Rangkaian kegiatan keagamaan Buddha yang berlangsung mulai Sabtu pukul 08.00 WIB hingga Minggu (26/7) malam itu, dibuka oleh Pembimbing Masyarakat Buddha Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah Sutarso dan ditandai dengan pemukulan gong.
Selain itu, sejumlah biksu senior dari Sangha Theravada Indonesia melakukan penyalaan lilin dan dupa di altar besar dengan aneka hiasan yang didirikan di bawah tenda di Taman Lumbini, Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur.
Tipitaka adalah kitab suci agama Buddha ditulis dalam bahasa Pali, berisi ajaran Buddha Gautama. Tipitaka berisi aturan kehidupan kebiksuan, filsafat agama, dan khutbah Buddha Gautama, termasuk khutbah pertama kepada lima muridnya, setelah mencapai pencerahan sempurna. Khutbah pertama Sang Buddha itu, kemudian dirayakan umat sebagai Hari Asadha, yang jatuh sekitar dua bulan setelah Waisak.
Sutarso menyambut gembira pelantunan Tipitaka dan perayaan Asadha di Borobudur karena hal itu salah satu cara umat mempertahankan dharma yang telah dipelajari secara teoritis.
Setelah mempelajari dharma, katanya saat jeda sesi pertama pelantunan Tipitaka itu, umat melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
"Setelah belajar teori dan melaksanakan, harapannya umat akan merasakan hasilnya, antara lain berupa keberkahan, panjang usia, dan paras bahagia," katanya.
Ia menyebut Asadha sebagai perayaan besar dalam keagamaan Buddha yang dilakukan oleh umat dengan harapan semakin meningkatkan iman dan takwa mereka.
Selain itu, katanya, umat memperkuat kerukunan di antara mereka, antarumat beragama lainnya, dan antara umat Buddha dengan pemerintah.
"Juga meningkatkan pendidikan dan pengetahuan melalui jalur formal dan nonformal. Peran umat Buddha juga diharapkan semakin kuat dalam proses pembangunan melalui bahasa keagamaan, yang antara lain berupa cinta kasih, kasih sayang, rasa simpati, dan keseimbangan batin. Itu universal," katanya.
Ketua Panitia Pelaksana Pusat Indonesia Tipitaka Chanting dan Pujabakti Agung Asadha 2559/2015 Romo Pandita Arya Candra mengatakan puncak perayaan pada Minggu (26/7) di Candi Borobudur, akan dihadiri sekitar 5.000 umat dari Jateng, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan provinsi lainnya, dengan sekitar 150 biksu dari dalam negeri dan belasan lainnya berasal dari beberapa negara.
Rangkaian puncak kegiatan keagamaan itu, antara lain berupa prosesi Asalha Mahapuja, penyalaan lilin dan dupa, meditasi, penyampaian pesan Asadha, pemercikan air suci, serta pradaksina di Candi Borobudur.
"Perayaan ini memberikan semangat spiritual bagi umat Buddha untuk lebih menghayati ajaran Guru Agung Buddha Gautama, sehingga umat lebih bersemangat menempuh jalan hidup yang benar menuju kebahagiaan, sehingga umat dapat memberikan sumbangan nilai-nilai dan perilaku hidup yang humanis bagi masyarakat," katanya.
Tema perayaan Asadha 2559/2015 adalah "Melestarikan Dharma demi Kesejahteraan Bangsa".
"Dengan pelestarian dharma baik melalui tutur kata maupun kelakuan individu dan sosial bermasyarakat, maka umat Buddha turut berperan nyata dalam peningkatan kesejahteraan bangsa menuju cita-cita keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia," katanya.
Selain itu, sejumlah biksu senior dari Sangha Theravada Indonesia melakukan penyalaan lilin dan dupa di altar besar dengan aneka hiasan yang didirikan di bawah tenda di Taman Lumbini, Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur.
Tipitaka adalah kitab suci agama Buddha ditulis dalam bahasa Pali, berisi ajaran Buddha Gautama. Tipitaka berisi aturan kehidupan kebiksuan, filsafat agama, dan khutbah Buddha Gautama, termasuk khutbah pertama kepada lima muridnya, setelah mencapai pencerahan sempurna. Khutbah pertama Sang Buddha itu, kemudian dirayakan umat sebagai Hari Asadha, yang jatuh sekitar dua bulan setelah Waisak.
Sutarso menyambut gembira pelantunan Tipitaka dan perayaan Asadha di Borobudur karena hal itu salah satu cara umat mempertahankan dharma yang telah dipelajari secara teoritis.
Setelah mempelajari dharma, katanya saat jeda sesi pertama pelantunan Tipitaka itu, umat melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
"Setelah belajar teori dan melaksanakan, harapannya umat akan merasakan hasilnya, antara lain berupa keberkahan, panjang usia, dan paras bahagia," katanya.
Ia menyebut Asadha sebagai perayaan besar dalam keagamaan Buddha yang dilakukan oleh umat dengan harapan semakin meningkatkan iman dan takwa mereka.
Selain itu, katanya, umat memperkuat kerukunan di antara mereka, antarumat beragama lainnya, dan antara umat Buddha dengan pemerintah.
"Juga meningkatkan pendidikan dan pengetahuan melalui jalur formal dan nonformal. Peran umat Buddha juga diharapkan semakin kuat dalam proses pembangunan melalui bahasa keagamaan, yang antara lain berupa cinta kasih, kasih sayang, rasa simpati, dan keseimbangan batin. Itu universal," katanya.
Ketua Panitia Pelaksana Pusat Indonesia Tipitaka Chanting dan Pujabakti Agung Asadha 2559/2015 Romo Pandita Arya Candra mengatakan puncak perayaan pada Minggu (26/7) di Candi Borobudur, akan dihadiri sekitar 5.000 umat dari Jateng, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan provinsi lainnya, dengan sekitar 150 biksu dari dalam negeri dan belasan lainnya berasal dari beberapa negara.
Rangkaian puncak kegiatan keagamaan itu, antara lain berupa prosesi Asalha Mahapuja, penyalaan lilin dan dupa, meditasi, penyampaian pesan Asadha, pemercikan air suci, serta pradaksina di Candi Borobudur.
"Perayaan ini memberikan semangat spiritual bagi umat Buddha untuk lebih menghayati ajaran Guru Agung Buddha Gautama, sehingga umat lebih bersemangat menempuh jalan hidup yang benar menuju kebahagiaan, sehingga umat dapat memberikan sumbangan nilai-nilai dan perilaku hidup yang humanis bagi masyarakat," katanya.
Tema perayaan Asadha 2559/2015 adalah "Melestarikan Dharma demi Kesejahteraan Bangsa".
"Dengan pelestarian dharma baik melalui tutur kata maupun kelakuan individu dan sosial bermasyarakat, maka umat Buddha turut berperan nyata dalam peningkatan kesejahteraan bangsa menuju cita-cita keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia," katanya.