"Jadi, jelaslah bahwa pilkada melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah penyelewengan aspirasi suci rakyat untuk memilih pemimpin yang diharapkannya," katanya melalui pesan singkatnya kepada Antara di Semarang, Selasa.

Apalagi, lanjut Moh. Jumhur Hidayat, pemikiran itu bukan hasil pemikiran matang kenegarawanan, melainkan sekadar tindakan penawar "kecewa" segelintir elite.

"Sungguh ironis!" kata mantan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) itu.

Jumhur yang juga deklarator nasional Aliansi Rakyat Merdeka (ARM) menegaskan, "Adalah sesat bila mengartikan bahwa dalam demokrasi perwakilan semua hal harus diputuskan melalui sistem perwakilan."

Menurut dia, lahirnya demokrasi perwakilan itu karena tidak mudahnya melaksanakan demokrasi langsung untuk mengambil setiap keputusan dalam suatu negara, terlebih negara yang penduduk dan geografisnya demikian luas.

Demokrasi langsung itu, kata Jumhur, bisa terjadi pada zaman Yunani Kuno, suatu negara kota yang sangat kecil dengan perempuan dan budak tidak boleh memilih.

"Dalam demokrasi langsung itu hal-hal menyangkut semua masalah negara diputuskan bersama oleh warga kota (negara) karena penduduknya sedikit dan wilayahnya kecil," katanya.

Sebaliknya, lanjut dia, dalam negara besar dengan penduduk yang besar tidak mungkin lagi demokrasi langsung dalam setiap pengambil keputusan, kecuali keputusan untuk memilih sesuatu yang sakral, yaitu memilih pemimpinnya dan wakil-wakilnya di parlemen.

"Dengan kata lain bila di Indonesia, rakyat langsung memilih presiden, gubernur, bupati, dan wali kota, serta semua anggota parlemen sekali dalam lima tahun," tegasnya.

Di luar itu, menurut Jumhur, semua keputusan yang jumlahnya bisa ribuan keputusan dilakukan melalui perwakilan secara musyawarah untuk mencapai mufakat sesuai dengan sila ke-4 Pancasila.

Pewarta : Kliwon
Editor : D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024