Menjamu Belanda, tim tuan rumah Indonesia takluk 0-3. Arsenal melesakkan tujuh gol tanpa balas ke gawang Kurnia Meiga. Menjamu Liverpool, kekalahan Indonesia agak pantas, 0-2.
Aksi bulan-bulanan kembali terjadi ketika tim asuhan Rahmad Darmawan hanya mampu tampil layak dalam 15 menit pertama saat meladeni Chelsea.
Selebihnya jutaan pemirsa menyaksikan Kurnia Meiga berjibaku menyelamatkan gawangnya. Itu pun masih kebobolan delapan gol. Jumlah gol bisa bertambah jika tendangan Wallace tak membentur tiang.
Gol tunggal hasil usaha Greg Nwokolo tidak cukup untuk menyebut pertandingan malam itu sebuah kepantasan dalam sebuah duel yang ditonton puluhan juta pemirsa melalui layar kaca.
Nyaris tak ada yang istimewa dari tim tuan rumah. Jadi memang pantas kalau tuan rumah diluluhlantakkan oleh Chelsea yang malam itu turun tanpa Peter Cech dan Torres.
"Indonesia biasa-biasa saja. Tak ada potensi spesial," kata Pelatih Chelsea Jorge Morinho usai laga. Mou memang tak suka basa-basi karena itu komentarnya terasa asam.
Bagi penggemar bola di Indonesia, kalimat basi "Hasil pertandingan ini sebagai pelajaran penting bagi timnas" yang selalu diucapkan oleh pelatih atau petinggi PSSI setelah timnas kalah telak tak lebih dari ritual tak berpahala. Tak ada perbaikan berarti pada esok hari. Juga tak ada rasa malu yang membulatkan tekad bersama untuk berbenah lebih "genah".
Kalau memang belum layak berduel dengan tim sekelas Arsenal dan Chelsea, jangan dipaksakan meskipun kedua tim Liga Primer Inggris itu punya fans jutaan orang di Tanah Air. Semuanya memang demi memenuhi bisnis, begitu pun Liverpool, Arsenal, dan Chelsea. Fans setia mereka di Asia terlalu besar untuk dilewatkan.
Akan tetapi di balik bisnis besar itu ada yang patut direnungkan, terutama oleh petinggi PSSI. Kekalahan beruntun secara telak oleh kesebelasan yang menyandang julukan Tim Nasional, Dream Team, atau All Stars bukankah malah melukai mental para pemain?
Pelatih Rahmad Darmawan pun tidak menyangka akan mengalami mimpi buruk ketika pemainnya digebuk 1-8 oleh Chelsea di Jakarta
Mungkin hanya individu atau kelompok pengidap "inferior complex" akut yang merasa tidak malu setelah mengalami kekalahan telak secara beruntun di kandang sendiri. Bila masih menyandang sabuk kuning, hindari duel dengan pemegang Dan VII.
Kalau memang merasa belum sepadan dengan klub papan atas Inggris, sebaiknya merangkak dari Asia Tenggara. Bukankah dalam Piala AFF Suzuki 2010 penampilan Andik Vermansyah, Gonzales, dkk bisa membuat dada sebagian besar rakyat Indonesia membusung meski di final kalah dari Malaysia.
Cukup sudah deret kursi VIP di GBK digunakan sebagai media mejeng bakal capres dan cawapres. Fans Liverpool, Arsenal, dan Chelsea berambut hitam yang memadati GBK pasti juga sedih menyaksikan tim kesayangannya melumat Timnas Indonesia.
Fans tim asing dari Indonesia itu datang ke GBK sebenarnya bukan untuk menyaksikan pembantaian timnas, melainkan lebih untuk melihat langsung pemain pujaannya di Jakarta.
Jadi, jangan paksa pemain timnas berduel dengan lawan yang sebenarnya memang tiga atau empat kelas di atasnya. Kekalahan telak secara beruntun boleh jadi mengendapkan ingatan para pemain sebagai pecundang.
Jangan korbankan pemain demi ambisi bisnis dan prestise sesaat. ***