Di antara para pengarak yang puluhan seniman petani berkostum tarian rakyat, seperti Soreng, Jaran Kepang, dan Geculan Bocah, adalah Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko Lailly Prihatiningtyas.

Ia berada di antara para seniman petani Komunitas Lima Gunung yang malam itu menyuguhkan performa seni kontemporer desa bertajuk "Mandala Sunyi Borobudur" dalam rangkaian pentas "Bukan Musik Biasa" seri ke-40 tahun ketujuh di Pendapa Taman Budaya Surakarta, Kota Solo, Rabu (28/5) malam.

Sejenak waktu para pembawa sejumlah bambu berbentuk stupa Candi Borobudur yang berhiaskan seni rupa tubuh menggambarkan aneka serangga, memajang properti itu di belakang puluhan lainnya yang dengan terbuka, bersiap secara tanpa jeda mementaskan kesenian mereka.

Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto menembangkan syair berbahasa Jawa pengiring tarian Jaran Kepang dari dusunnya di kawasan Gunung Andong. Syair tembangnya mengisyaratkan kehidupan serba guyup dan bersemangat masyarakat desa.

Seorang seniman, Taufik, dengan gegap gempita membacakan lima pesan dari kisah Jataka di relief Candi Borobudur, tentang burung pipit memadamkan kebakaran hutan, dengan latar belakang lantunan darasan syair tembang doa.

Seorang penyair muda Komunitas Lima Gunung, Atika, dengan iringan tabuhan nomor lain dari musik gamelan, melambungkan puisi berjudul "Mandala Sunyi Borobudur". Puisi karyanya itu, telah diterjemahkan oleh Tyas, dirut termuda perusahaan di bawah Badan Usaha Milik Negara itu, ke dalam bahasa Inggris.

"'Mandala kini sunyi dari suci. Kini aku belajar meditasi. Meditasi suara suara baru yang lebih merdu. Desisan-desisan baru yang lebih lembut. Dan dengungan-dengunan baru yang lebih halus. Di antara mandala Mendut. Pawon, dan Borobudur. Lingkaran Lima Gunung, Merapi, Merbabu, Menoreh, Sumbing, Andong. Barangkali mandala sunyi Borobudur belum terkikis'," demikian bait terakhir puisi itu.

Sejumlah penyebutan lokal untuk beragam satwa jenis serangga yang marak masih bertebaran di kawasan Lima Gunung juga menjadi bagian dari puisi itu

Pembacaan puisi ditimpali satu babak pendek pentas wayang kontemporer dengan dalang Sih Agung Prasetyo. Ia memainkan dialog wayang karakter semut dan "undur-undur" yang menjadi bagian dari Wayang Gunung, karya Sujono dalam performa itu.

Pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut, nimbrung dengan papan tombol di keyboard untuk memainkan nomor musiknya secara spontan, ketika anak-anak menyuguhkan tarian Geculan Bocah berkolaborasi dengan Shuko Sastra Gending untuk tarian topeng hip hop gunung.

Sambil tak beranjak dari tempat bertimpuh sederet dengan Atika dan penari muda Nana Ayom, Tyas tampak memainkan kedua tangannya, menari-narikan jari jemari dan pergelangan tangannya, mengikuti tabuhan gamelan, drum, dan truntung, pengiring tarian kontemporer berbasis warok, Geculan Bocah itu.

Disusul kemudian dengan suguhan tanpa jeda, tarian tradisional Jaran Kepang (Gunung Andong) dan Soreng (Gunung Merbabu).

Saat nomor suguhan itu, para penonton diajak turut menyemarakkan pementasan performa "Mandala Sunyi Borobudur" oleh komunitas seniman petani tersebut, melalui musik kentongan yang mereka bunyikan dengan ritme bebas.

Selama lebih dari satu jam, performa oleh komunitas itu seakan menempatkan ke panggung tentang adanya kenyataan sunyi yang menjadi bagian tak lepas dari candi yang juga warisan peradaban dunia tersebut.

Kenyataan sunyi yang melingkupi candi dibangun sekitar abad ke-8, masa Dinasti Syailendra tersebut, juga dianggap sebagai suatu mandala hingga saat ini.

Pementasan "Mandala Sunyi Borobudur", bahkan semacam tabuhan mengingatkan bahwa hiruk pikuk kepariwisataan, usaha-usaha pemberdayaan masyarakat, dan kesibukan untuk upaya konservasi Candi Borobudur, tak cukup menjadi tanda sukses, gagah, dan monumental.

Karena, harus tetap dalam kesadaran spiritual dan kultural bahwa ada mandala sunyi yang patut dijangkau, sebagaimana dijalani oleh petinggi pengelola Candi Borobudur, Tyas.

Perempuan berumur 28 tahun yang gemar mendaki gunung tersebut, turut hadir secara diam-diam dalam komunitas, ikut berproses hingga penyuguhan tanpa jeda performa "Mandala Sunyi Borobudur" di pendapa besar Taman Budaya Surakarta di Kota Solo, hingga hampir tengah malam itu.

"'Silence of Borobudur at the eight century. Indeed, I never know. Wheter standing to be orchestrate one by one, or silent. Or maybe a silent king's pledge. But I learn to play with my mind and soul. The silence that I heard'," demikian bagian dari puisi Atika, "Mandala Sunyi Borobudur" yang diterjemahkan Tyas.

Syair asli untuk bagian puisi itu, "Sunyi Borobudur abad VIII. Memang tak kutahu. Entah berdiri ditata satu per satu atau sunyi. Atau mungkin sabda pandita ratu yang sunyi. Namun, aku belajar bermain dengan pikiran dan hatiku. Sunyi yang kudengar".

Sutanto yang juga budayawan Magelang menyebut performa "Mandala Sunyi Borobudur" bukan urusan menyangkut kontroversi berbagai kepentingan, seperti konservasi, kepariwisataan, dan pemberdayaan masyarakat kawasan Candi Borobudur.

Akan tetapi, menyangkut pesan bahwa ada kenyataan multiversi pengayaan dimensi Borobudur.

"Yang tentu musafirnya tak melulu turis, tapi bisa juga apa yang disebut sebagai hal yang sunyi," katanya.

"Mandala Sunyi Borobudur" yang menjadi bagian dari seluruh suguhan pementasan "Bukan Musik Biasa" itu, ditangkap Sutanto sebagai bukan lagi soal relief perkusi visual di candi ataupun urusan arkeologi dan musikus.

Malah kemungkinan, katanya, bisikan atau gemuruh di lereng-lereng air terjun dan gunung-gunung.

"Mandala bunyi bisa saja sunyi. Kepekaan kuping juga menyumbang Borobudur, mandala hanya garis-garis perjalanan getaran tak terpandang, tapi bisikan akan terus melingkari kelengkapan indera. Siapa saja sah dengan renungan masing-masing atas pusat mandala," katanya.

Dengan jalan performa "Mandala Sunyi Borobudur" malam itu, boleh jadi mereka mengirim sinyal untuk siapa saja supaya berangkat dari kerendahan hati, tidak terjebak stempel kemegahan warisan nenek moyang, dan terbelenggu hiruk pikuk kasat mata dalam menghadapi persoalan Candi Borobudur zaman ini.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024