"Apalagi 'green vehicle' ini menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, atau lebih mengutamakan penggunaan bahan bakar alternatif," katanya ketika menjawab pertanyaan ANTARA dari Semarang, Senin, seputar "outlook" sektor energi pada tahun depan.

Di satu sisi, kata anggota Fraksi PDI Perjuangan itu, secara simultan perlu dikembangkan sumber bahan bakar alternatif sehingga rakyat punya pilihan.

Namun, katanya, di sisi lain produktivitas kendaraan berbahan bakar minyak harus mulai dikurangi.

Jika terus dibiarkan, menurut Dewi, produsen kendaraan yang diuntungkan. Akan tetapi, dampaknya pemerintah yang menanggung beban volume bahan bakar minyak bersubsidi, dan pada akhirnya rakyat yang dirugikan karena berbagai kebijakan pembatasan dan kelangkaan BBM.

Dewi menilai kebijakan komprehensif masih minim, padahal energi makin kritis sumber dayanya. Bahkan, produktivitas minyak dan gas yang mengalami penurunan yang relatif cukup signifikan.

"Sektor minyak dan gas mengalami ketimpangan kebijakan karena masih belum stabilnya lembaga atau badan baru pengganti BP Migas," katanya.

Hal lain yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah pada 2013, kata Dewi, adalah kepercayaan dan keyakinan investor menurun karena kepastian hukum di sektor itu menjadi tidak menentu.

"Berbagai undang-undang sektor energi sedang menjadi sorotan dan beberapa di antaranya dalam proses gugatan ke Mahkamah Konstitusi," katanya.


Sebatas Rencana
Selain itu, kata Dewi, rencana usaha dan pemenuhan sumber bahan bakar untuk pembangkit listrik berupa gas masih sebatas rencana karena realisasinya masih terganjal lambannya pemerintah mengimplentasikan persiapan infrastruktur gas.

Ia memprediksi BBM akan mengalami pembengkakan konsumsi karena kebijakan sektor transportasi belum menjadi "follower" kebijakan energi.

"Harusnya transportasi umum menjadi fokus utama pembenahan sektor publik," kata Duta Universitas Indonesia untuk Reformasi Birokrasi Indonesia itu.

Di berbagai negara, kata dia, sudah menempatkan energi sebagai "leading sector" walau sumber daya energinya tidak sevariatif di Indonesia.

Sebaliknya, Indonesia yang memiliki berbagai varian sumber energi fosil dan terbarukan, tidak melakukan penataan yang semestinya.

Dewi menilai Dewan Energi Nasional (DEN) yang sudah berdiri tiga tahun hingga saat ini tidak menghasilkan apa-apa sehingga payung berbagai kebijakan energi belum kukuh, dan belum mampu menjadi penopang berbagai masalah keenergian negeri ini.

Dewi juga mengkritisi masalah hilir masih seputar distribusi dan pengawasan para penyalur BBM bersubsidi yang masih jadi fokus.

"Pemerintah belum punya sistem dan mekanisme yang bisa dikontrol secara 'real time' karena pemanfaat teknologi informasi belum maksimal dalam pendistribusian dan pengawasan BBM subsidi secara lebih komprehensif," katanya.

Dengan pemanfaatan TI secara maksimal, dia berharap penyaluran bisa lebih tepat sasaran, kebocoran-kebocoran, dan berbagai praktik mafia minyak dapat diantisipasi dan kebutuhan masyarakat bisa secara "sustainable" (berkelanjutan) dilayani oleh Pemerintah.

Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024