Berhenti pula petugas bagian kehumasan lembaga yang berkantor di kompleks Taman Wisata Candi Borobudur tersebut bercerita secara khusus pagi itu kepada Antara tentang perempuan yang sedang bekerja menggunakan pipisan dengan seorang lainnya bersila sambil memegang pinggang perempuan tersebut.

Relief yang menggambarkan perempuan membuat jamu secara tradisional itu, sepanel dengan relief kapal di Candi Borobudur di lorong pertama sisi utara, dinding utama bawah, yang dalam kategori Balai Konservasi Borobudur masuk bidang C nomor 6.

Apa yang dilihat oleh Mura Aristina, petugas balai dengan sorot mata tajam adalah sepotong pendek lidi sisa hio atau dupa yang tertancap di sela batuan candi yang juga warisan peradaban dunia dibangun sekitar abad ke-8, masa Kerajaan Mataram Kuno dalam pemerintahan Dinasti Syailendra.

"Seperti ini sering kami temukan, dupa diselipkan di nat (sela-sela batuan, red.), begitu juga sisa lilin bercecer di batuan candi. Hal-hal seperti ini bisa merusak batuan Borobudur," katanya akhir pekan lalu.

Tangan kanannya segera mencabut sisa dupa tersebut dari sela-sela batuan. Dia kemudian membuang sepotong lidi dengan panjang sekitar 10 centimeter itu ke tempat sampah, di bagian lain dari lorong tersebut.

Mura kemudian melanjutkan penjelasan tentang pentingnya siapa saja yang memanfaatkan Borobudur untuk kegiatan ritual, menyadari terhadap kebutuhan kelestarian Candi Borobudur.

Nampaknya sepele, hanya persoalan menyulut lilin dan dupa di Candi Borobudur. Akan tetapi, bagi para petugas Balai Konservasi Borobudur dan tentu saja, siapapun yang meletakkan perhatian terhadap usaha-usaha pelestarian Borobudur, ihwal itu menjadi masalah serius.

Kalangan mereka tentu berpengharapan kuat terhadap para pengunjung dan siapa saja pemanfaat Candi Borobudur agar tidak sembarangan menyulut lilin dan dupa di tempat bersejarah itu.

Sejumlah sumber tertulis menyebut, Candi Borobudur dibangun dari tatanan batu andesit berbentuk punden berundak, meliputi sembilan teras berundak yang terdiri atas enam teras berdenah persegi dan tiga lingkaran.

Candi yang letakknya di antara aliran Kali Elo dan Progo Kabupaten Magelang tersebut, panjangnya 121,66 meter, lebar 121,38 meter, dan tinggi 35,40 meter. Letakknya di bukit yang sudah dimodifikasi dengan ketinggian 265 meter dari permukaan air laut.

Batuan untuk pembangunan Candi Borobudur yang konon arsiteknya bernama Gunadharma, berjumlah sekitar 55 ribu meter kubik atau sekitar dua juta potong batu. Selain itu, terdapat 504 arca, baik di relung maupun stupa.

Berbagai cerita yang terpampang di relief di candi Buddha terbesar di dunia tersebut, meliputi Karmawibhangga, Lalitavistara, Jataka-Avadana, dan Gandavyuha. Berdasarkan filsafat agama Buddha, Candi Borobudur terdiri atas tiga tingkatan, yakni Kamadhatu (alam bawah), Rupadhatu (alam antara), dan Arupadhatu (alam atas).

Nama Candi Borobudur menjadi tenar berkat tulisan Gubernur Jenderal Inggris (berkedudukan di Jakarta) Thomas Standford Raffles dalam buku "The History of Java". Inggris menguasai Hindia Belanda pada 1811-1815, sedangkan Raffles mendapatkan informasi tentang Candi Borobudur pada 1814, saat berkunjung ke Semarang.

Kepala Balai Konservasi Borobudur Marsis Sutopo menyebut pada 2014 bertepatan dengan 200 tahun penemuan kembali Candi Borobudur. Pihaknya, sejak Agustus hingga Desember 2014, menggelar rangkaian kegiatan untuk peringatan tersebut.

Selama sekitar 10 abad, Candi Borobudur ditinggalkan masyarakat pendukungnya karena pusat pemerintahan dari Jawa Tengah pindah ke Jawa Timur, sebagai akibat letusan dahsyat Gunung Merapi.

Sebenarnya, katanya, Candi Borobudur juga sudah disinggung dalam sumber yang lebih lama daripada buku "The History of Java".

Tertulis dalam Babad Tanah Jawi, bahwa pada 1709 tokoh bernama Ki Mas Dana yang memberontak terhadap Raja Amangkurat III (berkedudukan di Kartasura), ditangkap di bukit Borobudur, sedangkan dalam Babad Mataram tertulis bahwa pada 1757, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta dengan sebutan Pangeran Mancanagara bernasib buruk hingga mangkat, setelah menembus larangan melihat "seribu acra" yang diceritakan sebagai kesatria terkurung dalam sangkar.

Hingga saat ini, Candi Borobudur mengalami dua kali pemugaran berskala besar, yakni pada 1907-1911 saat masa penjajahan Belanda dan pada 1973-1983 oleh pemerintah Indonesia dengan dukungan berbagai negara.

Pada 1991, organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa untuk urusan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO) menetapkan Candi Borobudur sebagai warisan budaya dunia.

Teliti
Sejak sekitar sebulan terakhir, Balai Konservasi Borobudur melakukan penelitian di tempat terbuka Studio Sejarah Restorasi Candi Borobudur tentang kemungkinan dampak negatif terhadap batuan candi atas penggunaan lilin dan dupa secara sembarangan.

Mura menunjukkan tatanan batu membentuk replika candi di studio alam, di tepi areal persawahan Dusun Ngaran, Desa Borobudur, tempat penelitian dampak lilin dan dupa terhadap batuan candi. Di dalam dua replika candi terdapat sisa pembakaran lilin dan dupa, sisi bagian dalam batuan terlihat berwarna agak kemerah-merahan.

"Ini dampak kerusakan batu akibat lilin dan dupa," kata Mura yang sering kali menjadi pemandu para tamu kenegaraan yang bertandang ke Candi Borobudur, sambil membuka sepotong batu di bagian atas salah satu replika.

Selain untuk kepentingan internal Balai Konservasi Borobudur dalam penyusunan lebih lanjut prosedur baku pemanfaatan Candi Borobudur, penelitian juga sebagai landasan institusi dalam memberikan rekomendasi kepada para pengguna candi, khususnya untuk kegiatan keagamaan dan ritual, dengan memakai dupa dan lilin.

Marsis Sutopo usai membuka Borobudur Fair (9-11 Desember 2014) di halaman kantornya, dalam rangkaian Peringatan 200 Tahun Penemuan Kembali Candi Borobudur, Selasa (9/11), mengemukakan pentingnya sosialisasi penggunaan lilin dan dupa dalam kegiatan ritual keagamaan di Candi Borobudur .

"Tidak ada larangan 100 persen untuk orang kalau beribadah pakai dupa, lilin, dan sebagainya karena itu sebagai 'uba rampe' (sarana, red.) dalam upacara," katanya.

Akan tetapi, penggunaan sarana upacara itu sudah tentu harus diatur supaya tidak berdampak negatif terhadap batuan candi.

"Jangan sampai menumpahkan cairan lilin ke batuan, jangan menyelipkan dupa ke sela-sela batuan," katanya.

Ia menjelaskan tentang reaksi kimia terhadap batuan yang bisa mengganggu kelestarian batuan candi.

Kalangan pengguna Candi Borobudur untuk kegiatan ritual, kata Marsis, perlu memperhatikan secara saksama agar lilin atau dupa tidak bersentuhan langsung dengan batuan candi.

"Misalnya, dengan membawa lilin tanpa wadah. Kalau bawa dupa, dia harus juga siap untuk tempatnya atau pot kecilnya, 'naruhnya' (meletakkannya, red.) di situ. Bukan diselipkan ke batuan candi," katanya.

Penelitian dampak lilin dan dupa terhadap batuan Candi Borobudur memang belum rampung. Kalau pada akhirnya tidak ditemukan pengaruh kimiawi yang merusak batuan candi, persoalan estetika atas warisan peradaban dunia, tentu menjadi ihwal yang tidak boleh disepelekan.

"Paling tidak, kalau tidak ada pengaruh 'chemical', ada pengaruh estetisnya, keindahan. Kalau Candi Borobudur yang warisan dunia, di mana-mana berceceran dan belepotan lilin dan terselip dupa di sela batuannya, tentu tidak indah," katanya.

Oleh karena itu, soal penggunaan lilin dan dupa di Candi Borobudur, perlu berhati-hati!

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024