"Kan masalah yang timbul di Merauke itu sebagian besar karena masalah hak ulayat, keberpihakan dan kearifan lokal lainnya tidak diperhatikan oleh pemerintah dan pihak ketiga," kata Yorrys kepada Antara di Jayapura, Papua, Selasa.
Dia menambahkan Jika MIFEE mau jalan dan sukses maka masalah hak ulayat harus diselesaikan dulu dengan baik.
MIFEE yang digaungkan pemerintah beberapa tahun belakangan ini, kata Yorrys mengalami penolakan masyarakat adat karena mereka merasa akan termajinalkan.
"Coba bayangkan program MIFEE memakan lahan seluas 1,6 juta hektare yang akan dibagi beberapa bagian untuk pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan. Bagaimana dengan nasib masyarakat adat, apakah mereka juga akan dilibatkan, hak mereka sebagai pemilik ulayat bagaimana itu harus dipikirkan," katanya.
Soal MIFEE yang nantinya sebagai pusat penghasil pangan nasional di Indonesia timur sebenarnya, kata Yorrys, bukan hal baru.
"Di zaman Belanda, pada 1800-an, Merauke telah dipersiapkan untuk sentra produksi pertanian karena memiliki lahan yang datar, tanah yang subur dan cocok untuk pengembangan itu. Petani dari Jawa saat itu sudah dikirim kesana," katanya.
Menurut dia hal ini juga sudah dipantau dan dilaksanakan semasa Orde Baru dengan menjadikan Merauke sebagai lumbung padi.
Bahkan, saat swasembada beras, Bulog saja membeli gabah/padi petani sebanyak 100 ribu ton/tahun.
"Ini menunjukkan bahwa Merauke memang tempat yang layak untuk penyangga produksi pertanian dan lainnya. Luasnya saja hampir sama dengan Jawa Tengah atau Jawa Barat," katanya.
Hanya saja, kata wakil rakyat dari Partai Golkar itu, masalah yang belum terselesaikan hingga saat ini adalah tanah atau lahan transmigran yang telah ditempati puluhan tahun lamanya dan kini ditambah dengan program MIFEE.
"Masyarakat adat pasti berpikir, masalah lahan transmigran yang menurut mereka belum dilunasi pemerintah, sekarang ada lagi program baru, ini kan jadi trauma," kata dia.
Seharusnya kata dia pemerintah menyelesaikan masalah lahan transmigran dulu, lalu bersama pihak ketiga yang akan mengelola MIFEE menyelesaikan lahan 1,6 juta hektare itu dengan bijak.
Persoalan lainnya adalah para petani saat ini adalah generasi pertama yang ikut transmigran, generasi kedua sudah tidak mau menggarap sawah.
"Sekarang bagaimana pemerintah memikirkan mencetak petani berdasi, memoderenkan cara bertani, menggunakan traktor untuk bajak sawah, mesin pemanen, mesin penggilingan gabah dan lainnya. Pokoknya moderenisasi pertanian," katanya.
Dia menambahkan hal lainnya adalah soal ketersediaan pupuk, BBM bersubsidi dan harga gabah atau padi yang memadai.
"Petani di Merauke juga mengeluhkan soal seringnya keterlambatan pasokan pupuk, solar dan bensin yang agak sulit didapatkan. Harga gabah yang tidak sesuai dengan ongkos produksi, ini juga harus dipikirkan," katanya.