Langit cerah berwarna biru, dengan sinar matahari memancar terlihat dari barat daya puncak Gunung Sumbing. Puncak gunung setinggi sekitar 3.700 meter dari permukaan air laut itu pun tampak jelas dari Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Tempat itu yang salah satu dusun terakhir sebelum puncak Sumbing, berada di ketinggian sekitar 1.600 meter dari permukaan air laut (mdpl), sedang memiliki hajat menjadi lokasi Fesvital Lima Gunung XI (30 Juni-Juli 2012).

Festival tahunan secara mandiri itu diselenggarakan oleh seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh).

Semua warga laki-laki keluar dari rumah masing-masing, mengenakan pakaian rapi dan bertutup kepala peci, berjalan beriringan menuju ke pemakaman umum di sebelah barat dusun itu, seakan menembus hawa sejuk pagi itu.

Modin Dusun Krandegan, Anwar Ngadenan (48) dengan baju koko dan peci telah berdiri di tengah makam tersebut untuk memimpin doa nyadran yang bertepatan dengan FLG XI/2012 Gunung Sumbing diberi nama "Nyadran Bayu". Festival Lima Gunung XI/2012 dengan tema besar "Ngupadi Bayu Sejati".

Tradisi "Nyadran" dijalani masyarakat di berbagai desa di kawasan itu setiap Bulan Ruwah atau menjelang Bulan Puasa (Ramadhan). Berdasarkan kalender desa masing-masing, warga mengirim doa di pemakaman desanya.

Penentuan hari "Nyadran" mereka untuk tahun ini juga dikonsultasikan oleh sejumlah pemimpin Sanggar Cahyo Budoyo Sumbing seperti Sumarno, Sarwo Edhi, dan Heri Surachman kepada salah satu sesepuh Komunitas Lima Gunung yang juga pemimpin Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang di lereng Gunung Merapi, Sitras Anjilin.

Lantunan tahlil dan shalawat dikumandangkan para warga di pemakaman Dusun Krandegan di bawah pepohonan rindang yang berlatar belakang Gunung Sumbing itu, sebagai bagian kiriman doa mereka untuk arwah para pendahulu dusun setempat, Minggu (1/7) pagi.

"Ini adat masyarakat sini, 'Bulan Arwah'. Kami mengirim doa untuk arwah, setiap Minggu Legi Bulan Ruwah. Secara khusus kali ini bertepatan dengan FLG," kata Anwar.

Ia mengatakan, kiriman doa oleh masyarakat setempat itu untuk memohonkan ampunan dari Tuhan atas kemungkinan berbagai kesalahan dan dosa yang dilakukan para pendahulu pada masanya, supaya pendahulu kami bahagia di alam baka.

Seorang warga setempat, Subiyanto (46), mengaku, setiap 35 hari sekali bertepatan dengan Hari Jumat, masyarakat setempat membersihkan pemakaman di lereng bukit setempat.

Lelaki yang juga petani sayuran di kawasan itu adalah canggah dari jasad yang dimakamkan paling dahulu di pekuburan itu yang disebut mbah kakung dan mbah putri Wuh. Hanya makam Mbah Wuh yang dibangun cungkup di tempat itu.

Warga setempat menjalani tradisi "Nyadran" selama sekitar satu jam di pemakaman itu dan untuk selanjutnya mereka berjalan kaki melewati tengah kampung itu menuju halaman Sanggar Cahyo Budoyo Sumbing, pusat kegiatan seniman petani setempat. Dusun dengan sekitar 400 kepala keluarga atau sekitar 1.500 jiwa itu memiliki puluhan jenis kesenian tradisional.

Mereka melanjutkan tradisi mereka dengan makan pagi secara bersama-sama di halaman sanggar yang terletak di lereng satu bukit lainya di dusun itu, di bawah petilasan cikal bakal Dusun Krandegan, Kiai Dipodrono.

Berbagai pementasan kesenian baik tradisional, kontemporer, maupun kolaborasi dilakukan berbagai kelompok seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung pada festival mereka di Gunung Sumbing.

Panggung utama pementasan mereka pada siang hari di halaman satu sekolah di dusun itu, sedangkan panggung lainnya untuk pementasan malam hari di Sanggar Cahyo Budoyo Sumbing.

Pementasan kesenian pada FLG XI/2012 Gunung Sumbing antara lain performa sesaji "Ngundang Roh Gunung", pentas ketoprak "Kabut di Bukit Tidar", tradisi "Nyadran", tarian "Warok Putri", "Topeng Ireng", "Warok Putra", "Jathilan Panji Kinasih", "Margo Utomo".

Selain itu, arak-arakan Komunitas Lima Gunung, pembacaan puisi, tarian "Hip Hop Sapu Jagad", performa "Ngupadi Bayu Sejati", tarian "Grasak", "Kuda Lumping", "Soreng", "Warok Anak", "Truntung", "Lengger Sumbing", "Madyo Pitutur", "Jingkrak Sundang", "Dayak", sendratari "Sekar Agung", "Mars Gentha", "Mudra Braja Gentha", dan wayang orang "Sayembara Dewi Kunthi".

Kalau festival secara mandiri garapan seniman petani lima gunung itu tak lepas dari kalender desa, tentunya dengan pengharapan kuat bahwa peristiwa kebudayaan itu akan terjadi dengan umur panjang.

Berbagai tradisi masyarakat desa yang masih tetap mereka jalani hingga saat ini, umumnya juga mencantol kepada kalender desa masing-masing, yang artinya dalam berbagai situasi apapun atas kehidupan bersama pedesaan, mereka akan melakoni tradisi itu.

"Orang desa menyebut sebagai 'naluri', sedangkan sampai sekarang tahun ke-11 ini, Festival Lima Gunung menjadi peristiwa kebudayaan yang ditunggu-tunggu khususnya oleh komunitas kami," kata Sitras Anjilin.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : M Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025