Lelaki berkulit hitam adalah pematung Ismanto, bersama tiga lainnya menyambut mereka yang berasal dari sejumlah kota di Indonesia dan beberapa lainnya dari luar negeri, dengan performa gerak di Sanggar Gadung Mlati, di dekat balai desa setempat.
Jangan bayangkan bahwa sanggar itu berupa gedung megah karena hanyalah tempat terbuka beralas tanah yang di atasnya berupa atap terpal warna biru.
Namun, di bawah atap itu berbagai patung batu Gunung Merapi beraneka bentuk dan berukuran besar-besar hingga sekitar 2,5 meter.
Ismanto yang juga Ketua Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Magelang itu bercerita tentang kehidupan masyarakat setempat terkait bencana gunung berapi itu dengan diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Wardah Hafidz, Pemimpin Konsorsium Rakyat Miskin Kota.
Marmujo, salah seorang anggota sanggar itu, seakan mengiringi cerita Ismanto kepada rombongan peserta loka karya tentang penanganan bencana, melalui dentingan ujung tatah besi menyentuh batu untuk membentuk patung topeng.
Beberapa anggota rombongan mengajukan pertanyaan kepada Ismanto antara lain terkait dengan berbagai karya patungnya dan pengalamannya berhadapan dengan erupsi Merapi akhir 2010 disusul dengan banjir lahar melalui Sungai Tringsing, tak jauh dari sanggar itu.
Salah satu sanggar milik Ismanto yang persis di tepi sungai itu, tepatnya di dekat cekdam Tringsing, telah ludes diempas banjir lahar Merapi awal tahun lalu. Para kesempatan itu rombongan tersebut juga melihat lokasi banjir lahar Merapi melalui alur Kali Tringsing, sekitar 100 meter dari Sanggar Gadung Mlati milik Ismanto.
Warga setempat saat erupsi Merapi akhir 2010 mengungsi ke berbagai tempat yang lebih aman ketimbang desanya, salah satunya ke Pondok Pesantren Pabelan, Kecamatan Mungkid. Ismanto membawa keluarga dan sebagian tetangganya mengungsi ke Museum Haji Widayat di Kota Mungkid, Ibu Kota Kabupaten Magelang.
Ia bersama anggotanya secara intensif menggalang dan menyalurkan bantuan kepada pengungsi Gunung Merapi ketika itu yang tak tersentuh penanganan oleh pemerintah dengan menghubungi berbagai jaringannya termasuk para kolektor patungnya di berbagai kota.
"Jangan pernah melawan alam, tetapi seperti letusan Merapi itu harus disikapi secara tepat dan bijak. Ketika warga di desa-desa yang lebih atas sudah mengungsi, warga kami waktu itu belum mengungsi, dan kami menolong mereka," katanya.
Letusan Merapi dan kemudian disusul banjir lahar, katanya, masih saja ditangkap pemikiran umum sebagai kejadian mengerikan sehingga disebut bencana alam.
Padahal, aktivitas terkait Gunung Merapi mesti juga disikapi sebagai suatu peristiwa alam yang agung dan menakjubkan sehingga orang yang mengalami patutlah bersyukur.
"Yang saya rasakan atas kejadian Merapi satu tahun lalu itu, Merapi melahirkan perilaku kebaikan. Orang saling menolong tanpa memandang latar belakang kehidupan," kata Ismanto yang hanya lulus SMP itu.
Ismanto yang kelahiran 12 Desember 1968 dan karya patungnya telah menjadi koleksi para kolektor di berbagai kota besar itu menyatakan, apa yang disebut bencana Merapi sebagai suatu peristiwa berhikmah yang telah melahirkan "lahar budi".
Karya patungnya berupa kepala Sang Buddha berjudul "Lahar Budi" kini terpajang menjadi salah satu koleksi di Studio Mendut, sekitar 3,5 kilometer timur Candi Borobudur. Ia bersama para pematung muda lainnya berasal dari kalangan seniman petani Komunitas Lima Gunung, akhir tahun lalu menggelar pameran seni rupa bertajuk "Lahar Budaya".
"Karya itu adalah tanda penting bahwa peristiwa Merapi 2010 sebagai kelahiran bagi perilaku kebaikan hati dengan sesama," katanya.
Pematung muda anggota Sanggar Gadung Mlati Arwanto saat sesi dialog dengan rombongan itu, di rumah eksotik milik Ismanto, bertutur tentang karyanya yang berjudul "Sikil Evakuasi" (Sikil artinya kaki, red.). Patung batu berupa kaki dengan tatahan lainnya yakni mata, telinga, dan otak juga menjadi salah satu koleksi di Studio Mendut.
"Kaki penting dalam hidup manusia. Untuk menjalani evakuasi akibat bencana Merapi, kaki berperan penting. Saya mengibaratkan kecerdasan mengambil keputusan dengan patung kaki yang punya otak, telinga, dan mata," katanya.
Batu andesit sebagai bahan utama patung mereka berasal dari material vulkanik letusan Merapi yang telah mengalir melalui berbagai sungai yang aliran airnya berhulu di gunung berapi itu.
Ismanto juga menyebut sejumlah karya patungnya saat ini telah terpampang antara lain di perempatan Jalan Jenderal Sudirman Kota Yogyakarta, kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, dan halaman depan kompleks Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang.
Budayawan Komunitas Lima Gunung, Sutanto Mendut, mengemukakan, sebutan resmi untuk level aktivitas vulkanik gunung berapi selama ini berupa "waspada", "siaga", dan "awas" dalam realitasnya kurang dimengerti secara mudah terutama oleh masyarakat desa yang tinggal di lokasi ancaman gunung berapi.
Untuk warga Gunung Merapi, katanya, dicoba dirintis sebutan level bahaya letusan gunung di perbatasan antara Jawa Tengah dengan Daerah Istimewa Yogyakarta itu sebagai "donga", "ojo dumeh", "mlayu" (berdoa, jangan sombong, lari).
"Daerah lain yang memiliki gunung api pun perlu membuat sebutan untuk peringatan bahaya letusan, yang mudah dipahami masyarakat lokal," katanya.
Pada kesempatan itu ia mengemukakan berbagai peninggalan peradaban manusia dan kebudayaan besar tidak lepas dari letak geografisnya yang bersentuhan dengan kawasan bencana.
"Antara lain di gunung berapi dan di tepi sungai. Di situlah kita belajar tentang alam, kehidupan manusia dengan kebudayaannya, dan di situlah menimba kearifan," katanya.
Banyak bencana alam menerpa masyarakat di berbagai daerah di Tanah Air. Selain mengakibatkan kerugian dan duka, bencana alam saatnya pula makin disadari sebagai pelajaran penting tentang peradaban kehidupan.
Gunung Merapi memberi teladan atas pelajaran itu. Letusan dan banjir laharnya telah disikapi komunitas seniman setempat sebagai "lahar budaya".