"Festival Lima Gunung ini memberikan pencerahan lebih mendalam bagi orang-orang Jakarta (kota, red.) yang selalu sesak, supaya kembali ke jalan yang benar, menjiwai keragaman hayati," katanya di Magelang, Sabtu.
Ia mengatakan hal itu ketika didaulat berpidato pada hari kedua Festival Lima Gunung XIV di kawasan Gunung Andong, Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.
Festival diselenggarakan pada 14-17 Agustus 2015 di kawasan Gunung Andong di Dusun Mantran Wetan dan Gunung Merapi di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Dusun sebagai lokasi festival, termasuk panggung pementasan, dihiasi dengan aneka seni instalasi berbahan baku alam.
Ia menyebut festival tersebut sebagai "luar biasa", antara lain karena menghadirkan suasana yang damai dengan kedatangan masyarakat dari berbagai latar belakang.
"Tidak seperti di Jakarta yang suasananya selalu 'kemrungsung' (terburu-buru, red.)," ucapnya.
Panitia festival memperkirakan antara 800-1.000 orang tampil dalam kegiatan tersebut, untuk mementaskan antara lain tarian, musik, mengikuti pameran seni rupa, kirab budaya, sarasehan budaya, pidato kebudayaan, peresmian masjid yang dibangun warga secara swadaya, dan peringatan HUT Ke-70 RI.
Mereka berasal dari anggota Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh), para seniman dari berbagai grup di desa-desa sekitar lokasi festival, dan mereka yang datang dari berbagai kota serta luar negeri, yang selama ini berjejaring dengan komunitas dengan inspirator utama budayawan Sutanto Mendut tersebut.
Pada masa mendatang, lanjutnya, kesenian di Indonesia harus dikembangkan dari kekuatan keragaman hayati masyarakat di tingkat basis.
Semangat keragaman hayati, menurut dia, harus ditularkan kepada banyak orang, secara berkelanjutan.
Saat sarasehan budaya bertajuk "Festival di Indonesia" di "panggung kulon" Festival Lima Gunung XIV Dusun Mantran, Sutanto Mendut mengemukakan tentang perbedaan antara pesta kebudayaan yang diselenggarakan oleh penyelenggara "event" dan elite dengan masyarakat dusun dan gunung.
Festival Lima Gunung, katanya, memberi pelajaran kepada masyarakat luas, termasuk para elite Indonesia tentang kerendahan hati.
"Ini kebudayaan, harus dilihat EO. Festival Lima Gunung membahagiakan masyarakat, bukan festival untuk membahagiakan EO atau para elite. Indonesia itu banyak festival palsu yang senang EO dan pemberi dana atau festival sesungguhnya yang membahagiakan banyak orang," tukasnya.
Ia mengatakan hal itu ketika didaulat berpidato pada hari kedua Festival Lima Gunung XIV di kawasan Gunung Andong, Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.
Festival diselenggarakan pada 14-17 Agustus 2015 di kawasan Gunung Andong di Dusun Mantran Wetan dan Gunung Merapi di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Dusun sebagai lokasi festival, termasuk panggung pementasan, dihiasi dengan aneka seni instalasi berbahan baku alam.
Ia menyebut festival tersebut sebagai "luar biasa", antara lain karena menghadirkan suasana yang damai dengan kedatangan masyarakat dari berbagai latar belakang.
"Tidak seperti di Jakarta yang suasananya selalu 'kemrungsung' (terburu-buru, red.)," ucapnya.
Panitia festival memperkirakan antara 800-1.000 orang tampil dalam kegiatan tersebut, untuk mementaskan antara lain tarian, musik, mengikuti pameran seni rupa, kirab budaya, sarasehan budaya, pidato kebudayaan, peresmian masjid yang dibangun warga secara swadaya, dan peringatan HUT Ke-70 RI.
Mereka berasal dari anggota Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh), para seniman dari berbagai grup di desa-desa sekitar lokasi festival, dan mereka yang datang dari berbagai kota serta luar negeri, yang selama ini berjejaring dengan komunitas dengan inspirator utama budayawan Sutanto Mendut tersebut.
Pada masa mendatang, lanjutnya, kesenian di Indonesia harus dikembangkan dari kekuatan keragaman hayati masyarakat di tingkat basis.
Semangat keragaman hayati, menurut dia, harus ditularkan kepada banyak orang, secara berkelanjutan.
Saat sarasehan budaya bertajuk "Festival di Indonesia" di "panggung kulon" Festival Lima Gunung XIV Dusun Mantran, Sutanto Mendut mengemukakan tentang perbedaan antara pesta kebudayaan yang diselenggarakan oleh penyelenggara "event" dan elite dengan masyarakat dusun dan gunung.
Festival Lima Gunung, katanya, memberi pelajaran kepada masyarakat luas, termasuk para elite Indonesia tentang kerendahan hati.
"Ini kebudayaan, harus dilihat EO. Festival Lima Gunung membahagiakan masyarakat, bukan festival untuk membahagiakan EO atau para elite. Indonesia itu banyak festival palsu yang senang EO dan pemberi dana atau festival sesungguhnya yang membahagiakan banyak orang," tukasnya.