"Khususnya untuk perdagangan ke luar negeri, Kementerian Perdagangan sendiri sudah mengeluarkan klasifikasi industri terkait penggunaan SVLK tersebut," kata Ketua Asmindo Jateng Eri Sasmito di Semarang, Selasa.

Dijelaskan, untuk klasifikasi A yaitu industri yang bersifat primer wajib mengantongi SVLK. Salah satu industri yang masuk klasifikasi A yaitu yang memproduksi kayu lapis.

Selanjutnya, untuk industri klasifikasi B tidak harus menggunakan SVLK kecuali permintaan dari pembeli. Industri yang masuk klasifikasi B di antaranya memproduksi furnitur dan kerajinan tangan.

"Sifatnya tidak wajib memiliki SVLK, tetapi kalau kesepakatan dengan pembeli harus menggunakan SVLK ya artinya harus memenuhi kesepakatan tersebut," katanya.

Menurut dia, penggunaan SVLK yang bersifat opsional tersebut diharapkan dapat mempermudah dan meningkatkan volume ekspor mebel dari Indonesia.

Upaya lain yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mendongkrak volume ekspor mebel tersebut yaitu mencabut dokumen eksportir terdaftar industri kehutanan (etpik).

"Jadi kalau perusahaan mau ekspor cukup mempunyai tanda daftar perusahaan (TDP), surat izin usaha perdagangan (SIUP), NPWP, dan izin industri. Tidak ada lagi etpik, apalagi SVLK," katanya.

Sementara itu, Asmindo sendiri selama ini selalu mendukung kebijakan Pemerintah terkait SVLK tersebut.

"Secara prinsip, SVLK ini betul karena untuk menghindari 'illegal logging' dan menciptakan hutan lestari. Tetapi masalahnya selama ini implementasi di lapangan tidak pas, apalagi kalau diterapkan untuk industri kecil," katanya.

Oleh karena itu, pihaknya menyambut baik perubahan kebijakan SVLK dari wajib menjadi opsional tersebut. Ridwan Chaidir

Pewarta : Aris Wasita
Editor : Zaenal A.
Copyright © ANTARA 2024