Tatkala penghargaan Rancage diperolehnya pada Agustus 2015 lalu, lelaki berumur 54 tahun yang 26 tahun terakhir tinggal di kawasan Candi Borobudur Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu pun bagai mendapat mahkota kesastraan tersebut. Guritan, dalam masyarakat umum Jawa disebut sebagai "geguritan".

Buku antologi guritan, "Sepincuk Rembulan", berisi 117 karyanya selama bertahun-tahun dengan tulisan pengantar berjudul "Romantik Versus Realisme" oleh pengajar Sastra Jawa Program Pascasarjana Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang Teguh Supriyanto tersebut, mengantarnya mendapatkan penghargaan Sastra Rancage 2015.

"Ketimbang meraih kejuaraan, saya lebih puas ketika mendapatkan penghargaan. Kalau meraih juara, itu soal penilaian atas karya. Tetapi kalau meraih penghargaan, itu legitimasi atas perjalanan, proses yang dijalani penulis bertahun-tahun," katanya.

Berbagai karya guritannya juga menjadi bagian dari sejumlah buku antologi bersama penggurit lainnya sejak 1992 hingga 2008, sedangkan buku tunggalnya yang lain tentang bentuk sastra Jawa itu, yakni "Lintang Panjerina" (2012), "Surjan lan Sinjang Lurik" (2012), dan "Tembang Sandhal Jepit" (2013).

Dalam beberapa kesempatan lomba cipta guritan, Triman yang Ketua Komunitas Sastra dan Budaya Jawa Magelang (Padhepokan Djagat Djawa) itu, meraih juara. Belum lagi, berbagai media massa berbahasa Jawa, seperti Mekar Sari, Panyebar Semarang, Djoko Lodang, dan Jaya Baya, menjadi tempatnya menghilirkan guritan selama ini.

Begitu juga dengan berbagai panggung pementasan di banyak tempat dan kesempatan, menjadi tempat suami Eko Widaryati Elka yang kini memiliki enam anak dan seorang cucu itu, menghilirkan guritan melalui pembacaannya.

Ruang tamu rumah tinggal Triman di tepi Jalan Raya Palbapang-Candi Borobudur, Dusun Citran, Desa Paremono, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, selain terdapat seperangkat komputer untuk dirinya menorehkan kesastraan Jawa, juga bertengger almari berisi buku-buku sastra yang telah ditempeli label sebagai katalog.

Tentang kecenderungan sastra guritan menjadi karya langka karena makin tak dikenal generasi muda, ia mengemukakan tanpa menggebu-gebu harus memancangkan gerakan pelestariannya.

"'Dilakoni' (Dijalani, red.) saja, tanpa berpikir materi. Ini soal kepuasan batin," kata Triman yang juga mengajar ekstrakurikuler tentang sastra dan teater di sejumlah sekolah di Magelang dan narasumber berbagai loka karya serta juri lomba sastra di beberapa kota itu.

Hingga saat ini, ia juga masih tetap menerima royalti atas buku-buku karya sastranya. Hal itu, menjadi bagian optimismenya bahwa sastra guritan tak bakal punah, sedangkan ihwal berbahasa Jawa masih akan terus dipelajari oleh kalangan muda.

Ia mengemukakan kalau sekarang berbahasa Jawa terkesan surut, katanya, suatu saat orang akan kembali mencapai kerinduan berbahasa Jawa dan berpaling juga ke sastra Jawa, termasuk guritan.

"Apalagi kalau sampai kembali ke titik nol. 'Geguritan' itu sastra pencerahan, kaya nilai-nilai moral," kata Triman yang saat ini sedang menjadi salah satu juri lomba puisi dan guritan tingkat Jawa Tengah, bertempat di Pekalongan, dengan sekitar 1.200 peserta dari kalangan masyarkat umum, pelajar, dan mahasiswa.

Sejumlah nama penggurit disebutnya seperti E.S. Wibowo (Kota Magelang) dan Eka Pradhaning (Kabupaten Magelang), Turiyo Ragil Putra (Kebumen), Rini Puspobandini (Salatiga), Yan "Sriyono" Tohari (Klaten), Choirul Shaleh atau Irul S. Budianto (Karanganyar).

Eka Pradhaning (44), pengajar kesenian SMA Syubbanul Wathon di Kompleks Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Kabupaten Magelang mengaku menulis guritan tidak lepas dari perjalanan kesenimanannya sebagai bagian dari kelompok seniman petani Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor di kawasan Gunung Merapi Desa Sumber, Kecamatan Dukun.

"Basis wayang orang di padepokan itu, mengantar saya untuk mengembangkan diri berolah seni sastra 'geguritan', sejak 1995. Wayang orang juga menyimpan sastra Jawa yang kental," katanya pada suatu petang di rumahnya, di pelosok salah satu dusun di Magelang.

Sastra guritan sesekali dialirkan kepada para muridnya dalam berolah teater, seperti halnya dalam lakon teater karyanya, "Sri Tanjung", dengan geguritan yang disisipkan berjudul "Angkluh" (luruh).

"'Lamun Pinarcaya, kesaput maducara. Pamrih mring darbe ing liyan. Nuwuhake ati kabranan. Wuta mata batin. Ya mung sukma kang kalagar. Datan kawiyak rasa aris'," begitu sepenggal guritan dengan judul itu yang kira-kira terjemahannya "Suatu kepercayaan, terpengaruh kata-kata manis, berpamrih menguasai hal yang bukan miliknya. Gelap mata membakar hati. Hanya jiwa yang terkubur, tak bisa dibuka dengan kebijaksanaan hati".

Dalam berbagai performa gerak tari tunggal di sejumlah reruntuhan situs candi di Magelang, Eka yang alumni 2005 Jurusan Tari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya itu, juga membacakan guritan karyanya yang lain.

Hingga saat ini, lebih dari 100 guritan telah dia ciptakan, antara lain tentang tema-tema cerita tradisional, nilai-nilai sosial, pendidikan, lingkungan alam, yang sebagian dikumpulkannya sebagai dokumen pribadi, sedangkan banyak guritan lainnya "tercecer" di tangan para penggemar sastra itu.

Saat ini, Eka yang tinggal di Dusun Jogowisan, Desa Mejing, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang itu, sedang mengumpulkan karya guritan untuk diterbitkan menjadi buku. Karya guritan pertamanya berjudul "Layung ing Gagat Rahino" (Temaram Pagi), beberapa waktu sebelum Indonesia memasuki era reformasi pada 1998.

"Memang sekarang seolah langka, tetapi harapannya 'geguritan' semakin hidup lagi, seiring waktu dan situasi," kata Eka yang sering main wayang orang dengan memainkan beberapa tokoh, antara lain Dewa Srani, Kresna, dan Karna itu.

Baik Eka maupun Triman, memandang pentingnya merangkai kalimat guritan dalam tataran bahasa tidak terlalu tinggi, terutama agar lebih mudah ditangkap maksudnya oleh kalangan muda dan agar mereka terpancing menyukai sastra Jawa.

Triman menyebut kemudahan kalimat guritan sebagai "bahasa cair" meskipun membutuhkan pilihan kata yang tepat dalam mewujudkan kedalaman hati kejawaan serta melahirkan balutan makna yang multitafsir, seperti diksi antara "kuwat" (kuat) dan "kuwagang", "tiba" (jatuh) dan "ceblok", "jam rolas awan" dan "wayah tengahe".

"Untuk kalimat-kalimat dengan sasaran anak muda, dengan 'bahasa cair', meskipun tidak serta-merta hal itu mudah," kata Triman yang sehari-hari bersama isterinya membuka usaha katering dan warung makan "Soto Citran" di tepi Jalan Raya Palbapang-Candi Borobudur itu.

Ia mencontohkan cairnya bahasa guritan berjudul "Sepincuk Rembulan" yang menjadi judul buku antologi pengantarnya meraih penghargaan Rancage 2015.

"'Bocah cilik mbarang ing ngarep gedhong DPR. Mbok menawa mung turahan rasa, bisa digawa ana kekarepan, gedhong gedhe tan bisa disanak. Nalika srengenge angslup, panase isih krasa neng raga, bareng jumedhul wengi, tangane ngranggeh rembulan, terus dipincuk kertas koran, sing kebak warta korupsi para pangarsa, arep dienggo sangu turu, nyapih kaluwen kang dawa, kebak pangrantu, ana emperan langit, ngoyak dina, ngluru impen'," begitu guritannya.

Guritan itu, kira-kira maksudnya tentang cita-cita banyak anak Indonesia yang tak mampu mereka gapai karena terhadang perilaku korupsi para penguasa.

"Memang karya itu banyak penafsiran, tetapi itu kritik yang saya anggap tajam dengan bahasa Jawa sederhana yang tidak berkobar-kobar. Tentang korupsi oleh penguasa," katanya.

Karya guritan Triman berjudul "Suket Teki" disebut Teguh Supriyanto sebagai menggugah daya khayal secara "ngedab-edabi" (mencengangkan) karena salah satu ragam rerumputan itu menjadi metafora atas rakyat kecil.

"'Udan pancen deres, nelesi suket teki ing plataran, durung lodhang takrumat, wis kebacut kudanan, saya njembrung lan saya ngrembaka. Suket teki ing mangsa udan, saya ijo royo-royo, apa bisa nalika mangsa ketiga? kanggo pakan raja kaya. Suket teki, ya mung banyu, dadi subur'," demikian guritan karya Triman pada 1989.

Terlalu gampang bila kalimat guritan "Suket Teki" sekadar dipahami secara informatif sebagai hal ihwal tentang sifat-sifat kehidupan rumput jenis itu yang tetap hidup saat musim kemarau dan menjadi kian subur saat musim hujan.

Guritan "Suket Teki" bermakna politis, yakni tentang rakyat kecil yang selalu hidup dalam segala era, menjadi penentu mendasar atas kelahiran pemimpin dan penguasa.

Teguh menyebut "Suket Teki" sebagai ketajaman sang penyair Jawa dalam membaca zaman, yang memang saat itu penuh pengharapan atas perubahan kekuasaan. Aliran makna "Suket Teki" menemukan muara pada gerakan reformasi Indonesia, satu dasawarsa kemudian.

"Penggurit cermat membaca keadaan waktu itu. Tidak aneh, penggurit membenturkan pandangan romantik dengan realisme menjadi karya guritan yang mengagumkan," katanya dalam tulisan berbahasa Jawa sebagai pengantar buku "Sepincuk Rembulan".

Sebagaimana dalam karya "Suket Teki", taburan makna guritan membuktikan keturutsertaan sastra Jawa itu menghilirkan cita-cita perubahan kehidupan.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025