"Elevasi air Waduk Mrica turun dua meter, yakni dari ketinggian air optimal 230 meter menjadi 228 meter. Akibatnya, dari tiga turbin pembangkit listrik yang normalnya berkapasitas 180 megawatt, kini hanya dapat dioperasikan dua turbin dengan kapasitas produksi 90 megawatt," kata Manajer Teknik PT Indonesia Power UBP Mrica Encep Supratman, di Banjarnegara, Kamis.

         Encep mengatakan hal itu saat menerima kunjungan Wakil Bupati Banjarnegara Hadi Supeno di Power House PLTA Panglima Besar Soedirman, Banjarnegara.

         Bahkan, kata dia, pengoperasian dua turbin tersebut hanya dilakukan saat beban puncak pada pukul 18.00-20.00 WIB.

         Menurut dia, pengoperasian turbin pembangkit itu tergantung permintaan Unit Pengatur Beban (UPB) Area III yang berada di Ungaran, Kabupaten Semarang.

         "Jadi ,selama tidak ada permintaan, posisi kami 'stand by'. Dalam kondisi volume air waduk yang terbatas seperti ini, kami harus pandai mengatur pemanfaatan air dengan baik karena selain untuk pembangkit listrik, air waduk juga berfungsi untuk mengairi irigas persawahan seluas 8.000 hektare serta menghidupi  pembangkit listrik tenaga mikrohidro," katanya.

         Sementara itu, Manajer Humas PT Indonesia Power UBP Mrica Sambudi mengatakan bahwa kondisi tersebut diperparah dengan sedimentasi di waduk yang dalam satu tahun mencapai 4,2 juta meter kubik.

         Apabila tidak dilakukan daya upaya, kata dia, kondisi waduk dalam sembilan tahun mendatang atau pada tahun 2023 diprediksi akan rata.

         Menurut dia, hal itu disebabkan permukaan waduk yang awalnya seluas 800 hektare, kini telah berkurang 300 hektare.

         "Bila kondisi terus seperti ini, maka Waduk Mrica yang diresmikan Presiden Soeharto pada 23 Maret 1989 dan diproyeksikan dapat bekerja efektif 50 tahun, kemungkinan harus berhenti ketika PLTA ini menginjak usia 34 tahun, yaitu pada tahun 2023," jelasnya.

         Ia mengatakan bahwa salah satu penyumbang terbesar dalam proses sedimentasi, yakni erosi di hulu Daerah Aliran Sungai Serayu akibat pola budi daya tanaman pertanian dan kondisi tanah yang labil.

         Oleh karena itu, kata dia, pihaknya telah melaksanakan penghijauan di bagian hulu DAS Serayu dengan menanam berbagai jenis tanaman di antaranya "eucaliptus" dan kopi sebagai upaya menanggulangi erosi.

         Selain itu, lanjut dia, pihaknya juga melakukan "flushing" untuk membuang lumpur sedimentasi ke sungai di bawah waduk.

         "Namun upaya tersebut belum optimal karena dari 4,2 juta meter kubik, kapasitasnya (yang terbuang, red.) baru mampu 700 meter kubik per tahun. Kami sedang melakukan kajian untuk mengoptimalisasi cara tersebut," katanya.

         Terkait permasalahan tersebut, Wakil Bupati Banjarnegara Hadi Supeno mengatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Banjarnegara telah mencanangkan gerakan "Kabupaten Konservasi" sehingga harus didukung oleh semua kalangan.

         Menurut dia, Banjarnegara juga telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2013 tentang Daerah Aliran Sungai.

         "Perda ini harus diimplementasikan dalam bentuk gerakan penghijauan secara masif, terstruktur, dan sistematis di sepanjang DAS Serayu," katanya.

         Oleh karena itu, dia meminta PT Indonesia Power untuk mengoptimalkan berbagai cara agar upaya mengurangi dampak sedimentasi memberikan hasil maksimal sebab keberadaan waduk sangat besar manfaatnya bagi kehidupan.

         "Indonesia Power selaku pengelola waduk agar mengambil langkah-langkah progresif agar sedimentasi dapat dikurangi. Selain pencegahan, harus ada langkah konkret untuk pengerukan sedimentasi yang sudah mencapai 100 juta meter kubik," katanya.

Pewarta : Sumarwoto
Editor : Wisnu Adhi Nugroho
Copyright © ANTARA 2024