Namun, radio kayu karya Singgih Susilo Kartono dengan merek Magno telah laris di mancanegara bahkan produk unik ini juga telah mendapatkan sejumlah penghargaan internasional.

Perusahaan milik lulusan Desain Produk Institut Teknologi Bandung tersebut setiap bulan mampu mengirim 300 unit radio kayu tujuan ke sejumlah negara di Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Selandia Baru.

Radio kayu Magno yang didesain dan diproduksi Singgih Susilo Kartono berhasil meraih penghargaan sangat prestisius Brit Insurance Design of the Year 2009.

Sejumlah penghargaan yang telah diterima Singgih atas hasil karyanya tersebut, antara lain dari Brit Insurance Design of the Year 2009 di London, The Design Museum untuk kategori Architecture, Fashion, Furniture, Graphics, Interactive, dan Transport.

Radio kayu Magno juga telah mendapat penghargaan sebagai desain terbaik dalam kontes Good Design Award 2008 di Jepang untuk kategori Innovation/Pioneering dan Experimental Design,

Berkat karyanya tersebut, Singgih sering diundang ke luar negeri untuk menjadi pembicara di sejumlah perguruan tinggi guna mempresentasikan radio kayu.

Singgih menuturkan, radio kayu merupakan bagian dari tugas akhir saat menyelesaikan studinya di Desain Produk ITB tahun 1992.

"Kayu merupakan material bagus untuk suara, maka kami mencoba menggabungkan kerajinan kayu dengan teknologi elektronik," katanya.

Ia memilih produk dari bahan kayu, karena kayu merupakan material yang paling akrab dengannya sejak kecil.

"Waktu kecil saya membuat mainan dari kayu, saya senang menunggui tukang kayu saat bekerja dan itu merupakan kegiatan yang sangat menyenangkan bagi saya, maka material kayu sangat saya kuasai," katanya.

Radio kayu Magno tidak kalah dengan produk radio buatan negara industri elektronik seperti Jepang, bahkan radio kayu karya Singgih mempunyai beberapa keunggulan, antara lain unik, kualitas frekuensi bagus mempunyai konsep yang dalam dari segi desain.

"Kami punya konsep yang cukup dalam dari segi desain. Ketika teknologi sudah sangat canggih dan kemajuan teknologi demikian cepat membuat orang setelah memakai produk terus dibuang, meskipun barang itu sebenarnya masih bagus," katanya.

Ia mencontohkan, suatu produk telepon seluler (HP) yang sudah bagus dan canggih kemudian produsen mengeluarkan lagi produk yang baru, karena mereka harus memutar modal sehingga mempunyai keuntungan dan hal itu membuat perilaku orang dengan produk semakin jauh.

"Material kayu mendekatkan orang dengan produk. Saya menghilangkan skala frekuensi pada produk kami. Hal ini sebagai upaya mendekatkan produk ke orang lebih nyata, karena ketika orang mencari gelombang ada hubungan yang lebih intensif," katanya.

Singging mengatakan, finishing produknya tidak menggunakan melamik, tetapi hanya menggunakan minyak kayu.

"Saya percaya perlindungan terbaik suatu produk itu ada di strukturnya bukan di produknya. Konsep-konsep tersebut tidak ada di desain negara-negara barat, namun justru hal ini yang diapresiasi mereka," katanya.

Kembali ke Desa
Setelah menyelesaikan pendidikan di ITB, suami Tri Wahyuni ini memilih kembali ke desa untuk memulai usahanya.

"Saya kelahiran Desa Kandangan dan saya ingin pulang kampung untuk membangun desa. Saya ingin menunjukkan bahwa desa itu suatu komunitas yang potensial," katanya.

Ia mengatakan, selama ini desa tidak banyak tersentuh karena desa selalu menerima yang paling jelek, padahal desa itu memberikan kontribusi luar biasa karena orang-orang pintar di kota itu sebenarnya sebagian besar dari desa, namun mereka tidak mau pulang kampung.

"Melalui proyek ini saya ingin menunjukkan bahwa potensi desa itu ada, tergantung tinggal mau atau tidak, kerja keras atau tidak," katanya.

Dengan mendirikan usaha dan hidup di desa, membuat Singgih bisa ikut membangun lingkungan. Meskipun produknya menggunakan bahan baku kayu tidak berarti merusak lingkungan, tetapi dia belum merasa membayar lunas jika tidak ikut melakukan penanaman kembali.

Ia menuturkan, setiap tahun perusahaannya membutuhkan sekitar 80 pohon yang bisa memberikan pekerjaan kepada sekitar 40 orang dan dia membuat program penanaman kembali dengan membagikan 10 ribu bibit setiap tahun.

"Program penanaman kembali tersebut terkontrol, kami melakukan pendataan siapa yang mau tanam pohon dan secara periodik kami melakukan pengecekan," katanya.

Menurut dia, tugas manusia itu bukan membuat barang, bukan mencari pekerjaan, tetapi bagaimana memperbaiki alam.

"Setahun saya cuma menebang 80 pohon, tetapi saya tanam 10.000 pohon berarti perusahaan kami tidak merusak hutan tetapi menambah populasi tanaman. Filosofi ini sebenarnya sangat berharga bahwa perusahaan kayu itu tidak selalu merusak kalau dia memang dijalankan dengan benar, karena bisa memperbaiki alam," katanya.

Ia berpendapat, alam rusak karena aktivitas ekonomi yang salah. Kalau aktivitas ekonomi berjalan dengan benar, alam akan menjadi lebih baik.

Pewarta : Heru Suyitno
Editor : M Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025