Peristiwa itu dipastikan masih menjadi ingatan kuat mereka, apalagi yang tinggal di kawasan gunung di perbatasan antara Jawa Tengah dengan Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut. Kala itu, masyarakat lereng Merapi harus berlaku bijak dengan mengungsi ke tempat aman dalam jangka waktu yang relatif lama.

Satu periode letusan Merapi sebelumnya, yakni pada 2006, juga tentu belum mereka lupakan. Erupsinya berupa lelehan lava pijar secara terus menerus dan semburan awan panas yang akrab disebut sebagai wedus gembel. Gunung Merapi memang telah membuat catatan panjang tentang letusannya, sejak masa lampau hingga saat ini. Mungkin juga kelak.

Secara khusus, sekelompok warga setempat mencatatkan ingatan atas erupsi Gunung Merapi 2001, melalui apa yang hingga saat ini menjadi tradisi budaya lokal yang mereka sebut sebagai Sedekah Gunung.

Setiap tahun, bertepatan dengan 10 Februari, mereka dengan dipelopori para petani dan sekaligus seniman rakyat Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jateng, pimpinan Sitras Anjilin menjalani tradisi Sedekah Gunung.

Seniman Sanggar Bangun Budaya pimpinan Untung Pribadi, Kelompok Edukasi Gubug Selo Merapi (EGSPi) dengan sejumlah tokohnya, seperti Suyud dan Sutar, Kelompok Gadung Mlati pimpinan Ismanto, Komunitas Tlatah Bocah pimpinan Gunawan Yulianto, dan Tim Laboratorium Udan Antioksidan pimpinan Romo V. Kirjito juga terlibat saat Sedekah Gunung pada Selasa, 10 Februari 2015.

Saat ini, status aktivitas Gunung Merapi di level terendah "aktif normal". Status aktivitas vulkanik gunung berapi, secara berturut-turut "aktif normal", "waspada", "siaga", dan "awas".

Setelah berkumpul di halaman Pos Pengamatan Gunung Merapi di Babadan, Desa Paten, Kecamatan Dukun, dan mendengarkan cerita singkat tentang pengalaman masyarakat tataran bawah saat menghadapi erupsi Merapi 2001 dari rohaniwan yang juga budayawan Romo Kirjito, mereka berjalan kaki melewati jalan setapak menuju bukit yang disebut masyarakat sebagai Puntuk Sanggeman, sekitar empat kilometer barat daya puncak Gunung Merapi.

"Sehari sebelumnya (pada 2001), masyarakat dengan para tokoh lintas agama berdoa bersama untuk keselamatan karena situasi Merapi sudah berada di puncak krisis (status 'awas')," kata Kirjito yang sekitar 10 tahun (2000-2011) bertugas memimpin umat Katolik di kawasan barat daya puncak Merapi.

Ketika itu, 9 Februari 2001, doa bersama para pemuka lintas agama dengan masyarakat setempat bertempat di Desa Paten, Kecamatan Dukun, di sekitar enam kilometer barat daya puncak Gunung Merapi.

Ternyata, pagi harinya bertepatan dengan Sabtu sekitar pukul 06.00 WIB, wedus gembel menyembur dari puncak Gunung Merapi dan meluncur ke arah barat daya. Akan tetapi, perubahan tiupan angin secara tiba-tiba telah membuat arah semburan awan panas yang bergulung-gulung itu berbalik ke timur. Warga setempat lega dan bersyukur karena terlepas dari marabahaya. Mereka mencatat dengan baik peristiwa Merapi, 10 Februari 2001.

"Untuk itulah kami memperingati peristiwa itu, kami selamat, terbebas dari bencana. Kami lakukan peringatan setiap tahun melalui Sedekah Gunung," kata Sitras yang juga salah satu tokoh utama Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang.

Dari puncak Puntuk Sanggeman, mereka yang berjumlah puluhan orang duduk bersila, setelah menata di atas rumput berbagai bekal untuk menjalani tradisi itu, seperti tumpeng, jadah bakar, segelas kopi kental, dua batang rokok cerutu, dan menancapkan beberapa batang dupa hio, menebar bunga mawar warna merah serta putih.

Sitras memimpin mereka untuk menjalani Sedekah Gunung yang berupa ungkapan doa kepada Tuhan dalam bentuk meditasi gerak, pelantunan tembang Jawa, pembacaan sejumlah geguritan bertema Gunung Merapi.

Seorang sesepuh warga Dusun Babadan, Desa Paten, Sugiyanto, yang setiap saat mencari rumput untuk ternaknya dan kayu bakar untuk rumah tangganya, berada di antara mereka, mengikuti kegiatan selama sekitar satu jam itu.

"Melalui tradisi ini, kami mengucap syukur hidup menyatu dengan Merapi, dan berdoa untuk selalu beroleh keselamatan," kata Sitras yang padepokannya didirikan oleh bapaknya, Romo Yoso Sudarmo, pada 1937 di tepian Sungai Senowo dengan aliran airnya yang berhulu di Gunung Merapi.

Anggota padepokan, Marmujo, berdiri di bawah satu pohon dengan tangan menggenggam puluhan batang hio. Ia mengawali tradisi ritual melalui lantunan tembang langgam Asmaradana dengan syairnya, "Niat ingsun amiwiti. Manebut maknaning sukma. Kang wurahing donya mangke. Ingkang asih ing akherat. Pinuji tan kena pegat. Angganjar awelas ayu. Ngapuro wong ingkang dosa".

Kira-kira maksud kalimat dalam syair itu sebagai ucapan niat warga melalui Sedekah Gunung, untuk berdoa kepada Tuhan yang penuh kasih dan selalu terpuji. Tuhan memberikan ganjaran dan belas kasih serta maha pengampun.

Pesta Geguritan
Kabut makin tebal turun dari puncak Merapi hingga tak jauh dari Puntuk Sanggeman ketika mereka makin larut menjalani Sedekah Gunung, berupa pembacaan rangkaian syair-syair doa berwujud pesta geguritan.

Geguritan yang dibacakan oleh Widyo Sumpeno, seniman wayang orang Padepokan Tjipto Boedojo sambil duduk bersila, tertangkap pendengaran sebagai ungkapan syukur masyarakat yang hidup di kawasan Gunung Merapi.

"'Duh Sang Hyang Widi. Bungahku tanpa upama. Bisa dadi jalma manungsa. Kang tinitah ing ereng-ereng Merapi. Bumi kang nyata kasuburane. Tumrap kawula among tani. Yen Merapi muntahke lahar. Pancen kabeh kudu sumingkir. Sanadyan ing galih kang sayekti. Percaya yen merga dalan kuwi. Bumi Merapi katon saya subur'. (Tuhan, kami bersuka cita. Menjadi warga lereng Merapi. Buminya subur untuk para petani. Kalau Merapi meletus, semua harus mengungsi dan prihatin. Tapi kami percaya bahwa dengan letusan Merapi, tanah kami makin subur, red.)," demikian beberapa bait geguritan itu.

Anggota Sanggar Bangun Budaya Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Mastur, dengan lantang mengungkapkan doanya melalui geguritan berjudul "Nasib Merapiku".

"'Pedhut wayah esuk setya ngemuli. Beninge embun tansah gumayung ono gegodhongan. Sumilir angin ngrasuk ono sak jroning sukma. Sawah kanton ijo royo-royo kebak tetanduran. Manuk padha ngoceh ono sakselaning wit-witan. Saya nambah endahing sesawangan'," begitu bait pertama geguritan itu.

Terjemahan bebasnya, kira-kira "Kabut pagi menyelimuti. Embun bening bergantung di dedaunan. Angin semilir memasuki jiwa. Sawah tampak hijau penuh tanaman. Burung berkicau di sela-sela pepohonan. Semakin menambah indah pemandangan".

Kehebatan Gunung Merapi diungkapkan juga oleh Untung Pribadi, pemimpin Padepokan Sanggar Bangun Budaya, melalui geguritan berjudul "Indonesia Bumiku".

"'Gedhe dhuwur Gunung Merapi. Papane endah gawe tentreming ati. Kebak bandha lan rejeki. Warga lereng Merapi wajib jaga kang permati'. (Gunung Merapi yang gagah. Tempat yang indah membuat hati tenteram. Menyimpan harta kekayaan dan rejeki. Warga lereng Merapi wajib menjaga dengan sepenuh hati, red.)," katanya.

Seorang anggota lainnya dari Padepokan Tjipto Boedojo, Saparno, menimpali dengan geguritan bertajuk "Suara Donga".

"'Suarane donga, suarane donga. Komat kamit, komat kamit. Tresno eling, tresno eling. Eling marang opo sejatining sira'. (Suara doa dengan mulut komat-kamit. Mengingatkan tentang cinta kasih. Mengingatkan siapa kita ini, red.)," demikian bait terakhir dari geguritan itu.

Sebelum sejumlah mereka melakukan meditasi gerak tanda akhir dari Sedekah Gunung di atas bukit itu, Sitras Anjilin mengucapkan rapal dengan kalimat pendek yang menunjukkan betapa kehidupan masyarakat setempat sungguh-sungguh menyatu dan menjadi bagian tak lepas dari Gunung Merapi.

""Badanku lemah Merapi. Balungku watu Merapi. Darahku banyu Merapi. Wayahku cahyaning Merapi. Semangatku lahar Merapi. Jiwaku jiwaning alam'. (Tubuhku tanah Merapi. Tulangku batu Merapi. Darahku air Merapi. Waktuku cahaya Merapi. Semangatku bagaikan lahar Merapi. Jiwaku jiwa alam, red.)," katanya tanpa teks.

Sambil menerima uluran tangan sebagai tanda pamitan dan terima kasih mereka karena rampung menjalani tradisi tahunan atas catatan istimewa letusan Gunung Merapi, Sugiyanto dalam bahasa Jawa menyatakan, "'Donga-dinonga paringana keslametan sedayanipun'. (Saling mendoakan untuk keselamatan kita semua, red)".

Tradisi budaya Sedekah Gunung menjadi cara istimewa mereka mencatat hikmah atas satu periode letusan Gunung Merapi.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025