Kendati hanya seorang pegawai negeri sipil (pns) golongan III-B, pria bertubuh gempal yang bekerja sebagai staf Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banjarnegara itu dipercaya sebagai Koordinator Tim Reaksi Cepat (TRC) yang merupakan ujung tombak BPBD saat terjadi bencana alam.

Akan tetapi, tanggung jawab dalam melaksanakan tugas kemanusiaan bukan semata-mata karena pekerjaan yang diemban, melainkan lebih disebabkan oleh panggilan hati nurani pria kelahiran Banjarnegara, 13 Mei 1979 itu.

"Saya jalani tugas dan tanggung jawab itu dengan ikhlas dan senang hati karena dari semasa kuliah, saya sudah aktif dalam kegiatan kemanusiaan," kata alumnus Jurusan Olahraga Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2004 itu.

Ia mengaku senang menjalani tugas-tugas kemanusiaan, khususnya penanganan bencana alam karena sejak kecil telah terbiasa hidup di alam bebas dengan mengikuti kegiatan pencinta alam.

Bahkan, saat terjadi gempa bumi di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tahun 2006, dia yang menjadi Deputi Direktur Yayasan Gaia ikut terjun membantu para korban gempa hingga dibangunnya "shelter" pengungsian.

Selain itu, dia juga terlibat dalam penanganan darurat bencana tsunami Pangandaran tahun 2006, penanganan korban banjir Bengawan Solo tahun 2007, dan sejumlah bencana lainnya.

Menurut dia, kecintaannya terhadap penanganan bencana tetap dijalani meskipun telah diangkat menjadi PNS di lingkungan Pemerintah Kabupaten Banjarnegara.

"Kebetulan saat diangkat menjadi PNS pada tahun 2009, saya ditempatkan di Bagian Kesejahteraan Rakyat yang juga ada hubungannya dengan penanganan bencana alam dan kemanusiaan. Selanjutnya, saya dipindahkan ke BPBD Banjarnegara sejak dibentuk pada tahun 2011," katanya.

Ia mengaku sempat dimarahi oleh pimpinan karena meninggalkan pekerjaan tanpa izin guna ikut serta dalam penanganan bencana erupsi Gunung Merapi selama beberapa hari

"Tidak masalah jika dimarahi pimpinan karena membolos kerja. Membantu sesama merupakan jiwa saya," katanya.

Ia mengaku banyak suka dan duka selama terlibat dalam penanganan bencana, salah satunya harus rela meninggalkan keluarga dalam jangka waktu yang relatif cukup lama demi melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan.

Bahkan, apa yang dia lakukan mendapatkan dukungan dari keluarga, khususnya istri tercinta, Letizya.

"Waktu bencana tsunami di Pangandaran, saya meninggalkan keluarga selama enam bulan. Itu waktu yang paling lama saya jalani," kata ayah dari Ienas Taqieyyah Afrezya dan Muhammad Cello Afrestyo itu.

Lebih lanjut, Andri mengaku bangga dan senang jika bisa berbuat atau membantu sesuatu untuk kebaikan masyarakat.

Akan tetapi, dia sangat berduka jika tidak bisa melaksanakan tugas secara maksimal sehingga dianggap lambat oleh masyarakat.

"Seperti saat ada kebakaran, kami terlambat datang pasti akan disalahkan oleh masyarakat. Padahal, kami belum tentu menerima informasi kebakaran itu secara langsung," kata penggemar motor trail dan kegiatan petualangan itu.

Kendati demikian, dia tetap berusaha melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan secara maksimal seperti halnya yang dilakukan saat bencana tanah longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara.

Dalam penanganan bencana longsor Jemblung itu, Andri yang dipercaya sebagai Koordinator Lapangan Posko Darurat Bencana Jemblung di Karangkobar mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menangani bencana yang merenggut nyawa 108 orang tersebut.

Keseriusannya dalam penanganan bencana longsor Jemblung itu telah membawa Andri mendapatkan penghargaan Tokoh Inspiratif "Reksa Utama Anindha" dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada pertengahan November 2015.

Menyinggung soal cita-cita, Andri mengaku ingin mendirikan sebuah yayasan kemanusiaan yang bisa menutupi jarak antara pemerintah dan masyarakat.

Dengan demikian, kata dia, penanganan bencana dapat dilakukan secara seimbang antara pemerintah, masyarakat, dan pihak lain.

Bahkan, dia pun mengaku akan tetap mengabdi untuk kemanusiaan meskipun kelak dipindahtugaskan oleh Pemkab Banjarnegara ke instansi lain yang tidak ada hubungannya dengan penanganan bencana alam.

"Kalau nantinya saya tidak lagi di BPBD, saya tetap curahkan perhatian untuk ikut terlibat dalam penanganan bencana alam. Saya ingin tetap berkiprah di bidang kemanusiaan sesuai dengan moto saya 'selama saya masih bernapas, saya ingin tetap membantu sesama'," kata dia yang tercatat sebagai warga Perumahan Limbangan Baru, RT 04, RW 05, Sokanandi, Banjarnegara.

Sudut Pandang Pimpinan
Sosok Andri Sulistyo yang dikenal cekatan dalam menjalankan tugas-tugas kemanusiaan dan supel serta mudah bergaul itu mendapat apresiasi dari Kepala Pelaksana Harian BPBD Banjarnegara Catur Subandrio.

Oleh karena itu, sebagai pimpinan, Catur mengaku bangga atas penghargaan Tokoh Inspiratif "Reksa Utama Anindha" dari BNPB atas kiprahnya selaku Koordinator TRC BPBD Banjarnegara dalam penanganan bencana longsor Jemblung.

Menurut dia, Andri hingga sekarang tetap menjalankan tugas-tugasnya untuk mengoordinasi sukarelawan yang tergabung dalam TRC BPBD Banjarnegara.

Dalam hal ini, kata dia, TRC BPBD bertugas mengidentifikasi penanganan bencana alam.

"Kinerjanya selama ini bagus, cuma kadang sedikit 'overlapped'. Misalnya, (kalau ada) informasi mestinya kepada saya dahulu. Akan tetapi, kadang-kadang langsung 'share', padahal kami harus ricek ketika ada bencana, 'assessment' pertama, nanti kami cek lagi agar tidak ada kesalahan data," katanya.

Ia mengharapkan Andri untuk terus meningkatkan kinerja dan koordinasi dalam bekerja karena penanganan bencana melibatkan lintas sektoral sehingga tidak bisa membuat keputusan sendiri.

Pewarta : Sumarwoto
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025