"Mata batu, mata batu cagar budaya, mulut batu, mulut batu cagar budaya, telinga batu, telinga batu cagar budaya, lidah batu, lidah batu cagar budaya, tangan batu, tangan batu cagar budaya, kaki batu, kaki batu agar budaya, hati batu, hati-hati zaman batu, hati batu cagar budaya," begitu bunyi puisi Arie Kusuma yang dibacanya saat pembukaan pameran lukisan "Untukmu Guru" di Museum Haji Widayat dalam rangkaian Magelang Art Event 2014, Sabtu (26/4).

Pembacaan puisi itu mengiring performa gerak bertajuk "Lumbung Face Off" oleh sejumlah pegiat lain dari komunitas yang beranggotakan seniman petani kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh itu. Para pelaku performa gerak, masing-masing mengenakan topeng kayu berlatar belakang warna putih dengan berbagai sosok dan berkain serba warna putih serta hitam.

Suguhan karya "Lumbung Face Off" dalam iringan musik samba (Brazil) dan jaz dari piano petinggi komunitas Sutanto Mendut itu, beberapa hari sebelumnya melalui proses kajian sederhana di dua lokasi, yakni areal bekas Candi Lumbung di pinggir Kali Apu yang aliran airnya berhulu di Gunung Merapi dan tempat relokasi candi Hindu tersebut di tengah Dusun Tlatar, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.

Relokasi Candi Lumbung dengan memperhatikan berbagai perhitungan teknis konservasi atas cagar budaya dilakukan oleh Pemerintah mulai akhir 2011 hingga awal 2012 agar candi yang dibangun pada tahun 796 Saka atau 864 Masehi itu tidak runtuh karena ancaman gempuran banjir lahar susulan dari Gunung Merapi melalui sungai tersebut.

"Yang direlokasi batuan candinya, itu penting. Akan tetapi, persoalannya tempat asalnya sekarang tumbuh semak belukar dan tebing di atasnya longsor. Padahal, pada masa lalu tentu nenek moyang membangun candi, memperhatikan dengan sungguh-sungguh masalah titik lokasi. Lokasi itu bernilai penting, menjadi 'lumbung' tetap harus dirawat," kata pemimpin Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Riyadi.

Ia menyebut Candi Lumbung yang kehilangan tempat asalnya karena ancaman banjir lahar hujan dari Gunung Merapi sebagai realitas.

Hal itu pula, seakan menggambarkan realitas banyak orang untuk mengutamakan perhatian terhadap wadak melalui terjangan kegemaran mereka tampil dalam narsisme dengan berbagai komentar tertulis tidak bermutu di jejaring sosial.

Contoh paling baru adalah selama pesta demokrasi pemilu anggota legislatif lalu, terlihat marak tampilan para kandidat anggota parlemen di ruang publik, media massa, panggung kampanye, dan jejaring sosial yang seolah-olah mereka paling layak duduk di kursi dewan yang terhormat.

Kebanyakan orang seakan digiring oleh perkembangan teknologi informasi untuk tampil dalam narsisme, baik perwajahan maupun isi kalimat-kalimat dangkal yang tertulis di jejaring sosial, seolah mereka tanpa menyadari kredibilitas, akuntabilitas, dan rekam jejaknya.

"Meski sebagian lainnya memang kredibel, sebagian besar lainnya seolah-olah tampil diri menjadi yang paling hebat, sukses, suci, dan intelek, ataupun paling lucu," katanya.

"'Turn off ilustrasi download di perjalanan. Jangan ganggu tongeret menjelang kemarau. Jalan meditasi kakimu, bukan kegilaan pengakuan UNESCO. Toh foto kakimu sudah kau sebarkan lewat google. Bahkan, foto lebar alaimu sudah tersebar di instagram. Kota sedang sungguh mencari menemukan, taman pusaka budaya bukan semu dan pongah'," begitu bagian dari puisi "Pusaka Budaya Semu" karya Sutanto Mendut.

Puisi sebagai renungan "reruntuhan" Candi Lumbung itu dibacakan Nanik Rohmiyati, pemilik warung kecil penyedia makan dan sembako di Dusun Wonolelo, Bandongan, Kabupaten Magelang, di kawasan Gunung Sumbing, dalam performa di pendopo joglo kompleks Museum Haji Widayat di Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, saat pembukaan pameran lukisan oleh kolektor Oei Hong Djien.

Bangunan yang kemudian dinamai Candi Lumbung, kata Riyadi yang juga pemimpin Padepokan Warga Budaya Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, di kawasan barat Gunung Merbabu itu, kemungkinan di tempat asalnya menggambarkan tempat penyimpanan sesuatu yang berharga, sebagaimana lumbung menjadi tempat menyimpan padi oleh masyarakat desa pada masa lampau.

Susunan batu-batu cagar budaya menjadi Candi Lumbung masih tampak utuh secara wadak di tempat relokasi sekitar 500 meter dari lokasi asalnya di tepi Kali Apu.

Akan tetapi, katanya, "lumbung" candi adalah tempat asalnya itu sedang merana karena terlihat tidak terurus lagi. Hanya papan nama bertulis "Benda Cagar Budaya Candi Lumbung Sengi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah" masih tertancap dengan sedikit terjangan karat.

"Itulah bagian dari gambaran narsisme bangsa ini," katanya.

Melalui pembacaan puisinya pada pembukaan pameran itu, Atika yang siswa kelas II SMA Negeri 1 Kota Mungkid dan juga pegiat komunitas tersebut, seakan menghentak sebagian mereka yang tanpa sadar budaya berjiwa, gemar tampil narsisme di ruang publik, .

"Lumbung batu habis sudah. Dan lahar membawa batu tanpa ragu. Melihat zaman batu rakus akan batu. Lalu, apa artinya cagar budaya? Menyesal atau tepuk tangan. Kami hanya tertunduk pilu. Siapa yang akan mengembalikan. Keindahan dan kemolekan. Candi Lumbung dalam dekapan zaman. Namun, zaman terus berlalu. Bisu," demikian bagian dari puisi berjudul "Candi Lumbung" itu.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024