Bahkan, umat Hindu di pegunungan Kendeng Banyumas ini pun telah mendirikan "penjor" untuk menyambut kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (keburukan) yang diperingati dalam Hari Raya Galungan.

Tidak hanya itu, seratusan umat Hindu yang bermukim di Desa Klinting pun berduyun-duyun mendatangi Pura Pedaleman Giri Kendeng yang berada di desanya guna mengikuti upacara persembahyangan merayakan Galungan.

Perayaan Galungan di Pura Pedaleman Giri Kendeng ini juga diikuti puluhan umat Hindu dari berbagai daerah di Banyumas.

Mereka tampak menggunakan busana khas Bali dan membawa sesaji yang akan dipersembahkan saat upacara persembahyangan.

Kedatangan umat Hindu ke tempat persembahyangan ini disambut oleh gending-gending Jawa dari cakram "compact disc" yang diputar oleh panitia.

Beberapa menit menjelang upacara persembahyangan dimulai, alunan gending-gending Jawa pun diganti dengan gending Bali yang berisikan mantera dan doa-doa.

Sesaat menjelang upacara persembahyangan dimulai, alunan gending Bali pun dihentikan.

Seorang perempuan yang bertindak sebagai pembawa acara, Retno membacakan sejumlah "seloka" yang disertai dengan ucapan salam "Om Shanti, Shanti, Shanti" yang berarti semoga damai atas karunia Hyang Widhi.

Usai pembacaan "seloka", rangkaian upacara persembahyangan yang dipimpin dua Pemangku Pura Pedaleman Giri Kendeng, Budi Santoso dan Darmadi, pun dimulai.

Berbagai doa dan mantera dibacakan oleh pemangku selama upacara persembahyangan itu berlangsung.

Rangkaian persembahyangan peringatan Galungan ini diakhiri ceramah oleh seorang tokoh spiritual umat Hindu, Ari Santoso.

Dalam ceramahnya, Ari Santoso mengatakan, perayaan Galungan yang dilaksanakan umat Hindu Bali tidak dikenal oleh umat Hindu di India.

"Akan tetapi, Galungan memiliki prinsip yang sama dengan perayaan hari raya agama Hindu di India karena Galungan ditujukan untuk memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (keburukan)," katanya.

Menurut dia, salah satu ciri khas Hari Raya Galungan adalah setiap umat Hindu mendirikan "penjor" dengan menggantungkan berbagai hasil bumi sebagai persembahan sesaji kepada Sang Pencipta.

Secara terpisah, "Mangku" (Pemangku) Budi Santoso mengatakan, rangkaian perayaan Galungan di Pura Pedaleman Giri Kendeng telah dilaksanakan sejak hari Selasa (31/1) berupa pengambilan air suci di Sumur Mas yang berada di Pendopo Duplikat Sipanji Banyumas.

"Air tersebut digunakan untuk upacara 'Muja Tirta' dalam rangkaian persembahyangan ini," katanya.

Terkait perayaan Galungan, dia mengatakan, hari raya ini diharapkan Galungan sebagai momentum pengharapan atas penegakan kebenaran dan kebajikan di Indonesia.

Menurut dia, perayaan Galungan oleh umat Hindu ditujukan untuk memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (keburukan).

"Oleh karena itu, kami berharap kita semua, seluruh umat di Indonesia, tidak hanya Hindu, untuk bisa menegakkan kebenaran dan kebajikan," katanya.

Dalam perayaan Galungan, kata dia, umat Hindu melakukan serangkaian upacara persembahyangan guna membersihkan diri dari pengaruh negatif.

Selain itu, katanya, umat juga mempersembahkan sesaji yang dilanjutkan doa-doa permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

"Yang terakhir berupa Puja Pengampunan karena mungkin tadi dalam pengucapan mantera ada kesalahan atau kekurangan, di situ ada doa yang khusus pengampunan. Mantera-mantera ini cuma 'mangku' (pemangku, red.) yang mengucapkan, sedangkan umat hanya bersembahyang bersama," katanya.

Disinggung mengenai keberadaan umat Hindu di Desa Klinting, dia mengatakan, semua dapat berjalan lancar meskipun mereka merupakan kelompok minoritas di desa ini.

Menurut dia, masyarakat Desa Klinting yang mayoritas beragama Islam dapat menerima keberadaan umat Hindu.

"Kami dapat hidup berdampingan secara damai dan saling bergotong royong," kata dia sembari menyebutkan jika ada 63 keluarga penganut agama Hindu di Desa Klinting.

Menurut dia, penganut agama Hindu di Desa Klinting sebagian menganut Hindu Jawa dan sisanya Hindu Bali.

Dalam hal ini, kata dia, doa-doa yang dibacakan oleh penganut Hindu Jawa cenderung berbahasa Jawa.

"Kalau dalam Hindu Bali menggunakan bahasa Sansekerta yang mengambil dari Weda. Kalau saya gabungan, mengambil dari Weda maupun bahasa Jawa," katanya.

Tidak Ada Konflik
Kepala Desa Klinting Sudir mengatakan, selama ini tidak pernah ada konflik antaragama di Desa Klinting.

Bahkan, kata dia, seluruh masyarakat Desa Klinting dapat hidup rukun dan saling membantu tanpa membedakan agama.

"Kalau sedang ada kerja bakti di mushala, masyarakat yang beragama Hindu pun turut membantu," katanya.

Seorang warga Klinting yang menganut agama Hindu, Siwon mengakui adanya kebersamaan di antara masyarakat meskipun terdapat kelompok minoritas yang beragama Hindu.

"Kami saling menghargai perbedaan agama yang dianut masyarakat Desa Klinting. Dengan demikian, kami dapat hidup rukun dan damai tanpa adanya konflik," katanya.

Informasi yang dihimpun, para penganut agama Hindu di Desa Klinting yang berada di pegunungan Kendeng, Banyumas, semula merupakan penghayat kepercayaan, yakni Kepercayaan Wayah Kaki.

Oleh karena pemerintah orde baru membekukan aliran kepercayaan, seorang tokoh Kepercayaan Wayah Kaki bernama Ranameja saat menjalankan semedi mendapatkan wangsit dari Wayah Kaki (leluhur) yang menyarankan agar para penghayat kepercayaan tersebut bernaung kepada agama Hindu, yang memiliki kemiripan dalam tata cara sembahyangnya.

Wangsit tersebut disampaikan kepada para penghayat Kepercayaan Wayah Kaki.

Selanjutnya, Ranameja berusaha menghubungi Parisada Hindu Dharma Provinsi Jawa Tengah untuk minta disudikan (dibaptis) sebagai pemeluk agama Hindu. Bahkan, dia juga datang sendiri ke Bali menemui Bedande dan minta disudikan.

Setelah sekian lama mendalami agama Hindu di Bali, dia kembali ke kampung halamannya.

Sekembalinya di Desa Klinting, para penghayat Wayah Kaki di desa tersebut menyatakan ingin masuk agama Hindu.

Ranameja pun membangun Pura Pedaleman Giri Kendeng, sekitar 22 tahun lalu.

Bahkan, tidak hanya penghayat Wayah Kaki di Desa Klinting yang ingin disudikan masuk agama Hindu, tetapi dari daerah lain di Banyumas, Purbalingga, dan Banjarnegara.

Kendati demikian, jumlah penganut agama Hindu di Desa Klinting cenderung berkurang karena sebagian di antara mereka berpindah agama setelah menikah.

Dalam hal ini, kaum perempuan atau laki-laki yang beragama Hindu berpindah agama karena mengikuti agama yang dianut oleh calon suami atau istri mereka.

Pewarta : Sumarwoto
Editor : M Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025