Tabuhan gamelan dari panggung berbentuk instalasi kapal dari bambu dan tatanan jerami di halaman rumah warga Gunung Merbabu Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, mengiring lantunan kidung tiga bait itu.
Kidung itu intinya tentang doa untuk keselamatan umat manusia, terlebih mereka yang keseharian bergulat dengan alam pertanian di kawasan lima gunung setempat (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh).
"Kidam buana kidam, kidam semesta kidam, semoga isi dunia, terhindar dari bencana. Bergerak ke selatan, jauhkan dari godaan, bergerak ke utara, jauhkan dari bahaya. Bergeraklah ke timur, semoga mendapat masyur, bergeraklah ke barat, semoga mendapat rahmat," begitu syair kidung itu yang dibawakan saat puncak Festival Lima Gunung XI/2012 di Gunung Merbabu, dusun itu.
Lantunan kidung itu membuka pementasan sendratari berjudul "Sekar Ngeksigondo" oleh grup seniman petani yang juga dipimpinnya, Padepokan "Andong Jinawi" Gunung Andong, Dusun Mantran, Desa Mantran Wetan, Kecamatan Ngablak.
Dia pula dengan berbalut kain serba warna hitam, memimpin prosesi doa dan ritual dalam rangkaian arak-arakan para seniman petani komunitas itu melewati jalan-jalan utama bertata batu di dusun berpenduduk sekitar 600 jiwa, setelah zuhur Minggu (15/7).
Tangan kirinya memegang cobek berisi air dan bunga, sedangkan tangan kanannya memegang beberapa helai tanaman padi yang telah menguning. Air itu dipercikkan menggunakan tanaman padi kepada semua orang yang mengelilingi halaman tanah, tempat pementasan kesenian pada festival tersebut. Tabuhan alat musik mengiring prosesi itu.
Percikan air juga kepada dua anak pemimpin Padepokan Wargo Budoyo Gejayan Riyadi, masing-masing Febri dan Agus yang menaiki properti tandu berbentuk menjangan, dikirab pada puncak pementasan kesenian, saat festival tersebut.
Seorang lainnya petinggi Komunitas Lima Gunung yang juga pemimpin Sanggar Wonoseni Bandongan, Dusun Wonolelo, Kecamatan Bandongan Pangadi yang juga membalut badannya dengan kain serba warna hitam dan memegang tanaman tebu, menyertai ritual terhadap dua anak yang dilakukan Supadi.
Dua anak itu, pada Sabtu (14/7) menjalani tradisi khitanan, sehingga arak-arakan para seniman petani Lima Gunung yang tampak meriah dengan ditonton warga setempat, desa tetangga, dan para tamu luar daerah setempat pada festival tahunan secara mandiri itupun dinamai "Khitanan Gunung".
Supadi memegang secara bergantian kepala Febri dan Agus. Ia dengan mulutnya meniup dahi dua anak itu masing-masing tiga kali, sebagai simbol semburan rahmat untuk mereka sebagai generasi bangsa, yang menapaki perjuangan menuju kehidupan lebih baik pada masa mendatang.
Para seniman petani dengan pakaian kesenian masing-masing berdiri mengelilingi halaman sebagai panggung pementasan tersebut.
Seorang lainnya petinggi Komunitas Lima Gunung yang juga pemimpin Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" di lereng Gunung Merapi Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun Sitras Anjilin dengan mengenakan surjan hijau motif lurik, melantukan dua tembang berbahasa Jawa, masing-masing langgam Pangkur dan Asmarandana yang intinya juga tentang doa keselamatan.
"'Singgah-singgah kala singgah. Pan suminggah durga kala sumingkir. Sing asirah sing asuku. Sing tan kasat netra, sing atenggah, sing awulu, sing abau. Kabeh padha sumingkira, balia ing papaneki. Aja nggodha lan ngrencana, apaningsun ywo sun sejatining urip. Dumadiku saka gunung. Neng ning ing cipta, singgah sana tawang tawang prajaku. Sinebut pura kencana, bebetenge rajekwesi'," demikian syair kidung berlanggam Pangkur itu.
Sitras menjelaskan bahwa kidung itu sebagai ungkapan doa tolak balak, agar masyarakat termasuk petani mendapatkan keselamatan dan terbebas dari berbagai rintangan serta marabahaya.
Kidung Asmarandana yang juga dilantunkan Sitras untuk doa memulai puncak festival itu intinya sebutan kepada kekuasan Tuhan atas manusia dengan alam semesta.
"'Niat ingsun amiwiti, manebut maknaning sukma. Kang murah ing donya mangke, ingkang asih ing akhirat. Pinuji tan kena pegat, angganjar awelas ayu. Ngapuro wong ingkang dosa," begitu syair kidung tersebut.
Berbagai kesenian tradisional dan kontemporer gunung pun kemudian dipentaskan secara bergiliran oleh kelompok-kelompok seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung itu, setelah kidung doa itu diunggah.
Tampak hadir pada kesempatan itu, antara lain pemimpin tertinggi komunitas itu Sutanto Mendut, pegiat lembaga swadaya masyarakat Konsorsium Rakyat Miskin Kota (Jakarta) Wardah Hafidz, para pegiat seni dan budaya berasal dari Magelang serta luar daerah itu.
Berbagai kesenian itu antara lain tarian "Soreng Kemunafikan" dan "Geculan Bocah" (Padepokan Wargo Budoyo Gejayan), "Grasak" (Komunitas Lumaras Budoyo Petung), sendratari "Sekar Ngeksigondo (Padepokan Andong Jinawi), "Limo Werno" (Sanggar Wonoseni Bandongan), dan "Kukilo Gunung" (Sanggar Saujana Keron).
Pada pagi hari juga dipentaskan sejumlah tarian seperti "Gegala", "Pangpung", "Cublak-Cublak Suweng" (Sekolah Mendut), "Topeng Ireng" (Dusun Bojong), "Kuda Lumping" (Dusun Duren Sawit), dan "Topeng Ireng Satria Rimba" (Dusun Gejayan).
Malam harinya, dipentaskan tarian "Gupolo Gunung" dan "Kipas Mego" (Padepokan Wargo Budoyo Gejayan), "Truntung" (Sanggar Warangan Merbabu), "Topeng Saujana" (Sanggar Saujana Keron), dan "Lengger Sumbing" (Sanggar Cahyo Budoyo Sumbing).
Festival Lima Gunung XI/2012 digelar oleh Komunitas Lima Gunung dua kali, di dua lokasi yakni kawasan Gunung Merbabu Dusun Gejayan pada 4-15 Juli dan Gunung Sumbing, Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran pada 30 Juni-1 Juli.
Supadi mengatakan, kehidupan manusia tak lepas dari jalan berdoa dan bertafakur.
"Dalam bekerja, berduka, dalam keadaan apapun, dan dalam suasana bergembira seperti melalui festival kami ini pun, doa juga dikirimkan dengan cara kami. Berdoa menjadi jalan meraih tenteram dan damai, doa membangun jalan harapan hidup yang selamat," katanya.
Apalagi masyarakat petani gunung setempat yang hidup banyak bergantung kepada alam, katanya, tentu unggahan doa tak pernah terlepas dari denyut nadi kehidupan sehari-hari mereka.
Maka dalam festival mereka pun, lantunan doa-doa itu juga berkelebat.