Telah ada aktivitas produksi batik di Kampung Batik ini, namun volumenya masih kecil.

Lokasi Kampung Batik Semarang tidak jauh dari Bundaran Bubakan, Semarang Tengah. Bundaran ini cukup dekat dari pusat kota Semarang.

Dari Pasar Johar, menuju arah Jalan Patimura atau Dr Cipto. Sedang kan dari Simpang Lima, menuju Jalan MT Haryono, ke arah Pasar Johar.

Bisnis batik belum menjadi urat nadi perekonomian di Kampung Batik yang semakin padat penduduk dan disesaki rumah. Di perkampungan ini, hanya beberapa bangunan yang digunakan untuk kegiatan membatik dan gerai penjualan.

Selain itu ada Balai Batik yang peralatannya cukup lengkap, seperti alat cap, canting, kompor, hingga ember untuk mencelup kain.

Mengingat keterbatasan tempat, pewarnaan batik tidak menggunakan proses celup, tetapi dengan "mencolet" (menggunakan kuas seperti mewarnai lukisan). Ini dilakukan untuk mengurangi limbah pewarna, sedangkan pencantingan dilakukan dengan pemanasan listrik, yang lebih hemat.

Balai batik selain berfungsi sebagai tempat memamerkan hasil batik juga sebagai tempat belajar membatik dengan membayar Rp20.000 per orang.

Kampung Batik yang letaknya cukup dekat dengan Pasar Johar dan Bubakan, salah satu kawasan perdagangan tersibuk di kota ini, sebelum kemerdekaan memang menjadi salah satu sentra produksi batik di Jawa.

Menurut peneliti batik Semarang, Dewi Yuliati, kampung batik sebelum masa penjajahan Jepang memang merupakan sentra kerajinan batik di Semarang.

"Namun, tradisi membatik di kampung Batik Semarang terputus ketika kota ini menjadi kancah peperangan pada masa pendudukan Jepang dan masa setelah kemerdekaan," katanya kepada Laksita, mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro Semarang, awal April lalu.

Menurut Dewi pada masa pendudukan Jepang, pemuda di Kampung Batik sering konflik dengan serdadu Jepang.

"Saat itu Kampung Batik dibumihanguskan. Meski demikian, masih ada generasi penerus pembatik di sana," kata Dewi.

Ketika pendudukan Jepang, tidak ada lagi produksi batik di Kampung Batik karena Jepang melarang semua kegiatan produksi selain yang diizinkan, yaitu hanya memproduksi barang-barang keperluan perang.

Setelah pendudukan Jepang berakhir, barulah muncul kembali para pengrajin batik di Kampung Batik. Akan tetapi, untuk mengembalikan masa keemasan sebelum zaman pendudukan Jepang tidaklah mudah, apalagi teknologi cap (printing) dari India sudah mulai dikenal dalam kerajinan batik.

Puncaknya, pada akhir tahun 1970-an batik tulis Semarang mengalami kemunduran ketika muncul kain cap (printing), terutama dengan masuknya investor dari India. Setelah itu Kampung Batik tidak lagi dikenal sebagai penghasil batik di Semarang. Bisnis batik di Kampung Batik mati suri selama puluhan.

Menyadari hal itu, Dewan Kerajinan Kota Semarang pada 2006 mulai mencoba menghidupkan industri kerajinan batik di Kampung Batik.

Namun denyut bisnis batik di kampung ini memang terasa pelan. Masih banyak hal yang harus dibenahi untuk mengembalikan kejayaan sentra produksi batik di kampung tersebut.

Menurut Ketua Paguyuban Kampoeng Batik, Tri Utomo, saat ini ada 25 orang perajin yang tergabung dalam paguyuban Kampoeng Batik, namun hanya lima orang yang skala usaha lumayan besar, sedangkan selebihnya masih membuat batik dengan skala rumahan.

Perajin rumahan ini biasanya hanya bisa menyelesaikan dua hingga tiga batik per harinya. Hasil batik itu biasanya dititipkan di balai batik untuk kemudian dijual.

Menurut Tri, ada beberapa kendala untuk menghidupkan kembali kegiatan membatik di Kampung Batik, terutama masalah tempat.

"Untuk membuat batik perajin butuh tempat yang luas, termasuk untuk proses pewarnaan dan penjemuran, sedangkan lahan di sekitar sudah padat dengan rumah-rumah penduduk," kata Tri.

Masalah lain semangat kewirausahaan yang belum kuat sehingga banyak di antara mereka yang menjadikan aktivitas membatik hanya sebagai pengisi waktu luang.

Latah
Menurut dia saat ini banyak perajin pemula yang mulai bermunculan, tetapi kebanyakan dari mereka latah atau hanya ikut-ikutan karena belakangan ini bisnis batik memang menggiurkan.

"Ada proses seleksi alam, yang hasilnya baru bisa kita lihat lima atau 10 tahun lagi. Pengrajin yang bakal eksis adalah mereka yang bisa terus konsisten," kata Tri.

Seleksi alam mulai kelihatan. Enam tahun lalu, Dewan Kerajinan Nasional Kota Semarang melatih puluhan orang belajar membatik, namun yang bertahan hingga seakarng tinggal beberapa orang.

Iin Windi merupakan salah seorang di antaranya. Iin mengisahkan, saat itu kota Semarang belum memiliki suvenir khas, selain kuliner, seperti lunpia atau wingko babat.

Melihat adanya peluang usaha dengan menjadi perajin batik, Iin dan suaminya kemudian mendirikan usaha batik dengan merek dagang Batik Semarang Indah di rumahnya di Kampung Batik.

Keterampilan membatik Iin tidak hanya didapat melalui pelatihan, tetapi juga dari bakat yang diturunkan oleh keluarganya. Saat masih kecil, neneknya pernah mengajari membatik.

"Saya tidak tahu keterampilan itu namanya membatik karena pada saat itu sosialisasi membatik di Semarang tidak ada," katanya.

Kini, usaha batiknya bisa dibilang cukup sukses, terbukti omzet penjualannya rata-rata mencapai Rp60 juta rupiah per bulan.

Kendati demikian ia masih melihat ada kendala, yakni ketersediaan bahan pembuatan batik dan jumlah tenaga kerja (pengrajin) yang terbatas.

Walaupun terletak di sentra pembuatan batik semarangan, Iin mengaku sulit mencari orang yang mau menjadi perajin batik.

"Untuk ukuran industri batik, 35 orang pegawai yang saya punya sebenarnya kurang karena permintaan banyak," katanya.

Ibu dua anak ini merasa prihatin dengan memudarnya budaya membatik di Kampung Batik. Salah satu penyebabnya kian sedikitnya pekerja yang mau menekuni keterampilan membatik.

"Mungkin karena letak Kampung Batik di tengah kota maka sulit mencari orang yang mau menjadi pengrajin batik. Banyak warga Kampung Batik yang lebih suka bekerja di tempat lain," katanya.

Ada pula yang mencoba jalan pintas. Beberapa pengusaha batik semarangan di kampung itu yang tidak membuat sendiri batiknya, tetapi membuatnya di kota lain, seperti Pekalongan.

"Mungkin mereka tidak mau merintis dari awal atau mungkin mereka tidak mau berspekulasi dalam membuat batik semarangan," katanya.

Menghidupkan kembali membatik di Kampung Batik memang tidak mudah, namun Iin dan suaminya menegaskan tidak akan menyerah karena bisnis batik sebenarnya memang berprospek cerah.

Pewarta : Achmad Zaenal
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025