Mungkin seluruh warga dusun setempat menjadi terpingkal-pingkal ketika mendengar Sumin (30), warga setempat itu mengetes pelantang untuk pentas tarian tradisional "Topeng Ireng" dengan kalimat berbunyi, "Tes... tes... dicoba....padi padi ketela, 'sedoyo kemawon sami numpak bandhosa' (semua saja naik keranda, red.)".

Malam itu, adalah dua malam Pascapilkades Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Satu di antara dua calon kades setempat berdomisili di Dusun Gejayan yang tentunya mendapat dukungan kuat dari warga dusun itu, ternyata kalah dalam pemilihan. Calon mereka yang kalah dalam pilkades itu menggunakan tanda gambar padi, sedangkan lawannya dari dusun tetangga dengan gambar ketela.

Kesedihan tentang calon kadesnya yang kalah agaknya menjadi hal yang lumrah di kalangan mereka. Seakan mereka telah begitu saja ikhlas jagonya tidak jadi pemimpin formal desa mereka untuk periode mendatang.

Akan tetapi, pembicaraan seru yang tentunya bercampur aduk dengan gelak tawa di antara mereka, khususnya para laki-laki, justru menyangkut cerita-cerita taruhan yang menggempur hingar bingar suasana pilkades itu.

Hampir tidak populer kalimat "berjudi" dalam pilkades itu di masyarakat setempat, tetapi kata-kata yang meluncur deras terdengar secara enteng di antara mereka adalah "totohan" (bertaruh).

Kisah bertaruh memanfaatkan momentum pilkades yang meluncur di antara mereka, malam hingga dini hari tersebut, baik berupa uang yang angkanya mencapai puluhan juta rupiah maupun berbagai barang rumah tangga seperti sepeda motor, televisi, parabola, pemutar "compact disk". Bahkan, "totohan" pupuk kandangpun tak ketinggalan menyeruak menjadi bahan gelak tawa mereka.

Beberapa lelaki juga mereka ceritakan masih belum berani pulang ke rumahnya masing-masing, karena takut kena damprat istrinya yang diperkirakan marah karena kehilangan sebagian kecil barang rumah tangganya, karena untuk taruhan.

Satu kisah lainnya yang membuat mereka juga melepas tawa karena dianggap lucu adalah seorang yang urung gantung diri karena tak segera ketahuan tetangganya kalau-kalau dia mati mengenaskan dimakan burung gagak.

"'Nek nggantung malah njor dipangan manuk gagak piye?' (Kalau mati gantung diri tetapi tidak segera ketahuan, malah dimakan burung gagak bagaimana? red.)," kata seorang warga setempat Singgih ketika menceritakan pengalaman seorang tetangganya yang kalah taruhan dalam pilkades itu.

Pengharapan
Kisah mereka secara ringan tentang tanaman seperti cengkih, tembakau, dan aneka sayuran yang akan dipanen menjadi pengharapan, bahwa kehidupan sehari-hari ke depan bukan hal yang mengkhawatirkan pascakekalahan pilkades.

Seakan alam gunungnya menyertai penghidupan mereka yang umumnya menjadi petani sayuran di kawasan itu.

"Daripada terbenam dalam kesedihan kalah pilkades, spontan tadi malam diputuskan warga di sini untuk mementaskan 'Topeng Ireng' dari sini dan Dusun Babadan," kata pemimpin Padepokan Wargo Budoyo Gejayan, Riyadi.

Riyadi yang kades setempat, pada 8 Agustus 2012 akan melepaskan jabatan itu yang telah disandangkan dengan gaya kepemimpinan kearifan lokalnya selama dua periode terakhir.

Ia juga salah satu petinggi seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh). Isterinya, Slamet Rahayu, calon kades yang kalah dalam pemilihan Minggu (8/7).

Malam itu pun, dalam sergapan hawa dingin Gunung Merbabu, sekitar 600 warga Dusun Gejayan dan beberapa dusun lain di sekitarnya berkumpul di padepokan tersebut untuk menikmati dan menghibur diri melalui sajian nomor-nomor tarian tradisional "Topeng Ireng" beriringkan dengan riang tabuhan gamelan dan tembang-tembang berbahasa Jawa.

Ketua Komunitas Lima Gunung yang juga pemimpin seniman petani Padepokan "Andong Jinawi" Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, di kawasan Gunung Andong, Supadi Haryono yang hadir pada kesempatan itu, juga berpidato antara lain mengumumkan tentang agenda Festival Lima Gunung XI/2012 di Dusun Gejayan, Gunung Merbabu itu.

Festival tersebut dikemas seniman petani komunitas itu sebagai tradisi tahunan secara mandiri atau tanpa sponsor.

"Malam ini kita bergembira menyaksikan kawan-kawan di sini pentas 'Topeng Ireng' setelah pilkades. Pentas ini di luar agenda fetival yang telah tersusun. Kita tetap rukun menjaga desa. Malam ini juga ada acara 'Ritus Tlompak'," kata Supadi.

Tlompak adalah nama mata air di antara dua tebing setinggi sekitar 30 meter di antara pepohonan besar di tepi Dusun Gejayan. Performa "Ritus Tlompak" yang memang dikemas malam itu tanpa penonton, dilakukan sejumlah pegiat Komunitas Lima Gunung yakni Pangadi, Endah Pertiwi, Wisnu Putranto, Supadi Haryono, Sutanto Mendut, dan Irul mulai pukul 22.00-24.00 WIB.

Usulan Dusun Gejayan sebagai satu lokasi festival disampaikan Riyadi dalam suatu rapat para petinggi komunitas tersebut beberapa waktu lalu karena berbagai keinginan masyarakat setempat dan dirinya.

Festival Lima Gunung XI/2012 disepakati di dua lokasi yakni di Gunung Sumbing, Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang (30 Juni-1 Juli) dan Gunung Merbabu, Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis (4-15 Juli 2012).

Lazimnya festival diselenggarakan setahun sekali, namun Komunitas Lima Gunung pada 2012 menerobos kelaziman itu dengan menggelar dua kali di dua lokasi tersebut.

Sepanjang tepi kanan dan kiri jalan utama bertata batu Dusun Gejayan, sejak beberapa minggu terakhir telah berhiaskan instalasi puluhan penjor dengan kemasan gantungan aneka bentuk dari rajutan jerami, hasil gotong royong masyarakat di tengah mereka menghadapi pilkades.

Di halaman rumah seorang warga setempat juga telah berdiri megah panggung terbuat dari bambu dan berbalut rangkaian jerami membentuk kapal dengan ukuran panjang sekitar 10 meter dan lebar empat meter.

Di bagian belakang panggung bebentuk kapal tersebut tertancap puluhan batang bambu. Lima gunungan wayang berbagai ukuran terbuat dari anyaman jerami turut menghiasi latar belakang instalasi kapal tersebut. Lima gunungan wayang itu rupanya simbol Komunitas Lima Gunung.

Tempat itu akan menjadi pusat pementasan berbagai kesenian tradisional, kontemporer, dan kolaborasi seniman petani Komunitas Lima Gunung, saat puncak festival pada Minggu (15/7).

Beberapa kelompok kesenian dari luar daerah itu termasuk sejumlah mahasiswa perguruan tinggi seni, juga telah mengonfirmasi kepada panitia terkait keikutsertaan mereka pentas pada puncak festival itu, sedangkan penulis Bre Redana (Jakarta) akan meluncurkan novel terbarunya dalam rangkaian festival seniman petani tersebut.

Beberapa agenda lainnya dalam festival seniman petani di Gunung Merbabu terkait dengan kepentingan masyarakat Gejayan antara lain tradisi "Nyadran" menjelang Bulan Puasa dan arak-arak "Khitanan Gunung". Momentum itu seakan menjadi pencatatan sejarah penting atas kehidupan pribadi Riyadi saat lengser dari jabatan sebagai kades setempat.

"Anak saya juga akan supitan, saya juga merasa 'mongkog' (bangga, red.) sebagai kades, mengakhiri jabatan dengan festival ini, dan akan terus menjalani hidup berkesenian rakyat bersama Komunitas Lima Gunung," katanya.

Sejumlah orang telah menyatakan heran kepada Riyadi atas campur aduk kesibukan peristiwa riil dusun setempat selama beberapa waktu terakhir, yang dikelolanya secara rileks dengan mengandalkan semangat kekeluargaan masyarakat setempat dan Komunitas Lima Gunung seperti agenda menyukseskan pilkades, Festival Lima Gunung, tradisi "Nyadran", dan hajatan supitan salah satu anaknya itu.

Sebagai suami calon kades, tentunya Riyadi bersama istrinya juga berhitung secara cermat atas perkembangan peta politik desa dalam pemilihan itu, hari per hari hingga detik per detik. Sebagai hal yang lumrah baginya menghadapi satu kenyataan atas pilkades yakni menang atau kalah. Istrinya didaku Riyadi maju pilkades karena diminta masyarakat setempat.

Kalau toh realitas istrinya kalah dalam pemilihan itu, sudah bisa dipastikan Riyadi legawa dengan menularkan sikapnya itu secara arif kepada masyarakat setempat, termasuk melalui wujud kegembiraan berfestival bersama seniman petani Komunitas Lima Gunung yang puncaknya tinggal di depan mata, di dusunnya.

"Ada beberapa orang bilang ke saya, 'kok tempuh-tempuh e' (bisa-bisanya, red.). Saya jawab dengan percaya diri, memang saya bisa menjalani ini bersama kawan-kawan komunitas. Ini catatan sejarah hidup saya, ini kegembiraan saya dan masyarakat petani Gejayan sebagai lokasi festival. Karena kami memang bisa melakukannya dengan gembira," kata Riyadi.

Dan kali ini, seniman petani Komunitas Lima Gunung pun seakan ringan hati bahwa festival tahunan mereka itu "ditumpangi" secara arif dan cerdas oleh sejumlah kepentingan satu kelompok anggotanya di Gunung Merbabu tersebut.

"Ikhlas, yang penting itu petani tetap guyup rukun dan gembira," kata Ketua Komunitas Lima Gunung, Supadi Haryono.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : M Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025