Apakah Tentara Nasional Indonesia (TNI) tetap bertahan di dalam barak ketika menyaksikan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sendirian menghadapi kalangan mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya yang akan melakukan demonstrasi menjelang finalisasi penaikan harga BBM bersubsidi oleh Pemerintah dan DPR RI pada tanggal 27--29 Maret 2012?

Apakah Tentara berani melanggar konstitusi? Pasalnya, hingga sekarang belum ada mekanisme TNI memberi bantuan kepada Polri dalam rangka tugas keamanan. Padahal, Pasal 4 Ayat (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Tap MPR RI) Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri sudah mengamanatkan kepada Pemerintah.

Pasal 4 Ayat (2) TAP MPR itu menyebutkan, "Tentara Nasional Indonesia memberikan bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan atas permintaan yang diatur dalam undang-undang."

Kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyusul UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Empat tahun kemudian setelah Tap MPR RI Nomor VII/MPR/2000, lahirlah UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Di dalam Pasal 5 UU TNI menyebutkan dengan tegas bahwa TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

Adapun yang bersinggungan dengan masalah pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, serta perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri adalah Polri, bukan TNI. Hal ini diatur di dalam Pasal 5 UU No.2/2002 tentang Polri.

Khusus terkait dengan pelibatan TNI dalam membantu tugas Polri itu sudah termaktub di dalam Pasal 41 Ayat (1): "Dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."

Pada kenyataannya, baik UU Perbantuan TNI sebagaimana amanat Pasal 4 Ayat (2) Tap MPR RI Nomor VII/MPR/2000 maupun PP sesuai dengan ketentuan Pasal 41 Ayat (1) UU Polri, hingga sekarang belum ada meski pemerintahan berganti baju sejak Pak Harto--sapaan akrab mantan Presiden RI H.M. Soeharto--lengser.

Tak pelak, posisi TNI pascareformasi berada di "grey area" (wilayah abu-abu) dalam penanganan masalah keamanan. Hal inilah, menurut anggota Komisi I (Bidang Pertahanan, Luar Negeri, dan Informasi) DPR RI Tjahjo Kumolo, sering menimbulkan persoalan ketika Polri tidak bisa menangani masalah keamanan.

Upaya untuk mengentaskan TNI dari "grey area", Pemerintah dan DPR RI segera merealisasikan amanat Pasal 4 Ayat (2) Tap MPR RI Nomor VII/MPR/2000 dengan menyusun UU tentang Perbantuan TNI. Atau, Pemerintah segera mengeluarkan PP sebagaimana ketentuan Pasal 41 Ayat (1) UU Polri.

Di lain pihak, sesuai dengan Pasal 3 UU TNI, dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden, sedangkan dalam kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI di bawah koordinasi Departemen Pertahanan (sekarang Kementerian Pertahanan).

Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo meyakini jika sudah ada peraturan perundang-undangan tentang perbantuan TNI itu, baik berupa UU maupun PP, tidak ada lagi "grey area" dalam menangani masalah keamanan.


Menuai Kritik
Pernyataan Tjahjo itu tampaknya perlu segera direspons, baik oleh kalangan eksekutif maupun legislatif. Masalahnya, kalau posisi TNI seperti sekarang ini, institusi ini dalam posisi dilematik.

Sebagai contoh ketika pasukan TNI tampak dalam pengamanan unjuk rasa ratusan buruh yang menolak penaikan harga BBM di depan Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (21/3), TNI menuai kritik dari sejumlah kalangan.

Bahkan, mantan Asisten Teritorial KSAD Mayjen Purnawirawan Saurip Kadi menolak pelibatan TNI dalam pengamanan demonstrasi menentang rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

Usai menjadi pembicara dalam acara bedah buku berjudul "Pilpres Abal-Abal Republik Amburadul" di Jember, Jawa Timur, Sabtu (24/3), Saurip menegaskan pelibatan TNI dalam pengamanan demo sudah melanggar undang-undang atau konstitusi, bahkan hal itu melanggar kemanusiaan.

"Rakyat bukan musuh TNI. Demo yang menyuarakan aspirasi rakyat seharusnya Pemerintah mendengar, dan jangan sekali-sekali TNI melawan rakyat karena itu mengkhianati reformasi," kata mantan staf ahli bidang khusus Menhankam itu.

Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane di Jakarta, Minggu (25/3), juga sempat menyampaikan kekhawatirannya. Menurut dia, jika TNI terlibat aktif dalam mengatasi aksi demo mahasiswa yang menolak penaikan harga BBM, bakal memicu provokasi mahasiswa untuk berbuat anarkis.

IPW juga khawatir pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab akan memanfaatkan situasi itu untuk membuat benturan segitiga, antara demonstran, Polri, dan TNI. Kemudian, muncul pula kekhawatiran TNI sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan menzalimi rakyat.

Untuk menghindari pro dan kontra, IPW menyarankan Komisi III (Bidang Hukum & Perundang-undangan, Hak Asasi Manusia, dan Keamanan) DPR RI untuk segera memanggil Panglima TNI terkait dengan aparat TNI di depan Istana Merdeka Jakarta dalam mengantisipasi aksi demo pada tanggal 22 Maret lalu.

"Dipakainya kekuatan militer untuk halau demonstran adalah penyimpangan dari undang-undang," kata Ketua Presidium IPW Neta S. Pane menegaskan.

Kritikan pun datang dari PDI Perjuangan. Politikus Eva Kusuma Sundari menyatakan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan menyesalkan sikap pemerintah yang cenderung represif dan berlebihan dalam menangani demonstrasi mahasiswa dan rakyat yang menolak penaikan harga BBM di Jakarta.

Menyinggung pelibatan TNI, Eva yang juga anggota Komisi III DPR RI menegaskan tanpa keputusan politik bisa menjadi preseden buruk bagi posisi TNI dalam demokrasi di Tanah Air.

"Pelibatan TNI harus melalui keputusan politik. Dalam hal ini, Pemerintah melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan lembaga perwakilan rakyat atau pimpinan politik, " kata Eva, wakil rakyat dari Daerah Pemilihan Jawa Timur VI.


Jaga Objek Vital
Pemerintah pun langsung merespons. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto menegaskan bahwa penjagaan anggota TNI di depan Istana Negara tidak lebih dari upaya untuk menjaga objek-objek vital mengingat kerumunan atau aksi demonstrasi bisa memunculkan potensi gangguan keamanan.

"Mau 100 ribu atau 500 ribu (orang, red.) dan tak ada ekses, TNI pun buat apa menjaga (demonstrasi). Tapi, potensi ancaman harus diwaspadai," kata Djoko usai menutup acara Jakarta International Defense Dialogue (JIDD) di Jakarta Convention Center (JCC), Jumat (23/3).

Menurut dia, TNI sebenarnya belum menurunkan pasukan, tetapi hanya mendekat ke objek yang berpotensi terhadap ancaman keamanan. Hal ini untuk menghindari pengerahan pasukan yang terlalu lama jika terjadi ancaman.

"Kita tahu bahwa markas TNI jauh di luar kota. Jika tak disiapkan, TNI akan terlambat," katanya.

Kemudian, Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono menambahkan, sesuai dengan UU TNI, Tentara Nasional Indonesia berkewajiban menjaga objek-objek vital, seperti istana negara, bandara, jalan tol, maupun stasiun. Untuk penjagaan Istana, TNI bahkan boleh menjaga hingga 100 meter di sekitarnya.

Pro dan kontra ini semoga ikut mendorong pemerintahan sekarang untuk merealisasikan amanat rakyat sebagaimana termaktub di dalam Tap MPR RI Nomor VII/MPR/2000 dengan tetap menjadikan tentara yang profesional, tidak berpolitik praktis, dan tidak berbisnis.

Keberadaan undang-undang dan/atau peraturan pemerintah terkait dengan perbantuanTNI itu, setidaknya ikut menjaga TNI dalam koridor konstitusional. Namun, karena peraturan perundang-undangan itu belum ada, maka seyogianya melalui keputusan politik dengan melibatkan lembaga legislatif.

Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024