Lelaki bernama Warsidi yang sudah ekstase dalam nomor lengger "Kebogiro" itu, dengan didampingi seorang penari perempuan, menyalami pamong Seminari Menengah Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah tersebut.

Uluran salaman penari itu disambut hangat oleh Sang Romo yang malam itu mengenakan baju batik dan duduk di bangku dengan diapit seniman petani "Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" Gunung Merapi, Sitras Anjilin serta pengukuh Komunitas Lima Gunung Magelang Sutanto Mendut. Komunitas itu meliputi kalangan seniman petani Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh.

Sekejap, ketika keduanya saling melepas salaman kegembiraan, penari perempuan bernama Sumarsih tersebut memberikan selendang warna putih kepada Romo Saptono. Sang Romo kemudian mengalungkan selendang itu di lehernya lalu berdiri dari bangkunya.

Para seminaris yang pada kesempatan sebelumnya serentak menjawab belum tahu apa itu tari lengger pun bertepuk tangan dan bersorak meriah tatkala pamong mereka mengalungkan selendang putih.

Mereka secara seketika seakan langsung tahu bahwa kalungan selendang itu tanda kesediaan Sang Romo menari bersama perempuan petani gunung, anggota komunitas seniman petani "Cahyo Budoyo Sumbing", Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, salah satu dusun tertinggi sebelum puncak Gunung Sumbing.

Puluhan penonton lain pun bertepuk tangan gembira menyaksikan sajian nomor-nomor tarian lengger Gunung Sumbing yang oleh Romo Saptono malam itu dinamai pementasan tarian "Lengger Sumyah Kolbu" yang artinya kegembiraan hati.

Dalam durasi tiga jam, hingga menjelang tengah malam itu, sekitar 60 petani Gunung Sumbing yang menjadi bagian dari Komunitas Lima Gunung mementaskan "Lengger Sumyah Kolbu" di aula besar yang dinamai Bangsal Kaca Seminari Mertoyudan.

Pementasan itu rangkaian agenda menuju puncak perayaan Seabad Seminari Mertoyudan pada 2 Juni 2012 yang antara lain ditandai misa akbar dipimpin Romo Kardinal Julius Riyadi Darmaatmadja bersama sejumlah uskup dan pentas performa kolaborasi oleh 350 seniman petani Komunitas Lima Gunung bertajuk "Ensiklopedia Agrobudaya", serta wayang orang semalam suntuk dengan lakon "Dewa Ruci" dengan dalang Ki Radya Harsono.

Seluruh rangkaian perayaan Seabad Seminari Mertoyudan melalui berbagai kegiatan telah digelar selama setahun terakhir, sedangkan puncak usia 100 tahun tempat pendidikan calon imam Katolik itu, jatuh pada 30 Mei 2012. Mereka yang menjalani pendidikan calon imam itu dikenal dengan sebutan seminaris.

Para seniman petani Gunung Sumbing membuka pentas "Lengger Sumyah Kolbu" melalui tabuhan gamelan "Gending-gending Lengger Sumbing" dengan pengendang Sudiyanto dan wirasuara Robiah serta Sarwo Edhi.

Hal ikhwal tentang tarian lengger memang menjadi pertanyaan para seminaris karena umumnya mereka belum mengerti kesenian yang sejak turun temurun itu dijalani oleh masyarakat Gunung Sumbing sebagai bagian dari tradisi budaya petani setempat.

"Saya awam mengenai lengger, belum mengetahui pasti dan makanya saya sungguh tertarik dengan acara ini agar saya bisa melihat lengger secara langsung," kata seorang seminaris.

Seorang seminaris lainnya bernama Toni juga mengajukan pertanyaan mendasar perihal apa itu tarian lengger.

Sarwo Edhi yang juga seorang pemimpin komunitas "Cahyo Budoyo Sumbing" menjelaskan, kata "lengger" berasal dari ungkapan "leng" dan "ngger" yang asal usulnya dari "eling" (ingat) dan "angger" (sebutan orang tua kepada anak).

"'Eling-eling' manusia, bahwa manusia hidup selalu ingat, waspada, hati-hati, sebab nanti kita akan mati dan nanti kita akan diminta pertanggungjawaban dalam kehidupan kekal abadi di sana (alam baka, red.)," katanya.

Nama tarian lengger, katanya, diberikan oleh Sunan Kalijaga (salah satu di antara sembilan wali, penyebar agama Islam di Tanah Jawa). Tarian lengger di masyarakat petani Gunung Sumbing terdiri atas sekitar 24 nomor gerak tari dibarengi tembang Jawa yang isinya beragam nasihat kebaikan hidup, dan iringan tabuhan gamelan.

Sejumlah nomor tarian dijelaskan oleh Sarwo Edhi yang juga salah satu perangkat desa setempat itu, seperti "sontoloyo" (rakyat kebanyakan), "bribil" (pedagang), "kebogiro" (penjahat), "bribil (pedagang) "kinayakan" (satria), dan "solasih" (ningrat).

Mereka biasanya mementaskan tarian itu semalam suntuk sebagai bagian tradisi ruwat bumi, memperingati ulang tahun dusun, bertepatan dengan Jumat Legi atau malam Sabtu Pahing, Bulan Sapar (kalender Jawa).

"Nenek moyang kami itu orang seni, pendiri dusun kami yakni Eyang Dipodrono dan Teledek Meyek (dimakamkan di dusun setempat, red). Teledek Meyek itu penari meskipun buntung. Tarian mereka kami 'uri-uri' sampai sekarang," katanya.

Pentas kesenian dusun setempat, katanya, juga bagian hiburan kala masyarakat bersusah karena harga-harga panenan petani jatuh. Petani setempat mengolah lahannya untuk budi daya aneka sayuran, dipasok ke sejumlah pasar di Magelang dan Yogyakarta.

"Untuk menghilangkan rasa sedih, lapar, kita bersenang-senang dengan kesenian. Kita tidak punya uang, modal, ekonomi kurang bagus, kita tetap bersemangat untuk berkesenian," katanya.

Sebagai lanjutan pembuka sajian kesenian di seminari setempat malam itu, mereka menyuguhkan "Ritual Gending-Gending Lengger". Tiga penari laki-laki dipimpin Heri Surahman, memasuki bangsal itu dengan membawa kemenyan diiring sekitar 15 penari perempuan yang menaburkan bunga mawar merah putih sambil menarikan nomor "Midodari Angger".

Beberapa nomor lain tarian lengger yang disajikan berjudul "Menyan Putih", "Gambyong Srombo", "Grobyok Bribil", "Ayak-Ayak Kinayakan", "Sontoloyo", "Bribil", "Sluku-Sluku Bathok", "Kebogiro", "Solarsih", "Grobyok Sontoloyo", dan "Warok Putri".

Aneka sesajian diletakkan di bawah panggung seperti sejumlah kembang, aneka minuman dalam cangkir, jajan pasar, kemenyan, beberapa batang rokok keretek, nasi merah putih, kelapa muda, dan kemenyan.

Pementasan semakin bergereget ketika tiga penari laki-laki masing-masing Heri Surahman, Warsidi, dan Juwakir secara berturut-turut ekstase. Sejumlah penonton, seminaris, dan para fotografer memanfaatkan momentum suasana tarian itu untuk memotret baik dengan kamera standar maupun telepon seluler.

Tabuhan nomor-nomor gamelan seakan tak putus tersaji, tiga penari perempuan merespons tarian dengan nomor-nomor geraknya sedangkan tembang-tembang Jawa seperti "Ilir-Ilir", "Caping Gunung", dan "Sluku-Sluku Bathok" dilantunkan berturut-turut oleh penembangnya, Subiyanto sambil berdiri di tengah panggung.

Sejumlah anggota mereka hiruk pikuk menjaga dan mengawasi para penari yang ekstase. Bahkan Warsidi dengan gerak tarian kesurupan berjalan mendekati dua kenong di pojok panggung.

Keringat keluar dari tubuh mereka yang menari hingga ekstase itu. Sejumlah orang lainnya yang bertugas menjaga para penari yang ekstase itu pun ketularan kesurupan, beberapa penari perempuan juga mengalami hal serupa.

Terkesan bahwa tiga seniman yang ekstase dengan gerakan tariannya masing-masing, memimpin penari putri mementaskan tarian warok. Dengan masing-masing menggunakan kuda kepang para penari putri itu pun memberikan sajian "Warok Putri" di hadapan penonton, hingga akhirnya satu demi satu mereka yang ekstase disembuhkan dari kesurupan.

Sutanto yang juga budayawan itu menjelaskan bahwa hal mereka memasuki puncak ekstase --bukan ekstasi-- melalui tarian petani itu sebagai bahan studi yang menarik. Para penari itu adalah pekerja keras, berbadan sehat, dan setiap hari bergelut secara akrab dengan alam pertanian gunungnya yang subur.

"Tetapi kesurupan ini tidak menjelaskan kekerasan sama sekali, ini berbeda dengan 'kesurupan' ciu, bahkan tidak minum ciu pun di kota-kota membuat takut, kalau melihat orang membawa pedang dan pentungan di jalan-jalan," katanya.

Pada kesempatan itu ia juga menjelaskan tentang pemahaman khalayak atas kesurupan yang selama ini dimengerti sebagai kerasukan setan dalam tarian tradisional.

"Tolong diterjemahkan kesurupan itu, ekstase itu, menjadi pelepasan, penyembuhan. Salah satu faktor lain adalah soal roh. Masyarakat desa itu ada pelepasan lewat kesenian. Kalian besok jadi imam, juga peneliti, anda tidak sekadar mengirim pesan-pesan dari Tuhan. Anda harus terjun di masyarakat untuk melihat kejiwaan," katanya.

Romo Saptono yang berbicara dengan bahasa Jawa langgam "krama inggil" malam itu memang mengajak para seminaris menyimak dengan gembira tarian lengger yang disajikan seniman petani Gunung Sumbing itu.

Akan tetapi, mereka tak cukup hanya gembira sebagai penonton tarian lengger. Mereka juga perlu memanfaatkan kesempatan gembira itu untuk belajar lebih mendalam tentang kebudayaan yang dihidupi masyarakatnya.

"'Gamelan sampun dipun tabuh, kita saget ngraosaken laras, sakeca sanget tetabuhan punika. Dalu punika kita saget ngraosaken kabungahan. Ingkang rawuh menika dados sedherek-sedherek kita, mila para seminaris saget sinau langkung kathah malih'," demikian Romo Saptono.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024