Konon, kapal-kapal besar dulu terbiasa berseliweran di Kali Semarang dan berlabuh, seperti di daerah yang sekarang ini dikenal dengan nama Sebandaran di kawasan Pecinan, Semarang.

Dari buku berjudul "Riwayat Tsi Lam Tsai" karya Go Thiam Bing, disebutkan Sebandaran adalah asal usul dari perkataan Syah Bandar yang dapat disamakan Deuane atau Kantor Bea dan Cukai.

Buku itu ditulis oleh Go Thiam Bing sebagai ketua pertama dari Yayasan Dana Kematian Tjie Lam Tjay yang dalam ejaan sebelumnya disebut dengan istilah Tsi Lam Tsai, pada 1978.

Dalam buku yang sama disebutkan, orang-orang Tionghoa yang datang di Semarang biasanya mendarat di daerah Sebandaran dan selalu mendatangi badan penerangan khusus orang pendatang baru.

Badan penerangan ini bertugas memberi penerangan pada pendatang baru mengenai undang-undang dan adat kebiasaan setempat yang didirikan Luitenant (letnan) dari bangsa Tionghoa pada 1735.

Lambat laun, badan tersebut diberi nama Tjie Lam Tjay yang berasal dari kata Tjie: jari penunjuk dan Lam: selatan yang jika digabung berarti kompas, dan Tjay: rumah atau bangunan.

Hampir semua pendatang baru dari Tiongkok mendarat di Semarang karena letaknya yang strategis di tengah-tengah, apalagi setelah ada pembunuhan bangsa Tionghoa di Jakarta sekitar 1740.

Automatis, pekerjaan badan penerangan yang menempati kediaman Mayeor (Mayor) Tan Heng Yan ini menjadi sangat menumpuk karena dimintai segala macam keterangan oleh para pendatang baru.

Maka dari itu, kantor badan penerangan Tjie Lam Tjay kemudian dipindahkan menjadi satu dengan Kong Koan (Dewan Tionghoa) di Gang Pinggir yang masih berada di kawasan Pecinan Semarang.

Pekerjaan Tjie Lam Tjay sebagai badan penerangan membuat para pegawainya mengenal semua pendatang baru, termasuk jika ada di antara pendatang baru miskin yang meninggal dunia.

"Pendatang yang meninggal dalam keadaan miskin ini tidak sedikit, sebab mereka ke sini tidak bawa apa-apa," kata tokoh masyarakat Tionghoa Semarang, Wong Aman Gautama Wangsa (56), Senin.

Badan penerangan ini merupakan cikal bakal empat yayasan yang diketuai Aman sampai sekarang, yakni Yayasan Tjie Lam Tjay, Yayasan Kong Tik Soe, Yayasan Khong Kauw Hwee, dan Yayasan Pancaka.

Lantaran kerap mengurusi penguburan pendatang baru miskin dengan meminta bantuan dana dari para hartawan, Tjie Lam Tjay yang bertugas sebagai lembaga penerangan berubah menjadi badan sosial.

Bahkan, Tjie Lam Tjay pernah diberi kewajiban mengurusi lampu-lampu penerangan jalan di kawasan Pecinan, kata Aman, seraya menunjukkan kwitansi pembelian minyah tanah yang masih tersimpan.

Tepat pada 1837, pemerintah kolonial Inggris mengizinkan pemakaian lahan yang ditumbuhi tanaman lombok (cabai-kini jadi Gang Lombok) untuk dibangun Kong Tik Soe, persis di Barat Daya Kelenteng Tay Kak Sie.

Dari Badan Penerangan Jadi Badan Sosial
Kong Tik berarti jasa atau budi, dan Soe berarti menghormati leluhur, tujuan pembangunannya diukir tegas di batu prasasti di ujung kanan dan kiri bangunan yang ada di Jalan Gang Lombok 60 Semarang itu.

Tujuannya, memberi tempat bermalam bagi pendatang baru, merawat janda dan anak dari orang tidak mampu dan memberikan pendidikan, dan memperingati orang-orang yang berjasa bagi masyarakat.

Kelak dan sampai sekarang, bangunan Kong Tik Soe itu menjadi kantor Tjie Lam Tjay yang lambat laun berubah menjadi badan sosial murni untuk menolong penguburan jenazah pendatang baru yang miskin.

Tercatat, Tjie Lam Tjay pernah menempati salah satu ruangan di Kelenteng Tay Kak Sie sebagai kantornya, sekaligus diberi kewajiban untuk mengurus kelenteng-kelenteng ada ada di Kota Semarang.

Kewajiban mengurus kelenteng dibebankan kepada Tjie Lam Tjay setelah Kong Koan dihapus oleh pemerintah kolonial Belanda, termasuk menarik kembali kepangkatan, seperti Mayeor dan Luitenant.

"Waktu Jepang berkuasa, semua perkumpulan yang ada harus dibubarkan. Namun, Tjie Lam Tjay berhasil dipertahankan oleh Oei Tjong Hauw yang ketika itu menjadi Ketua Kakyo Sekai," kata Wong Aman.

Wong Aman juga menunjukkan berkas yang menyebutkan bangunan Kong Tik Soe juga pernah dijadikan sebagai aset Jepang yang mengartikan keberadaan badan sosial itu tetap dipertahankan.

Hanya saja, diakuinya, Tjie Lam Tjay saat itu mengalami masa sulit karena pemilik-pemilik kongsi yang semula memikul bantuan untuk penguburan jenazah pendatang baru miskin tak lagi kuat menanggung.

"Banyak juga anggota Tjie Lam Tjay yang ditahan. Untuk menutup operasional, Tjie Lam Tjay bahkan pernah mengganti peti jenazah yang biasanya terbuat dari kayu jati dengan kayu sengon," ungkapnya.

Baru setelah Jepang kalah, pengurusan Tjie Lam Tjay kembali pulih meski pengurus harus berstatus warga negara Indonesia (WNI), apalagi seiring dengan peralihan kekuasaan ke tangan Republik Indonesia.

Dalam perjalanannya, kira-kira tahun 1959 Kelenteng Tay Kak Sie tetap dalam pengurusan Tjie Lam Tjay, termasuk penyediaan semua keperluan sembahyang yang jika dirupiahkan saat itu Rp850.

Akhirnya, urusan Kelenteng Tay Kak Sie dengan Tjie Lam Tjay dipisahkan pada 1964 dengan pendirian dua yayasan, yakni Yayasan Dana Kematian Tjie Lam Tjay dan Yayasan Kelenteng Besar Gang Lombok Semarang.

"Apalagi, dulu Entjik Njoo Bhik Goe, salah satu tokoh Tjie Lam Tjay pernah berpesan supaya uang kelenteng dan Tjie Lam Tjay jangan sampai tercampur. Akhirnya, dibuat dua yayasan," beber Aman.

Kiprah Tjie Lam Tjay sebagai badan sosial terus berkembang, apalagi pada 1962 berhasil membeli mobil yang dirombak menjadi mobil jenazah yang disewakan kepada penduduk dengan harga serendah-rendahnya.

Yayasan Dana Kematian Tjie Lam Tjay berkembang jadi empat yayasan dengan fungsinya masing-masing, yakni Yayasan Khong Kauw Hwee untuk menyelenggarakan dan mengelola pendidikan gratis di Sekolah Kuncup Melati.

Yayasan Kong Tik Soe untuk mengelola rumah penghormatan leluhur Kong Tik Soe, Yayasan Tjie Lam Tjay untuk kesehatan dan perkabungan, serta Yayasan Pancaka yang mengelola Krematorium Kedungmundu Semarang.


Pewarta : Zuhdiar Laeis
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024