serius dalam menangani pedagang Pasar Johar.

Persoalannya tidak hanya berhenti begitu pedagang selesai direlokasi, sebab Pemkot Semarang harus segera menyiapkan rencana revitalisasi Pasar Johar yang ditargetkan selesai akhir tahun ini.

Pada APBD Kota Semarang 2016, penyusunan DED (detail engineering design) Pasar Johar sudah dianggarkan senilai Rp1,6 miliar yang harus segera rampung agar bisa dimulai pembangunannya.

Pewarta : Zuhdiar Laeis
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024