"Naif kalau menilai tindak pidana korupsi dinilai hanya dari uang yang diterima oleh terdakwa. Hal itu mengkerdilkan korupsi karena korupsi hanya dipandang memperkaya terdakwa saja, bukan memperkaya kader partai, kerabat terdakwa. Bukankan sejak 1958 pendiri bangsa ini mempersepsikan bahwa korupsi bukan hanya memperkaya diri sendiri tapi juga kerabat dan orang lain?" kata jaksa penuntut umum KPK Mochamad Wiraksajaya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Dalam perkara ini Suryadharma didakwa memperkaya diri sendiri sejumlah Rp1,821 miliar dan memperoleh hadiah 1 lembar potongan kain Kabah (kiswah) serta merugikan keuangan negara sejumlah Rp27,283 miliar dan 17,967 juta riyal (sekitar Rp53,9 miliar) atau setidak-tidaknya sejumlah tersebut sebagaimana laporan perhitungan kerugian Negara dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan.

Jaksa mengutip salah satu bagian dari buku Yudi Kristiana yang juga merupakan jaksa senior KPK mengatakan bahwa korupsi bukan hanya memperkaya diri sendiri, tapi juga orang lain dan bukan hanya diukur dari uang.

"Dalam buku Yudi Kristiana menjelaskan bahwa korupsi bukan memperkaya diri semata tapi juga orang lain, dan keuntungan dari tindak pidana korupsi tidak selalu diukur dari uang. Tidak relevan lagi dalil penasihat hukum yang menyatakan kalau korupsi hanya menguntungkan diri sendiri atau orang lain semata-mata hanya dari uang. Bukankah benda mahal bukan hanya nilai instrinsiknya tapi historis dan spritualitasnya?" ungkap jaksa.

Dalam dakwaan disebutkan bahwa SDA mendapatkan kiswah dari kader PPP Mukhlisin dan pengusaha Cholid Abdul Latief sebagai imbalan karena telah membantu meloloskan 4 rumah pemondokan di Syare Masyur dan Thandabawi, Mekkah.

Namun menurut Suryadharma, kiswah tersebut tidak memiliki nilai ekonomis yang dapat memperkaya diri saya. Kiswah tersebut hanya memiliki nilai agama spiritual sehingga menurut Surya, KPK menjebloskan dirinya ke penjara hanya dengan potongan Kiswah.

"Haji merupakan salah satu rukun Islam dan menjadi prestise khusus sehingga tidak jarang orang yang sudah melakukan ibadah haji memberikan gelar di depan namanya bahkan terdakwa keberatan saat tidak ditambahkan gelar haji di depan namanya dalam dakwaan, sehingga ibadah haji juga merupakan prestise," tambah Jaksa.

Sehingga menurut jaksa ibadah haji seharusnya pun dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, akuntabilitas dan prinsip nirlaba jadi bila ada tindak pidana korupsi dalam ibadah haji, maka harus diproses sesuai dengan aturan.

"Rekrutmen PPIH yang koruptif, pemanfaatan sisa kuota haji nasional merupakan perbuatan yang mencederai animo masyarakat yang tinggi khususnya calon haji yang masih dalam antrean," jelas jaksa.

Artinya, proses penyidikan hingga penuntutan oleh KPK merupakan upaya untuk menegakkan keadilan.

"Proses penyidikan dan penuntutan yang dilakukan KPK sama sekali tidak untuk melempar harga diri terdakwa ke garis nadir tapi semata-mata untuk menegakkan keadilan. Seperti surat yang sudah dikutip oleh terdakwa juga yang artinya Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu berlaku adil dan kebajikan dan Allah melarang berlaku keji," tegas Jaksa Wiraksajaya.

Dalam dakwaan, Suryadharma disebut melakukan sejumlah perbuatan yaitu menunjuk orang-orang tertentu yang tidak memenuhi persyaratan menjadi Petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi dan mengangkat Petugas Pendambilng Amirul Hajj tidak sesuai ketentuan; menggunakan Dana Operasional Menteri (DOM) tidak sesuai dengan peruntukan; mengarahkan Tim penyewaan Perumahan Jemaah Haji Indonesia di Arab Saudi untuk menunjuk penyedia perumahan jamaah Indonesia tidak sesuai ketentuan serta memanfaatkan sisa kuota haji nasional tidak berdasarkan prinsip keadilan dan proporsionalitas.

Suryadharma diancam pidana dalam pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUH-Pidana jo pasal 65 ayat 1 KUH-Pidana.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Pewarta : Antaranews
Editor : Totok Marwoto
Copyright © ANTARA 2024