Seketika Buya Syafi'i yang tokoh pluralisme Indonesia itu, menghentikan fokus materi pembicaraan tentang arti penting semangat persaudaraan, kemanusiaan, dan peradaban dengan referensi nilai-nilai ke-Islaman yang universal itu.
Sambil melirik gelas yang telah berisi air, mukanya berpaling ke arah biksu tua berjubah kuning keemasan yang tersenyum khas, memancarkan kehalusan budi bahasa.
Ratusan peserta kongres di aula SMA Van Lith Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (25/10) pagi itu, seketika bertepuk tangan bersama-sama, begitu Buya dengan suara kharismatis dan maknawi menyatakan, "Inilah persaudaraan sejati itu", untuk menunjukkan sikap peduli Sang Biksu kepada dirinya.
Ketika mengawali berbicara sebagai narasumber, Buya Syafi'i juga menyapa Biksu Pannyavaro dengan sebutan, "Jejaka dari Mendut". Biksu itu tinggal di Wihara Mendut. Sapaan itu juga membuat peserta kongres bertepuk tangan, tanda hormat.
"Agama jika dipahami secara benar dan jujur pasti dapat menjadi sumber pertama dan utama untuk merajut persaudaraan sejati bagi umat manusia. Tetapi, agama yang dipahami secara dangkal, kemudian disalahgunakan bisa pula menjadi sumber malapetaka yang dahsyat yang dapat memorakporandakan perumahan kemanusiaan sejagat," tutur Syafi'i yang mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah itu.
Kongres Persaudaraan Sejati Lintas Iman dengan prakarsa Keuskupan Agung Semarang berlangsung selama tiga hari (24-26 Oktober 2014), di kompleks Museum Misi Muntilan, Kabupaten Magelang.
Sekitar 800 orang dari berbagai agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa memanfaatkan momentum tersebut dengan hadir, bertekun, dan aktif berdialog melalui berbagai rangkaian kegiatan kongres yang juga bersinergi dengan perayaan Hari Pangan Sedunia 2014, dipusatkan di Lapangan Pemda Pasturan Muntilan.
Kongres menghadirkan para narasumber, yakni Uskup Agung Semarang Monsinyur Johannes Pujasumarta, Pemimpin Pertapaan Bunda Pemersatu Salatiga Martha E. Driscoll, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafi'i Ma'arif, isteri almarhum Presiden K.H. Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah Wahid.
Berikutnya, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah Abu Hapsin Umar, salah satu pendiri Konferensi Agung Sangha Indonesia yang juga pimpinan Wihara Mendut Biksu Sri Pannyavaro Mahathera.
Selain itu, tokoh Kristen yang juga Direktur Yayasan Institut DIAN/Interfidei Yogyakarta Elga Sarapung, tokoh Hindu I Wayah Sumerta, tokoh Konghucu Ling Ling, dan pemuka Komunitas Sedulur Sikep Kabupaten Pati Gunretno.
Giliran Biksu Pannyavaro menjadi pembicara. Sebelum menimpali sanjungan penghormatan yang dilontarkan Buya Syafi'i itu, ia bercerita tentang perasaannya dipentingkan panitia untuk hadir dalam kongres tersebut.
"Romo Budi (Aloysius Budi Purnomo, Ketua Komisi Hubungan Antar-Agama dan Kepercayaan KAS yang juga ketua panitia kongres, red.) datang ke Mendut. Beliau minta saya datang berbicara dalam kongres ini."
"Romo Budi minta saya membuat makalah, saya bilang tidak bisa membuat makalah. Lalu saya 'dipaksa', 'Pokoknya Bante hadir'," ungkap Sang Biksu mengutip pembicaraan dengan Romo Budi ketika menemuinya di Wihara Mendut, di samping Candi Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang.
Buku panduan untuk peserta kongres yang antara lain berisi riyawat seseorang bernama Husodo (Ong Tik Tjong) yang kemudian mengambil nama Sri Pannyavaro Mahathera sejak menjadi biksu itu, nampaknya telah dibaca pula oleh Sang Bante.
Dengan nada berkelakar, ia menyatakan, "saya tidak bertanggung jawab terhadap makalah itu". Tertulis juga sumber yang dikutip untuk tulisan tentang riwayat Biksu Pannavaro dalam buku panduan kongres itu.
Romo Budi yang menjadi moderator dialog pada hari kedua kongres itu pun tersenyum-senyum mendengar "sindiran" penuh hormat dari Biksu Pannyavaro. Hadirin tertawa gembira dan bertepuk tangan.
Meskipun bersyukur karena bisa hadir dan berbicara dalam kongres, Biksu Pannyavaro menyebut hanya ingin bicara "ngalor ngidul" pada kesempatan tersebut.
Ia pun menimpali sanjungan dari Buya Syafi'i sebelumnya, dengan menyebut, "Buya itu orang tua sendiri", yang maksudnya menjadi teladan persaudaraan sejati seluruh masyarakat Indonesia.
Persaudaraan sejati yang dibangun oleh Buya Syafi'i sebagai tidak menuntut dan autentik, dikisahkan oleh Bante Pannyavaro. Ketika kehadiran kesekian kalinya Buya Syafi'i ke Wihara Mendut suatu siang, azan zuhur bergema, ia mengaku menyadari dengan baik bahwa Buya Syafi'i harus Shalat Zuhur.
"Saya harus mengatakan kepada beliau bahwa di wihara ini tidak ada sajadah. Tetapi Buya menjawab, 'Bumi ini sajadah kita'. Sejak itu persaudaraan kami makin tumbuh besar dan berkembang sampai sekarang," ucapnya disambut aplaus oleh peserta kongres.
Pada kesempatan itu, ia juga menegaskan pernyataan Buya Syafi'i tentang mereka yang pandangan dan perilakunya merusak persaudaraan sejati sebagai orang-orang yang "merasa benar di jalan sesat".
Catatan memori Bante Pannyavaro tentang semangat persaudaraan juga diwujudkan oleh almarhum K.H. Abdurrahman Wahid. Ketika menjadi Presiden RI, Gus Dur selalu menanyakan melalui ajudannya, tentang kehadiran Biksu Pannyavaro dalam beberapa acara.
"Satu kata itu, membangun persaudaran sejati," tukas Biksu Pannyavaro.
Pada kesempatan itu, ia juga bertutur tentang sopir pribadinya selama 20 tahun terakhir yang bernama Budi Wahyono. Disebutkan bahwa Sang Sopir itu, mengerti dengan baik tentang ajaran Buddha dan Dharma.
"Dia tetap Muslim sampai sekarang. Tidak ada keinginan saya untuk menjadikan dia sebagai buddhis. Tetapi keinginan saya, dia menjadi Muslim yang baik. Mas Budi juga mengagumi Buya, sehingga saya minta ikut hadir dalam kongres ini," ujarnya.
Ia menyebut suatu kehadiran, pertemuan, dan dialog sebagai momentum yang harus dimanfaatkan dengan baik oleh siapa saja untuk kepentingan bersama, perdamaian, dan persaudaraan sejati.
Persaudaraan sejati, katanya, lebih dari sekadar berbicara, persaudaraan sejati dibangun dan dijalani melalui pertemuan yang tulus dan autentik antarsesama manusia. Saat orang meninggalkan dan menanggalkan ego masing-masing, maka persaudaraan sejati itu akan terjadi.
"Alangkah indah persaudaraan sejati seperti ini," ucapnya.
Kisah tentang pengalaman dialogis membangun persaudaraan sejati, juga disampaikan Sinta Nuriyah melalui tradisinya menggelar buka bersama dan sahur bersama setiap Ramadhan di berbagai tempat selama ini.
Ia mengatakan bersama Monsinyur Pujasumarta ketika menjabat sebagai Uskup Bandung (Sejak 2011 hingga saat ini, Pujasumarta menjadi Uskup Agung Semarang) buka puasa bersama para pedagang di Pasar Kiara Condong Bandung, dan bersama para biksu melakukan sahur bersama dengan para korban Lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
Dirinya bersama Romo Budi Purnomo juga sahur bersama umat lintas agama di Gereja Tanah Mas Semarang, dan bersama para pemeluk Konghucu dan umat lintas agama melakukan kegiatan serupa di sejumlah kelenteng.
"Termasuk bersama Sumanto," katanya. Sinta Nuriyah sahur bersama Sumanto yang seorang kanibal itu, di pondok jiwa An'nur Desa Bungkanel, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Purbalingga, yang dikelola oleh K.H. Supono Mustajab, pertengahan 2012.
Dalam Islam, katanya, persaudaraan sejati menjadi prinsip dan cermin sikap umat beriman, sedangkan usaha-usaha untuk merajut persaudaraan sejati, hendaknya menjadi kepentingan semua anak bangsa.
Di tengah penutupan kongres di Lapangan Pemda Pasturan Muntilan yang dimeriahkan dengan gelar budaya dan pembacaan deklarasi tekad semakin beriman melampaui perbedaan agama dan kepercayaan, Vikaris Jenderal KAS Romo F.X. Sukendar menyatakan kongres itu menyatakan jejaring persaudaraan sejati lintas iman yang selama ini telah dibangun para pemuka agama dan kepercayaan, serta peserta kegiatan tersebut. KAS akan menggelar kongres serupa empat tahun sekali.
Selanjutnya, mereka masing-masing sebagai pribadi, keluarga, komunitas, dan masyarakat akan mewartakan semangat perdamaian dan persaudaraan sejati tersebut dalam hidup keseharian.
Kesaksian melalui umpan silang para perajut persaudaraan itu, memperteguh spiritualitas dan inspirasi mereka yang lain untuk menjalani perutusan mengabarkan keelokan persaudaraan sejati lintas iman.