Semarang (ANTARA) - Swamedikasi atau pengobatan mandiri untuk mengatasi gangguan atau gejala ringan kesehatan sering menjadi alternatif dan pilihan masyarakat, namun hal tersebut perlu ada edukasi.
Menurut dr. Muhammad Fajri Adda’i, residen kardiologi dan dokter influencer, swamedikasi membantu masyarakat mengatasi gejala ringan sekaligus mengurangi beban fasilitas kesehatan namun, edukasi menjadi kunci keberhasilan.
"Pembelian obat golongan bebas (tanda lingkaran hijau) dan bebas terbatas (tanda lingkaran biru) tanpa resep harus dilakukan dengan mematuhi aturan dosis di kemasan, karena penggunaan secara berlebihan dapat mengakibatkan efek samping kerusakan organ dalam,” jelas dr. Fajri.
Ia juga menekankan pentingnya konsultasi tenaga kesehatan jika kondisi tidak membaik dalam tiga hari. Apalagi kini muncul persoalan penyalahgunaan obat-obatan oleh oknum di beberapa daerah.
Psikolog Klinis Anak dan Keluarga Irma Gustiana Andriyani, S.Psi., M.Psi. juga menyebut remaja menjadi kelompok paling rentan, karena otak remaja belum sempurna proses perkembangannya, sehingga belum dapat mengukur risiko dan sering bertindak impulsif.
"Selain itu, upaya konformitas dengan teman sebaya juga memberikan kecenderungan melakukan hal-hal yang kurang bijak,” kata Irma Gustiana yang juga menilai minimnya edukasi dari keluarga, sekolah, dan lingkungan bisa memperburuk situasi.
Kurangnya pengetahuan dasar mengenai hidup sehat dan penggunaan obat yang aman di rumah dan di sekolah memberikan celah bagi remaja untuk mencoba hal-hal berbahaya, termasuk penyalahgunaan obat.
Perlu keterlibatan banyak pihak, bukan hanya keluarga, tetapi anggota masyarakat, pemerintah juga sekolah untuk memberikan edukasi terkait penggunaan obat yang bijak sejak usia dini.
Pembatasan penyalahgunaan obat yang sering kali dilakukan upaya penegakan hukum berupa razia terhadap apotek di beberapa tempat, menurut Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) apt. Noffendri Roestam, S.Si kurang tepat dilakukan pada apotek dan toko obat.
"Apotek dan toko obat beroperasi dengan regulasi dan dalam pengawasan dinas kesehatan dan balai POM daerahnya, sehingga jika ada pelanggaran tentunya yang menindak adalah kedua badan tersebut di daerah masing-masing. Karena itu razia yang dilakukan di apotek dan toko obat, sama sekali tidak tepat. Apotek adalah sarana distribusi kefarmasian, bukan diskotek atau tempat nongkrong yang ada kemungkinan penyalahgunaan, kenapa harus dilakukan razia," katanya.
Menurutnya jika ditilik lebih dalam tentang bagaimana cara oknum mendapatkan obat untuk disalahgunakan, umumnya bukan di distributor resmi, melainkan pengedar obat tidak resmi atau malah gelap, yang mungkin harusnya jadi fokus penindakan, bukan razia ke sarana distribusi kefarmasian.
Ketiganya sepakat untuk menghadapi berbagai tantangan tersebut diperlukan solusi komprehensif yang melibatkan semua pihak dan memperhatikan berbagai faktor yang mencakup beberapa strategi, seperti edukasi kepada masyarakat secara komprehensif agar meningkatkan pengetahuan tentang pedoman swamedikasi dan penggunaan obat yang aman, percepatan dan penyederhanaan proses izin apotek untuk memastikan akses masyarakat di seluruh wilayah Indonesia untuk swamedikasi, dan pemerataan infrastruktur kesehatan seperti sarana pelayanan kefarmasian dan tenaga kefarmasian.
"Sumbangsih setiap elemen masyarakat dibutuhkan agar solusi yang berkelanjutan bisa berdampak luas. Harapannya solusi yang diberikan harus sustainable. Optimalisasi peran Puskesmas dapat menjadi salah satu jalan keluar untuk permasalahan yang dihadapi. Pendekatan kolaboratif, Indonesia diharapkan dapat menciptakan sistem kesehatan yang merata, aman, dan berkelanjutan untuk seluruh lapisan masyarakat," tutup Noffendri