Sejumlah perempuan lainnya yang sesama penari tarian kontemporer Gunung Merbabu "Kipas Mego" pun seakan "mengiyakan" pernyataan Suwar itu, saat sarasehan bertema perempuan gunung dengan pembicara mahasiswi program doktor antropologi School of Oriental and African Studies University of London, Safitri Widagdo dan alumni program pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Eva Pitaloka.
Nara sumber lainnya adalah penulis fiksi dan fotografer yang juga alumni Jurusan Kajian Media Televisi dan Psikologi Royal Melbourne Institute of Technology, Australia, Natasha Widagdo, sedangkan moderator penyair Magelang, Dorothea Rosa Herliany.
Ia pun bertutur tentang kehidupan rumah tangga yang gembira bersama suaminya, Suroto (37) dan dua anaknya masing-masing berumur 10 dan 15 tahun yang mengandalkan penghidupan dari pertanian aneka sayuran di kawasan Gunung Merbabu, Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, lokasi festival tahunan seniman petani Komunitas Lima Gunung, 4-15 Juli 2012.
Dalam berbagai kesempatan pergelaran kesenian Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) baik di Magelang maupun di luar daerah itu, kelompok kesenian "Kipas Mego" yang beranggota para perempuan dusun setempat itu seringkali turut tampil memeriahkannya.
"Latihannya malam Kamis dan malam Minggu, dulu dilatih Bu Wenti (Wenti Nuryani, pengajar tari Universitas Negeri Yogyakarta, yang juga pegiat Komunitas Lima Gunung, red)," katanya.
Sebelum lahir tarian "Kipas Mego" pada 2010, perempuan setempat juga mengembangkan ciptaan baru berupa tarian "Rodat Putri" pada 2008. Mereka tergabung dalam Padepokan Wargo Budoyo Gejayan, pimpinan Riyadi. Sejumlah kesenian tradisional dan kontemporer gunung dimiliki seniman petani anggota padepokan itu yang juga bagian dari Komunitas Lima Gunung.
Ikut berkesenian juga menyembulkan kesadaran perempuan setempat tentang pentingnya regenerasi seniman petani.
Berbeda dengan masyarakat kota yang sudah tidak asing dengan kehadiran para penari perempuan atau seniman perempuan, umumnya perempuan berkesenian di kalangan warga dusun dan gunung setempat sebagai hal yang belum lazim.
"Siapa lagi besok-besoknya yang akan menari 'Warok' atau 'Soreng' (dua di antara sejumlah bentuk kesenian tradisional dusun setempat, red.) kalau tidak ada generasi penerus. Kelak harus lahir generasi baru yang berkesenian," katanya.
Meski aktif berkesenian, katanya, kewajiban sebagai ibu rumah tangga dan petani gunung tetap tak terlepaskan. Keseharian hidup mereka tetap sebagai petani sayuran.
Pemimpin Sanggar Cahyo Budoyo Sumbing yang juga bagian dari Komunitas Lima Gunung, Sumarno, mengatakan, setiap tradisi "Saparan", komunitasnya menggelar pentas tarian "Tayub" dan "Lengger" dengan para perempuan tampil sebagai penari utama.
Pentas tarian "Tayub" dalam tradisi masyarakat petani Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran yang berlangsung semalam suntuk itu, selalu mendatangkan penari perempuan dari Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta karena sebagai tradisi turun temurun, sedangkan penari "Lengger" adalah sejumlah perempuan di salah satu dusun terakhir sebelum puncak Gunung Sumbing.
"Kalau ada pentas 'Tayub' selalu para warga lelaki 'ngibing', menari bersama perempuan itu. Para isteri mereka juga tidak ada yang cemburu. Mereka juga memberikan saweran kepada penarinya," katanya.
Sumarno yang selama 42 tahun pernah menjabat sebagai kepala dusun setempa itu mengatakan, sebelum seniman petani setempat bergabung dengan Komunitas Lima Gunung, para pemimpin grup kesenian tradisional setempat kesulitan mencari perempuan dusun itu untuk turut berkesenian karena umumnya masyarakat setempat menganggap sebagai ikhwal tabu.
Akan tetapi, katanya, saat ini cukup banyak perempuan dusun setempat yang giat berkesenian dan mengikuti berbagai pementasan Komunitas Lima Gunung.
"Sekarang para ibu mendorong anak-anak putrinya untuk ikut kesenian. Setelah bergabung dengan Lima Gunung, banyak perempuan yang ikut kesenian," katanya.
Demikian pula dengan Handoko, satu pegiat lainnya di Komunitas Lima Gunung dengan kesenian tradisional "Topeng Ireng" dari Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis, di kawasan Gunung Merbabu.
Selama beberapa tahun terakhir Handoko merekrut para perempuan berasal dari berbagai tempat di Magelang untuk berlatih tarian tradisional itu. Ia menciptakan tarian "Topeng Ireng Putri".
Sebelumnya, tarian itu dilakukan penari laki-laki. Kelompoknya yang saat ini juga beranggota para penari perempuan tersebut hingga saat ini beroleh kesempatan pentas di berbagai tempat baik di Magelang maupun luar daerah.
Peran perempuan gunung juga penting tak hanya dalam berolahseni. Saat seniman petani Komunitas Lima Gunung menggelar agenda tahunan secara mandiri mereka, berupa Festival Lima Gunung, dengan lokasi yang berpindah-pindah sesuai dengan hasil musyawarah para petinggi komunitas itu, peranan konvensional perempuan dusun berupa hiruk pikuk mereka untuk urusan dapur menyiapkan sajian makanan, secara kental mengemuka.
Rahayu (Yayuk) yang juga istri Riyadi dengan tekun, setia, dan lemah lembut melayani para tamu dari luar kawasan itu yang datang ke rumahnya dengan menyajikan aneka makanan. Para ibu yang tetangganya pun datang ke dapur rumah itu untuk membantu Yayuk .
Seakan tak lelah, Yayuk yang juga satu di antara dua calon kepala desa setempat pada pemilihan Minggu (8/7) itu pun hilir mudik dari dapur ke ruang tamu membawa nampan berisi teh hangat untuk suguhan para tamu festival. Ia juga menata aneka menu makanan di meja makan, ruangan lain di rumahnya, untuk santapan para tamu.
"'Manteb' (mantap, red) mbak?," tanya seorang tamu malam itu, ketika menyapa Yayuk terkait dengan pencalonannya sebagai kepala desa setempat.
"'Manteb'," jawab singkat Yayuk yang menandakan ia optimistis memenangi pemilihan itu. Suaminya yang juga Kepala Desa Banyusidi, Riyadi, pada pertengahan 2012 harus lengser dari jabatannya itu setelah diduduki selama dua periode.
Safitri mengatakan, sejarah seni baik abstrak maupun ekspresionis di Inggris pada masa lampau juga hanya mengenal pelakunya sebagai kebudayaan kalangan laki-laki.
Akan tetapi, katanya, pada era 1960-1970, berbagai galeri di Inggris mulai memperlihatkan peranan perempuan dalam kesenian dan kebudayaan.
"Galeri-galeri di Inggris memperlihatkan peranan perempuan dalam kesenian dan kebudayaan yang selama sebelumnya tidak pernah dibicarakan. Seakan sejarah yang bukan sejarah," katanya.
Eva Pitaloka yang pernah melakukan penelitian tentang kebudayaan di Dusun Gejayan untuk menyelesaikan program pascasarjana ISI Yogyakarta beberapa tahun lalu itu mengatakan, umumnya perempuan gunung masih dianggap sebagai "kanca wingking" (kawan di belakang).
Namun, katanya, seperti di Dusun Gejayan itu, perempuan memiliki kedudukan penting dalam kesenian rakyat. Mereka juga tampil membawakan tarian dalam pementasan, sedangkan para laki-laki mendukung isterinya berkesenian.
"Yang perempuan juga minta izin suaminya kalau mau latihan menari," katanya.
Apalagi, katanya, setelah kelompok kesenian itu bergabung dalam Komunitas Lima Gunung, mereka mengembangkan tarian secara kreatif sehingga tercipta karya tari seperti "Kipas Mego", "Rodat Putri", "Gupolo Gunung", atau "Topeng Ireng".
Pada umumnya, katanya, peran perempuan gunung dalam berkesenian memang kurang intensif dibicarakan dan kurang banyak dipublikasikan. Persepsi umum tentang kesenian gunung pun masih menjadi wilayah laki-laki.
Namun, seniman petani Komunitas Lima Gunung melalui gerakan kebudayaan berbasis kearifan lokalnya, menempatkan perempuan gunung dalam karya kesenian mereka, bukan saja untuk menghargai perempuan, akan tetapi kaum hawa itu sebagai ikhwal yang berkedudukan penting.