Alwi di Jakarta, Jumat, mengatakan bahwa bangsa Indonesia sepatutnya khawatir dengan adanya virus kekerasan dan radikalisme yang cukup merajalela saat ini.
"Sepuluh tahun lalu kita tidak pernah membayangkan lahirnya kelompok radikalisme, terutama Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Mereka telah mencederai Islam sehingga kita tidak boleh tinggal diam untuk menangkal gerakan itu. Mereka ancaman nyata dan sudah menyebar ke berbagai negara di Timur Tengah," kata Alwi yang juga mantan Utusan Khusus Presiden untuk Timur Tengah itu.
Ahli Islam pertama yang duduk dalam Board of Trustee pada Centre for the Study of World Religions, lembaga pengkajian yang berafiliasi dengan Harvard Divinity School itu mengaku di luar negeri banyak yang menanyakan dari mana datangnya kelompok-kelompok radikal yang mengatasnamakan Islam.
Kondisi itulah, kata penyandang gelar doktor dari Universitas Ain Syam Mesir dan Universitas Temple AS itu, yang menyebabkan Islam Indonesia pun sempat dianggap radikal, padahal Islam Indonesia adalah Islam yang bernafaskan cinta dan damai.
"Islam sesungguhnya adalah agama yang bernafaskan cinta dan damai. Radikalisme selama ini menjadikan agama Islam sebagai kambing hitam untuk banyak gerakan radikalisme dan terorisme," katanya.
Oleh karena itu, umat Islam, terutama di Indonesia, harus mengubah citra Islam yang penuh kekerasan menjadi Islam yang toleran dan damai.
"Kita ingin Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang inklusif, menghargai perbedaan, dan rahmatan lil alamin," kata Alwi.
Sementara itu, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Dr Komarudin Hidayat menilai penyebaran paham radikalisme yang mengatasnamakan Islam di Indonesia bukan hal baru, karena tidak lepas dari kaitan geografis dan kultural Indonesia.
"Di negara kita tradisi kekerasan masih menonjol sehingga itu sangat mudah dimasuki paham radikalisme," kata Komarudin.
Oleh karena itu, menurut Komarudin, untuk mencegah menguatnya radikalisme, diperlukan kepastian hukum, konstitusi, dan perdamaian.
"Sepuluh tahun lalu kita tidak pernah membayangkan lahirnya kelompok radikalisme, terutama Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Mereka telah mencederai Islam sehingga kita tidak boleh tinggal diam untuk menangkal gerakan itu. Mereka ancaman nyata dan sudah menyebar ke berbagai negara di Timur Tengah," kata Alwi yang juga mantan Utusan Khusus Presiden untuk Timur Tengah itu.
Ahli Islam pertama yang duduk dalam Board of Trustee pada Centre for the Study of World Religions, lembaga pengkajian yang berafiliasi dengan Harvard Divinity School itu mengaku di luar negeri banyak yang menanyakan dari mana datangnya kelompok-kelompok radikal yang mengatasnamakan Islam.
Kondisi itulah, kata penyandang gelar doktor dari Universitas Ain Syam Mesir dan Universitas Temple AS itu, yang menyebabkan Islam Indonesia pun sempat dianggap radikal, padahal Islam Indonesia adalah Islam yang bernafaskan cinta dan damai.
"Islam sesungguhnya adalah agama yang bernafaskan cinta dan damai. Radikalisme selama ini menjadikan agama Islam sebagai kambing hitam untuk banyak gerakan radikalisme dan terorisme," katanya.
Oleh karena itu, umat Islam, terutama di Indonesia, harus mengubah citra Islam yang penuh kekerasan menjadi Islam yang toleran dan damai.
"Kita ingin Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang inklusif, menghargai perbedaan, dan rahmatan lil alamin," kata Alwi.
Sementara itu, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Dr Komarudin Hidayat menilai penyebaran paham radikalisme yang mengatasnamakan Islam di Indonesia bukan hal baru, karena tidak lepas dari kaitan geografis dan kultural Indonesia.
"Di negara kita tradisi kekerasan masih menonjol sehingga itu sangat mudah dimasuki paham radikalisme," kata Komarudin.
Oleh karena itu, menurut Komarudin, untuk mencegah menguatnya radikalisme, diperlukan kepastian hukum, konstitusi, dan perdamaian.