Dari pantauan di Desa Kalikudi, Kecamatan Adipala, Cilacap, sebelum menggelar ritual jalan kaki, para penganut Kejawen yang mengenakan pakaian adat Jawa berkumpul di "pasamuan" (tempat pertemuan penganut Kejawen, red.), baik di "pasamuan lor" maupun "pasamuan kidul".

Selanjutnya, mereka berjalan tanpa menggunakan alas kaki menuju makam Bonokeling di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Desa Kalikudi dengan melalui sejumlah ruas jalan.

Selain mengenakan pakaian adat, mereka juga membawa berbagai perbekalan seperti beras dan kelapa yang dipanggul menggunakan pikulan oleh kaum laki-laki maupun digendong oleh kaum perempuan.

Sepanjang perjalanan, mereka melakukan tapa bisu atau dilarang berbicara.

Sesekali mereka beristirahat di sejumlah persimpangan jalan guna menunggu rombongan dari desa lain seperti Doplang, Adiraja, Adireja Wetan, Adireja Kulon (Kecamatan Adipala) serta sejumlah desa di Kecamatan Kroya dan Maos.

Memasuki Desa Pesanggrahan, Kecamatan Kesugihan, Cilacap, jumlah peserta ritual jalan kaki semakin banyak karena mereka bergabung dengan penganut Kejawen lainnya.

Salah seorang penganut Kejawen, Karya (70) mengatakan bahwa ritual jalan kaki ini rutin digelar sehari menjelang Jumat terakhir di bulan Ruwah (kalender Jawa, red.).

"Besok atau Jumat (5/7), mereka menggelar ritual 'unggahan' atau 'nyadran' di Bale Agung, kompleks makam Bonokeling. Biasanya, saya ikut ritual jalan kaki, namun sekarang kesehatan saya sudah tidak memungkinkan lagi untuk berjalan jauh," katanya.

Menurut dia, ritual "unggahan" ini biasa digelar menjelang bulan Pasa (kalender Jawa, red.) atau Ramadan (kalender Hijriah, red.).


Pewarta : Sumarwoto
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024