Priyoto, seorang dalam jajaran direksi Badan Usaha Milik Desa "Graha Mandala" Desa Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, mengenakan celana ukuran tanggung membetulkan kain sarung motif kotak-kotak untuk diselempangkan miring di pundak kanannya.

Malam menjelang Jumat (10/10) Pahing, lelaki yang juga pelaku wisata Candi Borobudur tersebut, berjalan dari rumahnya di luar pagar Taman Wisata Candi Borobudur memasuki lokasi para pedagang berjualan suvenir wisata yang telah ludes terbakar.

Langit cerah, sementara rembulan yang bundar berwarna cahaya putih terang terlihat di timur laut dari tempat itu. Seakan Priyoto teringat ketika menjelang awal 2003 bersama beberapa tokoh warga lainnya di sekitar Candi Borobudur yang tergabung dalam Borobudur Care Association, sempat turut merancang pembangunan lokasi pedagang itu.

Awalnya tempat tersebut bernama "relokasi". Namun, dalam proses selanjutnya beralih sebutan menjadi Sentra Kerajinan Makanan Borobudur yang meliputi 963 kios suvenir dan makanan. Sebanyak 956 kios terbakar pada hari Kamis (8/10) siang. Tentu bisa dibayangkan, suasana siang itu berubah menjadi kalang kabut. Penyebab kebakaran hingga saat ini masih dalam penyelidikan kepolisian.

Pihak pengelola kepariwisataan Candi Borobudur telah berdialog dengan perwakilan pedagang untuk langkah lebih lanjut pascakebakaran, terutama penempatan mereka secara sementara, agar bisa tetap beraktivitas melayani wisatawan.

"Kami berharap solusi tersebut bisa bermanfaat bagi korban kebakaran. Meskipun sifatnya darurat dan tidak seluas di pasar lama, mudah-mudahan pedagang bisa mendapatkan manfaat," kata Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko Lailly Prihatiningtyas sehari setelah musibah, usai beraudiensi dengan perwakilan pedagang korban kebakaran.

Priyoto yang juga pengelola Hotel Lotus I di luar pagar TWCB di Jalan Pramudya Wardani Borobudur pada malam, tepatnya seminggu setelah kebakaran, menghentikan langkah kakinya di tengah-tengah serakan puing-puing, seperti pecahan asbes, aneka suvenir dari kain dan gerabah, yang semua nyaris serba warna hitam karena terbakar.

Lampu sorot cukup kuat dari tiang besi yang tinggi di luar pagar dekat Museum Karmawibangga di kompleks TWCB, mengalahkan cahaya rembulan yang menerpa tubuhnya. Suara pukulan palu dari sejumlah orang sibuk membuat lapak dagangan di sekitar museum, terdengar sekali-sekali.

Takada orang lain, selain dirinya malam itu. Mereka yang sedang sibuk membuat lapak, tak terlihat dari tempat Priyoto berdiri karena agak jauh. Dia menancapkan 12 batang dupa hio, lalu berjongkok dan berdiam diri sejenak waktu.

Sambil tetap berjongkok, tampaknya lelaki berumur 50 tahun yang pernah bekerja di kapal pesiar dengan rute pelayaran singgah di berbagai belahan dunia itu, sedang berdoa dengan cara bebasnya.

Sebelum berdiri lagi dan dalam terkaman suasana sunyi, Priyoto yang masa mudanya pernah menjadi pemandu wisata Candi Borobudur itu berujar, "Api mengambilnya."

Berangkat dari ingatan cukup kuat tentang kisah burung pipit yang tulus berupaya memadamkan kebakaran hutan dan ihwal api emas yang lidah-lidahnya menyerupai bunga lotus di relief Candi Borobudur, dia pun masuk pengetahuan tentang makna api dalam ajaran Buddha.

Meskipun bukan pemeluk Buddha, dia--dan juga sejumlah warga lainnya di sekitar Candi Borobudur--memiliki pengetahuan yang cukup untuk bertutur tentang kebuddhaan. Seperti halnya Nurrohmad (43) yang warga sekitar candi itu, juga mengetahui dengan cukup baik kisah-kisah di relief Candi Borobudur dengan makna kebuddhaan yang universal.

"Yang relief di bawah relief Sidharta bertemu orang mati, ada juga relief api, di dekatnya ada dua figur, yakni raksasa dan orang biasa. Mungkin itu kisah orang sedang berdoa. Api bentuknya besar dan 'mbulat-mbulat' (membara, red.)," kata Nurrohmad yang setiap hari menjadi pemandu wisata Candi Borobudur.

Makna relief tentang api dalam deretan cerita Awadana itu, disebut dia sebagai multitafsir, sebagaimana Priyoto juga menyebut makna api bisa negatif dan positif, sebagai api emas yang menyucikan manusia dan api kebatilan yang menebarkan kemurkaan.

Kehidupan manusia, kata dia, bagaikan dalam gejolak api dari menit ke menit. Gejolak api hidup manusia bisa berbentuk dengki, serakah kuasa, marah, dan garang, ketika kehilangan kontak dengan Tuhan atau gagal mengontrol diri.

Akan tetapi, katanya, api surgawi yang juga disimbolkan sebagai cahaya rembulan dan matahari, membentuk manusia yang antara lain dermawan, rendah hati, penolong, dan bahagia. Api hidup manusia sebagai menopang pertumbuhan dan kesuburan.

"Jika tenggelam dalam sentimen rendah, api akan menjerumuskan kita. Api tidak statis tetapi dinamis. Sama halnya dengan hawa nafsu selalu berubah dan mencari sesuatu untuk bisa dikonsumsi. Api akan berhenti bergejolak ketika objek yang dibakar sudah habis," katanya.

Malam itu pun, seorang perempuan yang sedang menyuap makanan untuk putrinya, bercerita pendek tentang hebatnya kobaran api yang meluluhlantakkan deretan tempatnya berjualan suvenir.

"Apinya merambat dari lapak ke lapak, takmampu menembus atap asbes. Ngeri," katanya sambil menunggui suaminya sibuk membuat lapak di dekat museum. Kerugian menderanya hingga puluhan juta rupiah.

Seorang perempuan lainnya bercerita saat-saat terjadi kebakaran. Sewaktu kembali ke SKMB, setelah mengendong anaknya untuk menjauh dari kebakaran, sudah ada gerobak kayu di dekat tempatnya berjualan sehingga dia bisa menyelamatkan berbagai suvenir dagangannya.

Dalam bahasa Jawa, seorang saksi mata yang juga warga sekitar Candi Borobudur bernama Karyadi mengungkapkan dengan kalimat orisinal tentang keanehan kobaran api saat musibah menerpa para pedagang.

"'Genine mlaku koyo ora karepe dhewe' (Kobaran api merambat tidak seperti kehendak sendiri, red.)," kata pedagang ayam di Pasar Borobudur, tak jauh dari Candi Borobudur itu.

Menjelang tengah malam pada hari kejadian, Dirut Tyas menulis di akun media sosial tentang refleksi makna duka dan optimisme yang mesti dipetik atas peristiwa api yang menyambar para pedagang suvenir Candi Borobudur.

"Tuhan memberikan ujian kepada manusia agar mereka belajar. Banyak yang bilang, dalam musibah kita belajar bersabar dan dalam bahagia kita belajar bersyukur. Namun nyatanya, dari musibah pun kita bisa belajar sabar dan syukur. Karena keduanya sejatinya datang dengan saling berdampingan. Tuhan yang kami sebut dengan berbagai nama dan kami sembah dengan berbagai cara, kuatkan kami dalam setiap ujian yang Engkau berikan. Mampukan kami menjalaninya dengan syukur dan sabar," begitu status akunnya.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024