"Akhirnya, saya bisa mewujudkan impian 'angon putu'. Lega rasanya 'angon putu' membuat cucu dan cicit menjadi semakin dekat dan akrab," kata Sukarto saat menunggu cucu dan cicitnya di pojok Alun-Alun Temanggung.

Pasangan suami istri itu warga Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung.

Tradisi "angon putu" saat ini merupakan kebiasaan yang sudah langka. Biasanya tradisi itu dilakukan baik di pasar maupun tempat keramaian. Para cucu dan cicit bisa mengambil barang sesukanya dan akan dibayari oleh kakek neneknya.

"Saya sudah tidak kuat mengantar cucu, biarlah mereka membeli jajan sendiri, saya tunggu di sini saja," kata Sukarto ditemani istrinya.

Ia mengatakan, dari pernikahannya pada 1948 telah dikaruniai delapan anak, 21 cucu, dan 13 cicit. Anaknya mayoritas tinggal di sekitar dusun, sedangkan cucu dan cicit telah menyebar ke berbagai daerah, bahkan ada yang di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya.

Ia mengatakan, ada lima cucunya tidak bisa ikut tradisi tersebut karena mengikuti ujian.

Pasangan kakek dan nenek tersebut membawa anak cucunya ke Alun-Alun Temanggung dengan menumpang 12 mobil dan dikawal polisi.

Rombongan pelaku tradisi "angon putu" tersebut membuat alun-alun setempat cukup ramai. Pedagang dan usaha jasa persewaan permainan anak kerepotan untuk memenuhi permintaan mereka.
"Biarkan sampai puas mereka bermain, nanti pulang dan sampai di rumah saat waktu wayang kulit dimulai," kata Misyah.

Ia mengatakan, tradisi "angon putu" akan diakhiri dengan pertunjukkan wayang kulit selama dua malam dengan dalang Ki Sabar Hadicarito berasal dari Wonosari.

Pewarta : Heru Suyitno
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024