Hal itu pun menjadi perhatian Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari. Bahkan, Linda mengadakan konferensi pers di Gedung Menara Merdeka, Jakarta, Senin (26/5).

Terungkap, pada Pemilu Anggota DPR RI, 9 April 2014, kaum perumpuan Indonesia justru kehilangan enam kursi. Pada pemilu tahun ini tercatat 17,32 persen (97 kursi), atau menurun jika dibandingkan dengan produk Pemilu 2009 yang mencapai 18,3 persen (103 kursi).

Tidak hanya keterwakilan perempuan di DPR RI, Linda juga memperhatikan perolehan kursi di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada Pemilu 2014. Semula pada Pemilu 2009 sebanyak 38 kursi (28 persen), kemudian pada Pemilu Anggota DPD RI 2014 turun menjadi 35 kursi (26,51).

Atas hasil tersebut, peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. R. Siti Zuhro, M.A., Ph.D. memandang perlu partai-partai politik menyiapkan kader perempuan untuk menjadi wakil rakyat sejak dini agar kuota minimal 30 persen dari total anggota DPR RI terpenuhi.

"Setidaknya pada tahun 2015 partai-partai politik sudah menginisiasi kemungkinan itu sehingga waktunya cukup untuk menghadapi Pemilu 2019," kata Prof. Wiwieq--sapaan akrab R. Siti Zuhro--kepada Antara, Selasa (5/8).

Menjawab perlu-tidaknya merevisi sistem pemilu, Prof. Wiwieq mengatakan, "Undang-undang politik yang memayungi keterwakilan perempuan di parlemen relatif cukup karena UU tersebut mensyaratkan partai politik untuk melibatkan perempuan dalam kepengurusan partai, minimal 30 persen dari jumlah pengurus dan calon anggota legislatif."

Terkait dengan pernyataan Prof. Wiwieq, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun telah mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 07 Tahun 2013 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPR Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Salah satu konsideransnya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menerapkan sistem proporsional terbuka (Pasal 5).

Namun, lanjut Prof. Wiwieq yang juga alumnus Curtin University, Perth, Australia, yang menjadi masalah adalah partai politik tidak punya waktu yang relatif cukup dalam merekrut perempuan dan men-"training"-nya untuk menjadikannya kader dan caleg dalam pemilu anggota legislatif.

"Selain itu, mayoritas kaum perempuan juga kurang proaktif dan tidak mau berusaha mencari akses untuk terlibat di partai. Jadi, persoalan utamanya sebenarnya lebih pada kemauan politik partai dan inisiatif kaum perempuan sendiri," katanya.

Untuk menerobos hal itu, menurut dia, ke depan parpol perlu menggunakan jejaring yang ada, baik ke ormas, kampus, maupun asosiasi-asosiasi, komunitas, profesional untuk mendorong perempuan bergabung dalam partai.

"Hal ini tidak bisa dilakukan secara mendadak, tetapi perlu pendekatan atau upaya sejak awal," kata dosen tetap pada Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Riau itu.


Rakyatlah yang Menentukan

Dengan adanya "affirmative action" atau hukum dan kebijakan yang mensyaratkan keterwakilan perempuan minimal 30 persen, diharapkan jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR atau DPD RI pada Pemilu 2014 lebih banyak daripada produk pemilu sebelumnya. Namun, hal itu sepenuhnya berada di tangan rakyat yang notabene warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih pada Pemilu 2014.

Di tangan rakyat, sejumlah perempuan yang ikut memperebutkan kembali 560 kursi DPR RI pada Pemilu 2014 gagal ke Senayan (Gedung DPR RI). Misalnya, Nurul Arifin, M.Si. dari Partai Golkar, kemudian Dra. Eva Kusuma Sundari, M.A., M.D.E. dan Dr. Dewi Aryani, M.Si, keduanya dari PDI Perjuangan.

Dalam pemilu anggota legislatif, 9 April 2014, Dewi yang juga caleg nomor urut 2 di Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Tengah IX meraih 52.319 suara, atau kalah dengan kader PDI Perjuangan lainnya, yakni Muhammad Prakosa (calon anggota DPR RI nomor urut 1) dengan jumlah 75.657 suara dan Damayanti Wisnu Putranti nomor urut 5 dengan jumlah 67.650 suara.

Total suara PDI Perjuangan, baik yang mencoblos partai maupun caleg, di Dapil Jateng IX (Kabupaten Brebes, Tegal, dan Kabupaten Tegal) sebanyak 376.245 suara. Sebagian besar atau sebanyak 123.369 suara dari jumlah tersebut, rakyat mencoblos partainya saja.

Begitu pula di Dapil Jawa Timur VI (Kabupaten Tulungagung, Kabupaten/Kota Blitar, Kabupaten/Kota Kediri), suara khusus PDI Perjuangan lebih banyak daripada caleg peraih suara terbanyak, yakni 27,68 persen dari total 666.338 suara PDI Perjuangan atau sebanyak 184.464 suara.

Di Dapil Jatim VI ini PDI Perjuangan berhasil mengantarkan tiga kadernya ke Senayan, yakni Dr. Ir. H. Pramono Anung Wibowo, M.M. sebanyak 165.906 suara; Drs. Djarot Saiful Hidajat, M.S. sebanyak 69.053 suara; dan Ir. Budi Yuwono DIPL, S.E. sebanyak 64.807 suara.

Eva Kusuma Sundari (caleg nomor urut 3) yang berada di dapil tersebut meraih 42.704 suara, atau kalah dengan dua kader PDI Perjuangan lainnya, Arteria Dahlan, S.T., S.H. meraih 52.365 suara dan Erjik Bintoro 46.692 suara.

Beda dengan suara caleg di Dapil Jawa Barat VII (Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Purwakarta) atau tempat Nurul Arifin ikut memperebutkan kembali kursi DPR RI. Di dapil ini caleg peraih suara terbanyak Dr. H. Ade Komarudin, M.H. meraih 31 persen (167.732 suara) dari total suara Partai Golkar sebanyak 539.911 suara, sementara rakyat yang memilih partai tersebut tercatat 154.955 suara.

Dengan modal 65.792 suara, Nurul Arifin, M.Si. (caleg nomor urut 2) gagal menduduki kembali kursi DPR RI. Jumlah suaranya di bawah H. Ade Komarudin dan Drs. H. Dadang S. Muchtar (69.414 suara), keduanya caleg terpilih di Dapil Jabar VII (vide Keputusan KPU Nomor: 416/Kpts/KPU/Tahun 2014).

Sistem Perlu Diubah

Usai pesta demokrasi lima tahunan itu, mengemuka wacana perlunya merevisi sistem pemilu. Eva Kusuma Sundari, anggota Komisi III (Bidang Hukum) DPR RI periode 2009--2014, misalnya, mengusulkan sistem pemilihan umum seperti pada Pemilu 2004, yakni sistem proporsional dengan daftar calon terbuka sebagaimana diatur di dalam UU No.12/2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Di dalam UU tersebut, disebutkan bahwa penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari partai politik peserta pemilu didasarkan pada perolehan kursi parpol di suatu dapil.

Adapun ketentuannya, nama calon yang mencapai angka bilangan pembagi pemilih (BPP) ditetapkan sebagai calon terpilih. Sementara itu, nama calon yang tidak mencapai angka BPP, penetapan calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut pada daftar calon di dapil yang bersangkutan.

Usulan juga datang dari Dewi Aryani. Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan ini memandang perlu pemerintah baru merevisi sistem pemilu, yakni dengan mengombinasikan nomor urut caleg dan sistem proporsional suara terbanyak agar menaikkan persentase keterwakilan perempuan di Senayan.

"Menurut saya harus ada kombinasi dengan nomor urut calon anggota legislatif (caleg) agar partai dapat tetap menempatkan kader terbaiknya yang matang secara ideologi untuk duduk di parlemen," kata Dewi.

Yang menjadi pertanyaan adalah pada Pemilu 2009 juga menggunakan sistem proporsional terbuka atau suara terbanyak. Namun, mampu menaikkan persentase keterwakilan perempuan, yakni dari 12 persen pada Pemilu 2004 menjadi 18,3 persen.

Dewi yang juga Duta Universitas Indonesia (UI) untuk Birokrasi Bersih dan Melayani mengungkapkan bahwa suara terbanyak pada pelaksanaannya dikendalikan oleh pragmatisme dan kapitalisme. Hal ini, menurut dia, berbahaya karena kelak parlemen bisa saja dikendalikan oleh independensi pribadi-pribadi atau kelompok saja.

"Jadi," lanjut Dewi, "bukan karena kemenangan transaksional seperti yang terjadi sekarang ini akibat pertarungan suara terbanyak yang tidak dipagari norma-norma ideologi yang kuat."

Dewi yang juga anggota Komisi VII (Bidang Energi) DPR RI periode 2009--2014 menegaskan, "Saya pribadi menerapkan politik bersih, yakni 'no money politic' meski fragmatisme dalam masyarakat menjamur, sulit terbendung karena permainkan transaksional begitu masif.

Hal itu agaknya merupakan "pekerjaan rumah" atau PR bagi pemerintahan baru bersama parpol agar terciptanya sistem pemilu yang mempersempit ruang oknum caleg berbuat curang dalam pelaksanaan Pemilu 2019 sekaligus meningkatkan tingkat keterwakilan perempuan di DPR RI.

Namun, patut menjadi catatan pemerintahan yang akan dipimpin Joko Widodo dan Jusuf Kalla--pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih pada Pilpres 2014--adalah memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan sistem pemilu.

Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang Perkara Permohonan Pengujian UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD 1945 telah mengubah tata cara penetapan caleg pada Pemilu 2009 yang sebelumnya berdasarkan nomor urut (Pasal 214) menjadi suara terbanyak.

Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024