Setiap tahun, bertepatan dengan puncak perayaan keagamaan umat Buddha itu, perempuan bernama Faricha Nur Huda tersebut membuka gerai untuk menjual berbagai barang antara lain aksesoris, alat tulis, sandal, tas, dan kaca mata.

Tempat berjualannya berbagai barang itu, setiap hari di satu toko tepi Jalan Letnan Tukiyat, Kota Mungkid, Ibu Kota Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, tak jauh dari kawasan Candi Borobudur.

Puluhan ribu umat Buddha berasal dari berbagai kota di Indonesia dan luar negeri merayakan Waisak setiap tahun di kawasan Candi Borobudur.

Puncak Waisak 2012 jatuh pada Minggu (6/5) pukul 10.34.49 WIB ditandai antara lain dengan meditasi di Candi Mendut, dilanjutkan dengan prosesi jalan kaki umat bersama para biksu dari tempat itu melewati Candi Pawon, dan berakhir di Candi Borobudur. Jarak Candi Mendut hingga Borobudur sekitar tiga kilometer.

"Sudah mulai kemarin buka (2/5), dengan harga grosir," katanya pagi itu dengan kesan enggan menyebut harga barang-barang yang dijualnya.

Tetapi, katanya, omzet berjualan di dekat Candi Mendut bertepatan dengan umat Buddha merayakan Waisak diperkirakan dua juta rupiah per hari, sedangkan pada hari biasa omzetnya hanya sekitar satu juta rupiah.

Beberapa orang lainnya juga telah membuka tempat berdagang seperti makanan, minuman, cenderamata, pakaian, dan mainan anak di atas trotoar tepi kanan dan kiri jalan kawasan Candi Mendut. Menjelang Hari Waisak, suasana di tempat itu menjadi lebih ramai, terutama saat sore hingga malam hari, jika dibandingkan dengan hari biasa.

Para pekerja sibuk mendirikan tenda ukuran besar dan altar di pelataran Candi Mendut. Candi itu akan menjadi salah satu tempat persembahyangan umat Buddha saat detik-detik Waisak, persemayaman air suci Waisak yang diambil dari Umbul Jumprit, Kabupaten Temanggung dan api dharma dari sumber api alam Mrapen, Kabupaten Grobogan. Air dan api itu merupakan sarana puja umat yang penting saat Waisak.

Berbagai tempat di kanan dan kiri jalan di kawasan Candi Borobudur telah didirikan umbul-umbul bertuliskan "Walubi" (Perwakilan Umat Buddha Indonesia). Berbagai kendaraan roda empat dan truk yang di kaca depan bertuliskan tanda sebagai panitia Waisak hilir mudik antara lain mengangkut relawan dan berbagai barang untuk keperluan penyiapan tempat perayaan tersebut.

Lain lagi dengan kesibukan menjelang Waisak yang dilakoni Basiyo di rumahnya yang sekaligus galeri "BW Craft" di Dusun Bumisegara, Desa Borobudur, di barat Candi Borobudur, salah satu tempatnya memajang aneka kerajinan dan cenderamata.

Lelaki yang juga berusia kepala lima itu adalah perajin yang sekaligus pedagang cenderamata khas Borobudur dan Wakil Ketua Forum Rembug Klaster Kepariwisataan Borobudur.

"Sambil 'ngopi' ya mas," katanya.

Ia kemudian meninggalkan gergaji khusus dan sepotong kayu kecil untuk dibuat cenderamata berupa gantungan kunci, lalu masuk ke rumahnya. Tak seberapa lama kemudian, lelaki bercelana pendek dan berkaos di dadanya bertuliskan "Sadar Wisata" itu kembali ke halaman kecil depan rumah itu sambil menyajikan secangkir kopi.

Umumnya, produk kerajinan Basiyo yang juga pemilik salah satu kios cenderamata di kompleks Taman Wisata Candi Borobudur itu, baik berbahan baku kayu maupun kain menggunakan motif batik seperti gantungan kunci, wayang kayu, patung kayu, tas, topeng kayu, dan sandal.

Secara lancar ia menyebut harga yang bervariasi atas berbagai barang dagangan yang dijual kalangan pedagang baik berupa kios, lapak, maupun asongan di TWCB itu, termasuk saat keramaian Candi Borobudur bertepatan dengan Waisak.

Misalnya, harga beraneka sandal antara Rp10.000 hingga Rp45.000 per pasang, topi Rp10.000-Rp50.000, baju batik Rp20.000-Rp50.000, patung Buddha terbuat dari cetak batu Rp15.000-Rp25.000, dan gantungan kunci Rp5.000-Rp10.000.

Ia juga lancar menyebut jumlah pedagang di TWCB yang terdiri atas pengasong 1.575 orang, pemilik kios dan lapak 1.595 orang.

"Ada sekitar 20 pengasong yang mengambil barang dari tempat saya, khususnya saat keramaian Waisak ini. Sejak seminggu terakhir saya menambah stok, sebagian besar produk sendiri dan warga sekitar ini, produk cenderamata berupa sandal saya ambil dari Tasikmalaya," katanya.

Perayaan Waisak, katanya, kesempatan para pedagang mendapatkan keuntungan yang lebih baik ketimbang hari biasa, karena cukup banyak orang khususnya umat Buddha berdatangan dari berbagai tempat ke Candi Borobudur.

Biasanya, katanya, sambil menyelesaikan menggergaji sepotong kayu untuk dibuat gantungan kunci berbentuk tokoh wayang Semar, barang yang cukup laris terjual saat Waisak antara lain sandal, topi, minuman, tas kulit, baju batik, dan gantungan kunci. Berbagai barang yang laris terjual itu, khususnya untuk mendukung umat menjalani rangkaian perayaan Waisak dan juga cenderamata.

Para petinggi organisasi pelaku wisata Candi Borobudur itu, katanya, telah mengingatkan para pedagang untuk mengembangkan sikap ramah dengan siapa saja yang berkunjung ke Borobudur termasuk umat Buddha yang sedang merayakan Waisak.

"Kami telah mengingatkan anggota untuk terus bersikap ramah, menjaga imaji positif pedagang Borobudur, dan meningkatkan pelayanan kepada para tamu yang sedang merayakan Waisak," katanya.

Berbeda pula dengan aktivitas Suginah (38), seorang ibu rumah tangga di permukiman Kapling Janan, dekat Balai Desa Borobudur. Pagi itu ia berkemas hendak pergi ke Pasar Borobudur, tak jauh dari rumahnya.

Isteri Eko Sulistyo (43), seorang pedagang kaos sebagai cenderamata Candi Borobudur yang dikarunia dua anak laki-laki itu, bersama puluhan ibu rumah tangga lainnya mendapat pesanan 7.000 nasi bungkus untuk umat Buddha yang merayakan Waisak.

Mereka terbagi dalam lima kelompok ibu rumah tangga berasal dari sejumlah dusun di Borobudur, mulai menjalani awal kesibukan melayani pesanan itu untuk Sabtu (5/5) dan Minggu (6/5), baik umat yang berada di Candi Mendut maupun Borobudur. Para ibu rumah tangga yang satu kelompok terdiri atas empat orang tersebut, selama ini sebagai pegiat Jaringan Kerja (Jaker) PariwisataBorobudur dengan koordinator Jack Priyono.

Mereka akan melayani pesanan nasi bungkus untuk umat Buddha pada Sabtu (5/5) pukul 11.00-12.00 WIB di Pondok Tingal, sekitar 500 meter meter timur Candi Borobudur, sedangkan pada Minggu (6/5) pukul 07.00-08.00 WIB dan 11.00-12.00 WIB di Candi Mendut, serta pukul 16.00-18.00 WIB di Candi Borobudur.

Kelompok yang dipimpin Suginah mendapat jatah melayani pesanan nasi bungkus pada Minggu (6/5) pukul 11.00-12.00 WIB untuk sebagian umat Buddha yang berkumpul di Candi Mendut.

"Ini mau ke pasar belanja kentang, beras, tahu, telur, mi, kertas minyak, sendok, plastik, dan daun pisang. Kami sudah dua kali dikumpulkan untuk koordinasi, termasuk menunjukkan sampelnya. Menunya oseng-oseng tahu kentang gurih, bakmi kuning, sambal, dan telur dadar, seharga sekitar Rp4.000 per bungkus," katanya.

Jack mengatakan, sejak 2006 hingga 2012, pihaknya mendapatkan pesanan nasi bungkus dari seorang biksu yang berdomisili di Makassar, Sulawesi Selatan, untuk kebutuhan umatnya yang merayakan Waisak di Borobudur dan sekitarnya.

Selanjutnya, pihaknya merekrut para ibu di sekitar Candi Borobudur untuk memenuhi pesanan itu. Pesanan terbanyak pada Minggu (6/5) di Candi Borobudur yang mencapai 4.000 bungkus.

"Kami juga menetapkan standar kesehatan nasi bungkus itu, ada lapisan daun pisang di bungkus kertas minyak, alat masak harus bersih, pengemasan juga harus baik," katanya.

Para ibu itu melalui kelompoknya akan mengantar nasi bungkus ke Sekretriat Jaker Pariwisata Borobudur di Jalan Balaputra Dewa Nomor 54 Kecamatan Borobudur, untuk selanjutnya para pegiat lainnya mendistribusikan ke beberapa lokasi sesuai dengan pesanan dan waktu yang telah diatur.

Diperkirakan, banyak lagi warga setempat yang menjadi pengambil manfaat atas keramaian Waisak oleh umat Buddha berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri, seperti kalangan tukang ojek, dokar, parkir kendaraan, pemilik toko, hotel, penginapan (homestay), warung, dan rumah makan di kawasan Candi Borobudur.

"Manfaat mengambil peluang Waisak ini cukup banyak, dan kami mengambil satu peluang. Bagi kami bukan sekadar untuk tambahan pendapatan, melainkan mengembangkan pemahaman tentang kuliner, mempererat persatuan antardusun, dan menguatkan kerja sama warga dalam kelompok," kata Jack Priyono.

Perayaan Waisak secara berulang setiap tahun oleh umat Buddha di Candi Borobudur itu, diharapkan makin membuka peluang lebih luas kepada masyarakat setempat yang sebagian besar nonbuddhis, menjadi pengambil manfaatnya.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025