Banyak orang menerjemahkan simbol-simbol warna putih menjadi beraneka ragam atas kinerja kabinet yang dipatenkan sebagai pro-rakyat melalui lecutan kalimat, "kerja, kerja, dan kerja". Jokowi seakan membuat Istana Negara menjadi berwarna putih.
Yang lain mungkin juga menerjemahkan warna putih sebagai harapan kebersamaan publik untuk berangkat dari "putih" menuju kebaikan bangsa dan negara pada masa mendatang. Putih bisa secara bebas diartikan sebagai suci, bersih, atau kehendak baik.
Tentu saja Indonesia yang telah 69 tahun merdeka dengan periode lima tahun ke depan ini di bawah pemerintahan Presiden Jokowi, tidak mudah kembali ke "putih" lagi secara tiba-tiba, untuk kemudian berjalan mencapai kedaulatan dalam politik, kemandirian dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Lecutan "kerja, kerja, dan kerja" menjadi kalimat Jokowi, bukan saja untuk kabinet pemerintahannya, akan tetapi juga seluruh kebersamaan rakyat. Kalimat simbolik yang multipikir, multimakna, multirasa, multispirit, multitantangan, dan tentunya multiharapan untuk Indonesia yang sudah 69 tahun merdeka.
Harapan kuat rakyat ditumpukan kepada Sang Presiden. Para pengamat memandang Presiden Jokowi lahir dari rakyat, bukan dari elite. Rakyat mendudukkannya di tampuk tertinggi kepemimpinan negeri. Kirab dan pesta rakyat "Salam Tiga Jari" selama sehari semalam, setelah pelantikan Presiden, cukup menjadi bukti kuat siapa Jokowi yang menggetarkan siapa saja itu.
Simbol-simbol kepemimpinan Jokowi yang putih itu, seakan makin diperteguh oleh selebrasi pada hari ketujuh, setelah pelantikannya sebagai Presiden di Jakarta (20/10), yang dilakukan para seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Komunitas yang para pegiatnya tinggal di dusun-dusun di kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh tersebut dan telah memiliki jejaring kuat dengan para seniman, budayawan, akademisi, lembaga sosial di berbagai kota dan luar negeri tersebut, selama ini dipersepsikan sebagai simbol kekuatan gerakan kerakyatan melalui jalan kebudayaan.
Selain memiliki pusat aktivitas seni, budaya, dan tradisi di dusun masing-masing, mereka juga memiliki pusat kegiatan komunitas di Studio Mendut, sekitar 100 meter timur Candi Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang. Inspirator utama penggerak komunitas itu, adalah budayawan Sutanto Mendut yang mendapat Anugerah Kebudayaan dan Penghargaan Maestro Seni Tradisi 2014 dari pemerintah pusat pada 3 Oktober yang lalu.
Pada hari ketujuh setelah Presiden ke-7 RI itu dilantik, Komunitas Lima Gunung membuat perayaan dengan caranya melalui pergelaran "Pentas Putih-Putih" di Studio Mendut yang disebut sebagai "Istana Presiden Lima Gunung" oleh tokoh spiritual komunitas itu yang juga pemimpin Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Kabupaten Magelang K.H. Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf).
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang beberapa jam sebelumnya, 28 Oktober 2014, memasuki usia 46 tahun, hadir di tengah ratusan seniman komunitas itu dengan jejaringnya, seperti dari Sahabat Lima Gunung ISI Surakarta dan mahasiswa Program Pascasarjana ISI Yogyakarta, kelompok penari hip hop Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dan mahasiswa Jurusan Seni Tari Universitas Negeri Yogyakarta.
Grup musik jaz Bank Jateng pimpinan direktur utamanya yang juga peniup saksofon, Nano Tirto dan grup band rock "Dr Feel Good" Yogyakarta juga memeriahkan "Pentas Putih-Putih", Senin (27/10) hingga tengah malam dengan dua pembawa acara, yakni dalang wayang Komunitas Lima Gunung Sih Agung Prasetya dan Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko Lailly Prihatiningtyas.
Hadir juga Wakil Bupati Banjarnegara yang juga dalang Hadi Supeno, penari tarian Jawa berasal dari Nagoya, Jepang, Kaori Okado, pengajar ISI Surakarta Joko Aswoyo, dan pengelola komunitas Warung Info Jagad Cleguk Borobudur Sucoro.
Panggung terbuka beralas tanah di bawah pepohonan rindang dan berbagai patung batu yang menghiasi tempat itu, berinstalasi berbagai barang dengan warna serba putih, antara lain kukusan, tenggok, keranjang, dan kentongan kontemporer. Atap genting bangunan di salah satu sisi panggung tersebut juga dibentangkan kain lebar berwarna putih.
Hampir semua penonton pergelaran "Pentas Putih-Putih" yang penuh gelak tawa, menggembirakan, kental suasana kebebasan, dan egaliter itu, mengenakan pakaian warna putih. Begitu juga para pementas yang berjumlah ratusan orang dari belasan kesenian itu, juga mengenakan kostum dominasi warna putih, termasuk lukisan tubuh dan wajah mereka yang serba warna putih.
Gus Yusuf dan Gubernur Ganjar Pranowo dalam pidato masing-masing pun berbicara tentang baju putih untuk alasan mereka yang berbeda-beda tentang kehadiran dalam pergelaran "Pentas Putih-Putih" di Studio Mendut itu, tidak mengenakan pakaian warna putih.
"Untuk acara ini saya sudah dikabari seminggu lalu, sebenarnya sudah siap-siap mengenakan baju putih. Gara-gara kemarin dipinjam kawan-kawan yang diundang ke Istana (Istana Negera Jakarta, red.), habis baju putih saya. Tetapi malam ini saya diundang ke Istana Presiden Lima Gunung. Bisa mengobati kecewa tidak diundang ke Istana," katanya.
Penonton pun, termasuk Ganjar Pranowo, tertawa merespons pidato pengantar Gus Yusuf yang juga Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jateng itu. Sebanyak empat kader PKB menjadi bagian dari 34 menteri dalam Kabinet Kerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
"Benar Gus Yusuf, saya juga pengin pakai baju putih, tetapi nanti malah dianggap kecewa karena tidak diundang ke Jakarta (Istana Negara, red.)," kata Ganjar ketika mengungkap alasannya malam itu. Penonton pun tertawa mendengar kalimat Sang Gubernur itu.
Berbagai nama tarian Komunitas Lima Gunung yang dipentaskan malam itu pun, ditambahi embel-embel kata "putih", seperti topeng iwak putih, grasak putih, sayuk rukun putih, tari senggol modot putih, topeng putih, topeng saujana putih, dan hip hop putih.
Sebelum dalang Sih Agung mementaskan wayang kontemporer dengan lakon "Anoman Duta Mudha Gunung" dengan durasi pendek, seorang petinggi Komunitas Lima Gunung Sitras Anjilin mendaraskan nada sastrawi tentang karakter dan kekuatan Anoman dalam berbagai kisah dunia pewayangan. Anoman adalah kera putih yang hadir dengan kesaktiannya sebagai pahlawan dan kesatria, baik dalam lakon yang bersumber dari Ramayana maupun Mahabharata.
"Anoman bisa bertriwikrama, menjadi besar dan dahsyat. Kehadiran Anoman, artinya semua akan beres kalau ada fisik yang kerja. Walaupun ada sastra dan spirit, kalau tidak ada tindakan seperti Anoman, tidak akan tercapai cita-cita bangsa. Maka Anoman-lah yang gagah perkasa dengan fisik yang kuat, triwikrama, membakar Alengka," katanya.
Dia mengisahkan bahwa dalam pewayangan Ramayana, Anoman mengalahkan Rahwana dengan menjepit tubuh Raja Alengka itu menggunakan Gunung Sumawana. Akan tetapi, meskipun fisik Rahwana yang sudah terjepit, tidak demikian dengan jiwa angkara murkanya yang menyebar kemana-mana hingga saat ini.
"Maka Anoman harus lahir kembali di dunia ini, untuk menjepit mental-mental Rahwana," begitu Sitras yang juga dalang wayang orang dengan basisnya di Padepokan Tjipta Boedojo Tutup Ngisor, di kawasan Gunung Merapi, mengakhiri ceritanya tentang kepahlawanan Sang Kera Putih itu.
Saat pementasan wayang kulit kontemporer yang hanya dengan tabuhan slentem dan gender, dalang Sih Agung menghadirkan dialog dua tokoh utama Anoman triwikrama (berubah bentuk menjadi kera putih raksasa) dan Gatotkaca bermahkota gunungan. Wayang kontemporer Anoman yang dibuat oleh seorang petinggi Komunitas Lima Gunung Sujono itu berwajah Jokowi dan Gatotkaca berwajah Ganjar Pranowo.
Satu wayang gunung berupa nyamuk, dalam dialog dengan Gatotkaca, dikisahkan oleh Sang Dalang menjelaskan tentang tanggung jawab luhur Ganjar Pranowo untuk menyejahterakan seluruh masyarakat Jawa Tengah.
Dialog antara Anoman Jokowi dengan Gatotkaca Ganjar Pranowo yang dimainkan dalang Sih Agung dengan balutan kental humor, selain memberi dukungan semangat untuk Sang Gubernur memimpin Jateng, juga mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk "kerja, kerja, dan kerja".
Setelah Ganjar Pranowo berpidato, menyusul Sutanto Mendut berbicara tentang kebutuhan bangsa dan negara atas kehadiran orang-orang yang disebutnya sebagai "wong apik" (orang baik, red) untuk memangku pemerintahan Indonesia saat ini.
"Anoman ini kalau dirumuskan sebagai kesatuan tubuh, pikiran, dan spirit, sederhana saja, dia 'wong apik'. Jadi kabinet tidak perlu cerdas-cerdas, asalkan 'wong apik'. Kalau kabinet sudah 'wong apik', yang cerdas itu kita semua, bangsa dan negara. Semoga Presiden kita juga tetap 'wong apik'," katanya.